JAKARTA, beritalima.com – Pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) saat ini mengingatkan masyarakat Indonesia pada krisis 1998. Namun, ada perbedaan signifikan di antara keduanya, pelemahan kali ini harus cepat diatasi.
Pengusaha sekaligus Ketua Umum DPP Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo mengatakan, kondisi ekonomi Indonesia saat ini tidak bisa disamakan dengan dengan krisis moneter yang terjadi pada 1998.
“Kalau 1998 itu overshoot dari kursnya Rp 2.400 lompat sampai kebelasan ribu, kemudian stabil balik lagi ke equilibrium. Dulu orang panik beli Dolar dan sebagainya, makanya kursnya naiknya tidak wajar, sedangkan sekarang pelan tapi pasti dan ini harus cepat direm,” ujarnya diunggah dari akun YouTube Hary Tanoesoedibjo di Jakarta, Jumat (7/9).
HT sapaan akrabnya mengatakan, pelemahan Rupiah juga dipengaruhi dari beberapa faktor. “Ada unsur luar negeri juga, ada faktor fundamental dan psikologis. Tapi yakinlah, kalau ekonomi kita kuat, penanganannya tepat sasaran dan cepat, kita tidak akan seperti sekarang,” ujarnya.
Psikologi pasar, katanya, harus ditenangkan dengan solusi konkret yang bisa meyakinkan pasar. Di sisi lain, harus ada langkah-langkah jangka pendek, menengah dan panjang. Solusi jangka pendek seperti konversi eksportir untuk membawa pulang hasil ekspornya dan mengkonversinya dalam Rupiah sebesar persentase dari konten lokal produk yang mereka ekspor.
Kedua yaitu meningkatkan investasi portofolio. “Kita bisa bentuk tim khusus yang memahami permasalahan ekonomi, dunia usaha, industri untuk kantong-kantong keuangan dunia melalui roadshow, seperti ke Asia, Eropa dan AS, supaya mereka mau investasi ke Indonesia. Itu yang bisa cepat minggu depan kalau perlu berangkat,” tuturnya.
Sementara itu, untuk jangka menengah, katanya devisa harus kuat, untuk itu ekspor harus naik. Impor harus dikurangi. Selain itu, mendorong investasi langsung alias foreign direct investment (FDI) dari luar negeri di zona ekonomi khusus.
HT juga menyampaikan saat perang dagang China dan Amerika Serikat sedang berlangsung, Indonesia bisa mendekati perusahaan-perusahaan yang berada di China untuk investasi di Indonesia.
Selain itu, untuk menambah devisa pemerintah bisa menggenjot pariwisata. Di mana saat ini baru 14 juta wisatawan asing berkunjung ke Indonesia tiap tahunnya. Bila bisa seperti Thailand yang jumlah wisatawannya sekitar 30 juta orang, ada sekitar Rp 300 triliun uang yang akan masuk ke Indonesia setiap tahunnya.
Ketiga, yaitu langkah jangka panjang, di mana masyarakat bawah harus dibangun dengan keberpihakan menjadi masyarakat produktif, para pencipta lapangan kerja baru, dan pembayar pajak baru. Caranya, dengan memberikan perlakuan khusus, seperti dana murah dengan akses mudah, pendampingan, pelatihan dan proteksi agar mereka bisa tumbuh lebih cepat. “Semua itu hanya bisa dilakukan dengan kebijakan,” kata HT.
(rr)