Jakarta, beritalima.com|- Mengejutkan, hasil riset dari Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesuit (Praksis) menemukan sebanyak 97 persen kaum muda Jakarta tidak pernah menghubungi Partai Politik, sebagai pertanda partai politik gagal merangkul suara anak muda. Mengagetkan? Ya, karena Jakarta sebagai barometer kegiatan anak muda Indonesia disamping menjadi ibukota negara (meski pernah dinyatakan ibukota negara akan dipindah ke IKN).
Temuan lainnya dari riset Praksis disebarluaskan pada pertengahan Desember ini, mencatat 48 persen anak muda Jakarta muak terhadap politik, 64 persen warga muda kecewa terhadap politik, sebanyak 97 persen tidak ikut partai, serikat pekerja, ataupun organisasi politik, 97 persen tidak pernah menghubungi perwakilan partai politik, 92 persen tidak aktif dalam gerakan atau forum politik, 88 persen tidak pernah menulis opini politik di media sosial.
Riset mengusung tema “Dinamika dan Alasan ke-tidak-terlibatan Publik Warga Muda Jakarta” dibacakan Romo Angga Indraswara SJ, Andi Suyadi, dan Maria Rosiana Sedjahtera. Hasil riset kemudian dibahas oleh para pemerhati, akademisi, penelit, politisi, antara lain Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo, Provinsial Serikat Jesus Indonesia Benny Hari Juliawan, Sukidi Mulyadi, Aria Bima (politisi PDIP), Inayah Wahid (Jaringan Gusdurian), Marie Elka Pangestu (Wakil Kepala Dewan Ekonomi Nasional), Sirley Santoso (Presiden Direktur AT Kearney Indonesia), serta Bivitri Susanti (Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera).
Melihat realitas yang ada, anak muda Jakarta sebenarnya bukan tak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Dari pengamatan Praksis, karena ruang untuk menyuarakan sikap anak muda terbuka kecil, sehingga mereka tak menemukan sandaran yang pas bila ingin bersikap terhadap berbagai isu sosial.
Pantauan Riset membidik anak muda berusia 16–30 tahun di DKI Jakarta, menggunakan metode campuran dengan model penjelasan berurutan (kuantitatif) kepada 400 responden melalui wawancara tatap muka berbasis computer-assisted personal interviewing (CAPI), yang kemudian diperdalam melalui diskusi kelompok terarah (FGD) bersama 26 peserta.
“Politik seharusnya mengarah pada kesejahteraan bersama dan membangun keadaban publik. Ketika yang terjadi justru perselingkuhan antarpilar negara, pasar, dan masyarakat warga, yang muncul bukan keadaban, melainkan kebiadaban publik,” ujar Suharyo, mengutip pemikiran sejarawan Sartono Kartodirdjo serta Nota Pastoral KWI Keadaban Publik (2004).
Direktur Public Engagement PRAKSIS Romo H Angga Indraswara SJ menjelaskan,“partisipasi politik warga muda tidak bisa semata-mata dibaca sebagai soal ketidakpedulian individu. Ini merupakan hasil dari interaksi posisi sosial mereka dengan struktur demokrasi yang didominasi elite.”
Peneliti Praksis Andi Suryadi menambahkan, mayoritas responden menunjukkan aktivitas sosial yang cukup tinggi, terutama pada isu lingkungan dan kegiatan berbasis komunitas. Namun, hampir seluruh responden—sekitar 97 persen—tidak memiliki afiliasi dengan partai politik, organisasi politik, maupun serikat pekerja. “Energi sosial itu ada. Kepeduliannya nyata. Tetapi energi tersebut tidak menemukan rumah institusional,” ungkap Andi.
Jurnalis: abri/dedy








