JAKARTA, Beritalima.com– Politisi senior partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) di Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan minta Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati untuk meninjau ulang Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No: 6/PMK.03/2021 karena akan membebani rakyat.
Seperti bdiberitakan, PMK ini berisikan penarikan PPN dan PPh atas penjualan pulsa, kartu perdana, token dan voucher. PMK ini mulai berlaku efektif 1 Februari 2021.
Menurut wakil rakyat dari Dapil IV Provinsi Jawa Barat ini, saat ini rakyat masih dibelit kesulitan menghadapi wabah pandemi virus Corona (Covid-19). “Tidak semestinya aturan yang bersentuhan dengan kebutuhan rakyat kecil ini dikeluarkan, walau pemerintah sudah mengucurkan stimulus,” kata dia.
Ingat, lanjut Hergun, demikian laki-laki ini akrab disapa, tidak semua rakyat menikmati dana stimulus. Apalagi, belum ada pemutakhiran data kemiskinan, sehingga masih banyak rakyat miskin tak tersentuh dana bantuan sosial dari Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). “Jadi, tidak saja momentumnya yang tidak tepat, PMK juga kian menjerat rakyat miskin pada keterpurukan sosial dan ekonomi.”
Perlu diingat, kata dia, Pemerintah sedang menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali, plus Pemerintah Provinsi Jakarta juga memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). “Dalam kondisi seperti ini masyarakat harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli pulsa dan token listrik dalam rangka Work From Home (WFH) dan belajar daring,” jelas dia.
Heri memahami, pendapatan pajak 2020 anjlok. Realisasi sementara pajak 2020 hanya mencapai Rp1.070 triliun meleset dari target Rp 1.198,8 trilun atau hanya terealisasi 89,3 persen. Namun, bukan berarti itu menjadi dasar untuk memungut pajak dari pulsa, kartu perdana, token dan voucher.
Meski Pemerintah berdalih, pemungutan pajak itu hanya menyasar sampai distributor tingkat dua. Namun, tetap saja dalam praktiknya akan berdampak pada konsumen. Saat ini di tingkat eceran terbawah, distributor memungut harga Rp1.000 hingga Rp2.000. Dia memberi contoh, membeli pulsa Rp10.000, konsumen akan dikenakan harga Rp12.000.
“Kita tidak ingin nanti setelah pemberlakukan pemungutan pajak, konsumen akan membayar Rp13.000 untuk pembelian pulsa Rp 10.000. Marginnya makin lebar. Ini sangat memberatkan rakyat,” keluh Ketua Poksi Gerindra di Komisi XI itu.
Pada sisi lain, hata Heri, dia melihat, pungutan pajak token listrik ini sangat lucu. Dulu pemerintah yang memaksa rakyat bermigrasi dari model pembayaran pascabayar ke model prabayar atau token.
Bila saat ini tiba-tiba pembelian token akan dipungut pajak, itu artinya Pemerintah menjebak rakyat. “Pemerintah mestinya berterima kasih kepada rakyat yang sudah berkonstribusi terhadap pertumbuhan sektor informasi dan komunikasi selama pandemi. Sektor infokom mampu menjaga pertumbuhan positif saat sektor lain mengalami konstraksi,” papar dia.
Pada kuartal II-2020, sektor infokom tumbuh 10,83 persen (yoy) dan kuartal III tumbuh 10,61 persen (yoy). Selain itu, sektor infokom juga memiliki porsi yang cukup besar pada struktur PDB di kuartal II dan III-2020, yakni 4,66 persen dan 4,56 persen, lebih tinggi dibanding sektor jasa keuangan dan asuransi, transportasi, pergudangan, akomodasi, makan minum, dan lain-lain.
“Pemerintah tidak boleh diskriminatif. Di satu sisi mengucurkan berbagai insensif perpajakan kepada perusahaan besar. Namun, pada waktu bersamaan makin intensif memungut pajak dari rakyat kecil.”
Dia mengaku akan membongkar persoalan perpajakan ini dengan membentuk Panja Pajak. Ini bentuk ketidakpuasan terhadap Menkeu atas laporan penerimaan pajak. (akhir)