Hari Santri Dan Pengadilan Agama

  • Whatsapp

Oleh: Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas IA)

Ketika pertama kali memperingati hari santri saya, dan beberapa teman dibuat agak canggung. Harus masuk kantor dengan bersarung pulus baju koko dan songkok. Pakaian demikian memang tidak asing bagi seorang muslim seperti saya. Tetapi menggunakannya seharian dalam jam dinas merupakan tantangan tersendiri. Gaya parlente saat menggunakan baju dinas dengan segenap asesoris kedinasan, lalu menggunakan baju ala jumatan seolah menenggelamkan profesi sebagai salah seorang aparat peradilan. Ketika kami saling pandang ada kesan lucu di antara kami.

Semua aparat pria Peradilan Agama (PA) dengan corak dan warna sarung berbeda terlihat seolah berada di forum-forum ibadah keagamaan (majelis taklim, istighotsah, atau masjid). Sesekali ada teman bergojek ria dengan diam-diam menyingkapkan sarung temannya sekedar memastikan bahwa temannya sudah memakai, maaf, celana dalam. Tetapi, seiring dengan perjalanan waktu, lama kelamaan memakai pakaian ala santri “tempo doeloe”–pada setiap tanggal 22 Oktober untuk memperingati hari santri- itupun tidak membuat saya canggung lagi.

Hari santri yang telah ditetapkan pemerintah–dengan Keputusan Presidan (Kepres) Nomor 22 Tahun 2015 yang diteken pada tanggal 15 Oktober 2015—memang terlanjur sebagai hari besar nasional. Oleh karena bukan hari libur, maka demi menghargai dan mengingat momentum sejarah, semua aparat negara ‘harus’ memakai pakain ala santri. Sama seperti Hari Batik yang dianjuran mamakai batik dan Hari Kartini yang dianjurkan (bagi wanita) memakai kebaya. Tidak terkecuali aparat pengadilan agama. Pertanyaan yang sering selalu muncul di benak saya, adakah keterkaitan sejarah hari santri dengan institusi peradilan agama?. Sayapun membuka-buka literatur yang berkaitan dengan sejarah tumbuh kembangnya institusi pengadil bagi perkara ummat Islam ini. Kemudian sayapun menemukan suatu potongan sejarah yang menurut saya ada keterkaitaan sejarah PA dengan hari santri yang saat ini dirayakan secara nasional ini.

Munculnya Staatsblad Tahun 1882 secara formal merupakan tongak kelahiran Peradilan Agama, setelah sebelumnya hanya berbentuk apa yang dalam sejarah disebut pengadilan serambi. Institusi yang dibentuk resmi oleh pemerintah kolonial ini dimaksudkan untuk mengurus persoalan-persoalan hukum ummat Islam antara lain di bidang hukum waris, perkawinan, perceraian, dan ruju. Yang menarik adalah semua “hakim” yang bertindak sebagai pengadil adalah para tokoh agama yang dianggap tahu agama.

Penggilan penghulu yang ia sandang tidak mengurangi fungsinya sebagai pengadil sekalipun dengan kompetensi yang terbatas. Oleh karena belum ada undang-undang yang dijadikan sebagai rujukan baik yang barkaitan dengan hukum formiil maupun meteriil, maka keberadaan kitab-kitab fikih yang umumnya berbentuk kitab fikih klasik berbahasa arab, yang lazim disebut kitab kuning, merupakan rujukan para penghulu dalam menyelesaikan perkara yang ada. Dengan kitab rujukan yang demikian seorang penghulu biasanya diangkat dari kalangan kiai/ulama/tuan guru/ajengan yang menguasai kitab-kitab kuning tersebut. Kitab-kitab kuning yang berjumlah ribuan itu memang membuat putusan penghulu mengalami dispasritas luar biasa. Hal ini tampaknya juga disadari oleh pemerintah waktu itu.

Usaha-usaha menghindaari disparitas putusan oleh pemerintah kolonial pun dilakukan. Dalam sejarah pernah tercatat seorang sarjana Belanjda pernah menjadikan buku rujuan hukum yang kemudian dikenal Compendium Freijer : yaitu kitab hukum yang berisi aturan-aturan hukum erkawinan dan hukum waris menurut Islam. Kitab ini ditetapkan pada tanggal 25 Mei 1760 untuk dipakai oleh pengadilan VOC di Hindia Timur. Sebagaimana diungkapkan Prof. Minhaji ( Guru Besar UIN Sunan Kalijaga) Van den Berg (1845-1927) pernah pula mengusulkan Kitab Minhaj al-Thalibin karya Imam al-Nawawi yang telah diterjemahkannya ke dalam Perancis dijadikan undang-undang guna sebagai pedoman para hakim Pengadilan Agama di Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, pernah terbit Surat Edaran Kepala Biro Pengadilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1985. Isi surat tersebut pada pokoknya menetapkan 13 kitab fikih sebagai referensi hukum materiil di pengadilan agama. Hal ini dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih yang berbeda-beda Performance Hakim PA pun waktu itu dan bahkan sampai sekitar tahun 1989 pun harus benar-benar berkualifikasi menguasasi kitab-kitab rujukan tersebut. Hal demikian,tentu merupakan momok tersendiri bagi siapa saja yang ingin menjadi Hakim PA waktu itu. Di sisi lain, hikmahnya memang terlihat. Hakim PA waktu itu terstigma sebagai hakim yang banyak tahu agama. Ketika berada di tengah-tengah masyarakat, sering selalu mendapat kehormatan lebih bersama para tokoh agama setempat. Ketika ada organisasi sosial keagamaan, Hakim PA sering harus terlibat di berbagai kepengurusan, seperti MUI dan ormas-ormas Islam yanag ada ( seperti NU dan Muhammadiyah). Ketika ada acara-acara keagaamaan hakim PA sering harus tampil mengambil bagian menjadi aktor-aktor acara, seperti mengisi pengajian atau membaca do’a. Pada saat yang sama sebagai hakim tetap harus dituntut professional karena terngiang di hatinya akan adanya 3 kriteria hakim, satu masuk surga dan 2 lainnya masuk neraka. Potret Hakim PA yag demikianlah itulah yang penyebab lahirnya stigma performance hakim PA sebagai “hakim di mata hukum dan ulama di mata masyarakat”. Stigma demikian itu pulalah yang membuat para hakim PA mempunyai lobi politik yang luas yang secara historis, harus diakui memuluskan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Kita tahu UU tersebut ketika digulirkan, akibat Islamphobia mengalami tantangan luar biasa.

. Dengan ditetapkannya 13 Kitab fikih standar rujukan tersebut, diharapkan variasi pendapat yang mewarnai disparitas putusan lebih mengecil. Akan tetapi, sekalipun semuanya bermadzhab Syafi’i ternyata penetapan kitab-kitab fikih tersebut juga belum berhasil menjamin kepastian dan kesatuan hukum di PA. Realitas menunjukkan, bahwa dalam satu kitab saja bisa mengandung muatan perbedaan yang luar biasa banyak mengenai satu persoalan. Sampai akhirnya lahirlah Kompilasi Hukum Islam hasil musyawarah para ulama dari seluruh Indonesia yang mulai berlaku 1991. Kompilasi Hakum Islam– yang menurut Prof. Satria Efendi sebagai ijtihad jama’i– ini sejatinya hanya merupakan pilihan pendapat para fuqaha dalam beberapa persoalan mengenai bidang hukum materiil kewenangan PA yang sangat terbatas. KHI belum bisa mengelaborasi secara luas dan mendalam aspek-aspek materi hukum materiil yang ada. Jika para hakim hendak menggunakannya sebagai hukum terapan mengenai satu persoalan hukum, tetap wajib membuka cakrawala wacana dari mana pendapat KHI itu diambil. Setidaknya, hal demikian pernah dikemukakan mantan Hakim Agung M.Yahya Harahap yang ikut membidani kelahiran KHI. Itu pulalah sebabnya dalam rekrutmen Hakim Agama, penguasaan kitab-kitab klasik (fikih berbahasa Arab) tetap menjadi salah satu materi seleksi penting di samping materi seleksi penting lainnya. Selain dimaksudkan agar aparat PA tidak tercabut dari akar sejarahnya lebih penting lagi agar gelar tidak resmi hakim peradilan agama: hakim di mata hukum, ulama di mata masyarakat tidak tereduksi oleh zaman.

Lantas apa benang merah institusi pengadilan agama dengan hari santri?
Dari uraian di muka setidaknya ada 2 hal yang dapat disimpulkan: Pertama, bahwa tradisi keilmuan hakim PA secara historis tidak bisa dilepaskan dengan tradisi keilmuan santri yang nota bene menguasai berbagai kitab kuning. Kedua, dari segi institusi lahirnya pengadilan agama juga tidak bisa dipisahkan dengan para Ulama. Dalam hal ini para penghulu itu tidak lain adalah para ulama yang nota bene juga representasi santri. Dengan demikian, adanya hari santri nasional ini bagi institusi PA tidak hanya sebatas ikut serta, tetapi lebih dari itu mestinya termasuk yang ikut berkepentingan. Hikmah yang dapat dipetik adalah dengan hari santri ini para insan pengadilan agama bisa mengambil pelajaran positif para pendahulunya sekaligus sebagai momentum mengembalikan institusi PA tidak hanya disegani dunia, tetapi juga oleh masyarakat Islam tanah air sendiri. Apalah artinya PA membubung tinggi di atas awan, kalau lantas kemudian harus tercabut dari akarnya.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait