Oleh: H.Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banjarmasin)
Hampir semua pasangan saat menikah pasti tidak menghendaki perceraian. Akan, tetapi faktanya memang tidak semua pasangan berhasil mempertahankan perkawinan. Perceraianpun ‘terpaksa’ ditempuh setelah masing-masing pihak merasa tidak mempunyai kesesuaian pandangan. Perceraian yang ditempuh ini tampaknya dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan didasarkan atas alasan-alasan yang rasional. Meskipun demikian, adakalanya suatu pasangan dengan sengaja memilih perceraian disebabkan oleh alasan-alasan yang sangat sumir. Penyebabnya bukanlah hal-hal yang bersifat fundamental dan rasional melainkan hanya hal-hal sepele dan bersifat sementara. Manjadi tugas hakimlah ketika perkara masuk ke pengadilan untuk menentukan apakah suatu perceraian harus terjadi atau sebaliknya ‘dilarang’.
Akan tetapi, apapun penyebabnya, suatu perceraian sering menimbulkan duka nestapa mendalam, bahka petaka, tidak saja bagi bekas pasangan, tetapi juga yang terkait dengan akibat perkawinan. Dan, salah satu petaka akibat perceraian adalah ketika suami istri itu kemudian melihat harta yang diperoleh selama perkawinan. Bagi pasangan yang tidak mempunyai harta, dampak demikian tentu tidak terasa. Sedangkan, bagi pasangan yang kaya raya dampak demikian sering menyita pikiran tersendiri, yaitu, ketika masing-masing pihak harus menentukan dan membagi mana yang harus menjadi bagian masing-masing. Sebab, membiarkan harta tetap utuh pada saat masing-masing sudah tidak serumah akibat putusnya perkawinan, jelas tidak mungkin. Masing-masing memerlukan harta untuk keperluan modal hidup baru bersama calon pasangan barunya pula.
Sebenarnya mengenai hal ini, undang-undang, dalam dalam hal ini Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 telah memberikan ketentuan bahwa “harta yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama”. Ketentuan demikan sepintas sangat gamblang. Meskipun demikian, seiring dengan perkembangan zaman untuk menentukan, apakah suatu harta yang diperoleh suami istri termasuk harta bersama berikut membaginya ternyata tidak mudah. Permasalahan ikutan akibat bervariasinya jenis kekayaan sering menyita waktu dan pikiran tidak hanya oleh yang bersangkutan tetapi juga pengadilan (hakim). Ketegangan suasana kebatinan, akibat konflik yang menjadi pemicu perceraian yang masih membekas, tidak saja sering membuat masing-masing pihak (mantan suami dan mantan istri) berfikir tidak rasional tetapi terkadang juga tidak jujur. Masing-masing pihak, sering berkilah dengan segenap cara, bahwa harta yang sedang dikuasai bukan termasuk harta bersama, apalagi harus dibagi berdua dengan sang mantan. Sejumlah alasan untuk berkilah pun dikemukakan sebagai alasan. Babak baru persengketaan, akaibat berebut harta bersama pun terjadi. Akibat-akibat berlarut-larutnya, peroses mendapatkan hak (harta bersama) melalui peradilan, tenaga, pikiran, dan biaya pun harus dikerahkan.
Sengketa yang berlarut-larut mengenai perebutan harta bersama tampaknya juga sering disebabkan oleh ketidaktahuan mengenai lingkup harta bersama. M. Yahya Harahap dalam bukunya Kedudukan, dan Acara Peradilan Agama, Edisi ke-2, yang diterbitkan oleh Sinar Grafika, 2001, halaman 275-278 memberikan patokan mengenai ruang lingkup harta bersama. Menurutnya, ruang lingkup ini dapat digunakan sebagai penjelasan bagaimana menentukan, apakah suatu harta termasuk atau tidak sebagai objek harta bersama antara suami istri dalam suatu perkawinan. Dengan tetap mendasarkan ketentuan undang-undang dan yurisprudensi, beliau mengemukakan 5 ruang lingkup sebuah harta yang didapat oleh suami istri menjadi harta bersama, yaitu:
1. Harta yang dibeli selama perkawinan
2. Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama.
3. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan.
4. Penghasilan harta bersama dan bawaan.
5. Segala penghasilan pribadi suami istri. Yaitu, segala penghasilan pribadi suami istri, baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai, jatuh menjadi harta bersama suami istri.
Kelima hal tersebut kiranya dapat dijadikan acuan bagi masing-masing mantan suami istri yang ingin membagi harta bersama. Pembagian tersebut, tentu bisa dilakukan dengan 2 cara, yaitu membagi secara damai dan melalui pengadilan. Dengan mengetahui ruang lingkup harta bersama tersebut para mantan suami istri memang sangat dianjurkan bisa membagi sendiri. Sebab, di samping tidak memerlukan biaya terlalu banyak, yang lebih penting, masing-masing dapat memperoleh haknya dengan suasana penuh damai yang tentu bisa terlihat lebih elegan bagi masyarakat, lebih-lebih bagi anak-anaknya. Kalau pun tidak bisa dengan cara demikian, memang harus diselesaikan lewat pengadilan. Hanaya saja memilih cara demikian, memang sering menguras waktu, tenaga, dan pikiran, serta biaya. Yang lebih tidak kita harapkan, penyelesaian secara litigasi ini kadang-kadang justru menimbulkan ketegangan babak baru dengan sang mantan dan membawa luka baru pula, yaitu ketika salah satu pihak merasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian.
Wallahu a’lam, semoga bermanfaat.