Hari Santri: Antara Penghormatan, Kritik, dan Refleksi Menyeluruh

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi

(Hakim Tinggi PTA Banjarmasin)

Surabaya, beritalima.com | Peringatan Hari Santri telah menjadi agenda rutin setiap tahun. Peringatan ini merupakan bentuk penghargaan terhadap eksistensi santri dalam sejarah perjalanan bangsa. Tonggak penting dari peringatan ini adalah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari. Seruan ini menjadi landasan moral dan religius bagi ribuan rakyat—terutama kaum santri—untuk terlibat dalam pertempuran heroik 10 November di Surabaya. Perlawanan terhadap penjajah tak hanya dimaknai sebagai tindakan patriotik, tetapi juga sebagai bagian dari pembelaan iman dan tanah air.

Namun, Hari Santri tahun ini menghadirkan nuansa yang getir. Dua peristiwa memilukan mencoreng suasana peringatan: pertama, ambruknya bangunan Pesantren Al-Khozini di Buduran, Sidoarjo, yang menelan korban luka dan jiwa; dan kedua, tayangan kontroversial dari Trans7, yang dianggap menyudutkan dan merendahkan kehidupan santri di pesantren.

Tragedi di Sidoarjo meninggalkan luka fisik dan emosional. Puluhan santri menjadi korban reruntuhan beton, menandakan bahwa keselamatan infrastruktur pendidikan keagamaan masih luput dari perhatian serius. Sementara itu, tayangan Trans7 memicu reaksi keras dari komunitas pesantren yang merasa dilecehkan. Tayangan tersebut dianggap menampilkan gambaran kelam yang tidak merepresentasikan realitas pesantren secara menyeluruh. Namun dalam konteks masyarakat demokratis, penting untuk memahami bahwa tayangan tersebut bisa juga dibaca sebagai bentuk kritik sosial. Dunia pesantren, seperti lembaga lainnya, bukan tanpa kekurangan. Akan tetapi, karena kritik ini disampaikan oleh media resmi dan menjangkau publik luas, maka kemasan dan cara penyampaiannya harus bermartabat, proporsional, dan edukatif. Kritik yang sehat seharusnya membuka ruang perbaikan, bukan menimbulkan stigma. Bila tidak hati-hati, kritik semacam itu justru berpotensi menciptakan generalisasi negatif dan memperkeruh persepsi publik terhadap lembaga keagamaan.

Media memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan dan menyeimbangkan informasi, bukan sekadar mengejar sensasi. Dunia pesantren tidak semestinya dijadikan objek komersialisasi atau stereotip yang merendahkan. Kritik boleh, bahkan perlu, tetapi hendaknya tetap dalam koridor etika jurnalistik yang adil dan membangun.

Refleksi untuk Pemerintah: Dari Pengawasan hingga Penghormatan

Tragedi ambruknya bangunan pesantren menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap kelayakan fisik lembaga pendidikan nonformal. Banyak pondok pesantren dibangun dengan dana terbatas dan tanpa pendampingan teknis memadai. Pemerintah seharusnya hadir melalui regulasi dan fasilitasi—tanpa mengekang kemandirian pesantren—guna memastikan standar keamanan dan kenyamanan terpenuhi.

Dalam hal ini, perlu ada langkah nyata, seperti program audit bangunan pesantren, pelatihan manajemen pengelolaan asrama, hingga bantuan pembangunan berbasis prioritas kebutuhan.

Refleksi untuk Dunia Pesantren: Adaptasi, Transparansi, dan Profesionalisme

Sebaliknya, dunia pesantren juga perlu menjadikan momen ini sebagai cermin refleksi internal. Peristiwa Sidoarjo harus menyadarkan bahwa kelemahan manajerial dan teknis juga bisa berdampak fatal. Kini saatnya pesantren bergerak menuju profesionalisasi tata kelola, tanpa kehilangan akar spiritual dan kulturalnya.

Di era digital ini, pesantren juga harus lebih terbuka, komunikatif, dan aktif membangun narasi sendiri. Jangan hanya bertahan di balik pagar tembok, sementara persepsi publik dibentuk oleh pihak luar yang tak memahami nilai-nilai pesantren. Santri zaman kini adalah santri yang bisa menulis, berbicara, memproduksi konten, dan ikut membentuk opini publik.

Sebagaimana diungkapkan oleh Martin van Bruinessen, seorang pengamat asal Belanda yang lama meneliti dunia pesantren di Indonesia:

“Kita harus sadar bahwa ada kenyataan dan cita‑cita yang diciptakan, dilestarikan dan dikembangkan. Tinggal bagaimana … memberi sumbangan untuk nasional maupun internasional.”

Artinya, pesantren memiliki kekuatan unik yang bisa memberikan kontribusi, tidak hanya untuk Indonesia, tetapi juga dalam konteks peradaban global. Namun kontribusi ini hanya akan bermakna jika pesantren terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan tantangan zaman.

Menjaga Nilai, Merawat Relevansi

Santri hari ini bukan hanya sosok yang mengaji kitab kuning di pesantren salaf, tapi juga yang aktif dalam sains, teknologi, pendidikan, ekonomi, dan politik. Mereka harus menjadi penggerak perubahan yang tetap menjaga nilai-nilai luhur: keikhlasan, kesederhanaan, keilmuan, dan cinta tanah air.

Hari Santri bukan hanya tentang mengenang sejarah, tetapi juga menyusun masa depan. Sudah saatnya peringatan ini menjadi momentum koreksi dan evaluasi bersama—antara negara, pesantren, media, dan masyarakat—untuk memastikan bahwa pesantren tetap relevan, kuat, dan bermartabat.

Akhirnya, jika Hari Santri hanya dirayakan dengan kirab budaya dan upacara simbolik, maka kita sedang melestarikan bentuk tanpa menghidupkan ruhnya. Peringatan ini harus menjadi panggilan untuk pembenahan, agar dunia pesantren tidak hanya dikenang sebagai bagian dari masa lalu, tetapi juga disiapkan menjadi garda terdepan masa depan.

Dari tragedi dan kritik, kita dipanggil untuk membangun, bukan saling menyalahkan. Semoga Hari Santri ke depan tak hanya menjadi seremoni, tetapi benar-benar menjadi refleksi kolektif untuk membesarkan kembali peran santri dalam membangun negeri.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait