Hetty Kus Endang: Hari Kebangitan Nasional Panggilan Menghidupkan Kearifan Lokal dan Alam Indonesia

  • Whatsapp
Hetty Kus Endang pegiat usaha kain Pantang bertekad momentum Harkitnas sebagai panggilan menghidupkan kearifan lokal dan alam Indonesia (foto: istimewa)

Jakarta, beritalima.com| – Salah satu semangat peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) setiap 20 Mei, adalah untuk menghidupkan kembali kearifan lokal dan alam Inonesia. Ini ditekankan oleh pegiat usaha kain, Hetty Kus Endang, perempuan Suku Dayak dari Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat (Kalbar). Hetty telah mendirikan Galeri Kain Pantang Sintang pada 2015.

Baru-baru ini wartawan beritalima (BL) bertemu Hetty Kus Endang (HKE) di Jakarta dan mewawancaranya terkait makna Harkitnas dilihat dari sisi pegiat usaha kain khas Sintang bernama Pantang. Istri dari Dian Beni Yuda yang memiliki dua orang anak ini, menjawab dengan sangat baik arti Harkitnas. Berikut petikannya:

BL. Apa makna Harkitnas menurut Anda yang berada di daerah?

HKE. Hari Kebangkitan Nasional bagi kami di daerah bukan sekadar momen sejarah nasional, melainkan seruan spiritual dan budaya untuk bangkit dari akar. Bangkit dari nilai-nilai yang diwariskan leluhur, dari tanah yang memberi kehidupan, dan dari budaya yang telah lama terpinggirkan. Ini adalah panggilan untuk menjadikan kearifan lokal dan alam sebagai fondasi kebangkitan Indonesia. Sejalan dengan semangat Laudato Si’, kami melihat, membangun bangsa harus dimulai dari membangun harmoni antara manusia, budaya, dan bumi.

BL. Sebagai pegiat usaha Kain Pantang khas lokal dari Sintang, apakah Anda merasakan semangat Harkitnas?

HKE. Sangat terasa. Harkitnas menjadi pemantik semangat untuk menunjukkan, anak bangsa bisa berkarya dari desa, dari akar tradisinya. Kami percaya setiap helai tenunan adalah wujud cinta tanah air, bentuk doa dari perempuan penenun kepada bumi dan simbol perlawanan terhadap arus budaya instan. Kain Pantang menjadi suara sunyi dari pedalaman yang menegaskan Indonesia tak hanya bangkit dari kota. Tapi juga dari desa, dari anyaman tangan perempuan, dari pewarna alami yang bersumber dari alam.

BL. Bisa diceritakan apa yang mengilhami Anda menekuni usaha kain khas dari daerahnya?

HKE. Pengalaman saya bertugas di Rembang, Jawa Tengah, menjadi titik awal membekas dalam perjalanan ini. Di sana, saya merasakan kehadiran jiwa RA Kartini begitu nyata. Saya membaca buku-bukunya di perpustakaan, dan dari situ saya tersentuh oleh perjuangannya—bagaimana dari ruang yang sunyi, ia mengangkat suara perempuan dan memperjuangkan pendidikan. Semangat itu tertanam kuat dalam diri saya.

Ketika saya kembali ke Kalimantan, saya membawa semangat Kartini dan merasa terpanggil untuk memulai sesuatu yang sederhana namun berdampak. Maka lahirlah Galeri Kain Pantang Sintang (2015) dan Yayasan Rumah Belajar Kain Pantang (2024), sebagai bentuk kecintaan saya terhadap budaya Dayak. Penghormatan kepada para leluhur, dan upaya membangun peradaban baru yang berpihak pada perempuan, budaya, dan alam.

Saya sangat terinspirasi oleh kekuatan perempuan Dayak, oleh tradisi bersahaja namun penuh makna, dan oleh alam yang memberi warna dan kehidupan. Saat melihat warisan budaya ini mulai ditinggalkan, saya merasa harus turut menjaga dan menghidupkannya kembali—bukan hanya sebagai warisan masa lalu, tapi sebagai jalan hidup. Sebuah bentuk spiritualitas, penghormatan kepada leluhur, dan cinta kepada bumi.

Inilah yang menggerakkan saya menjadikan Galeri Kain Pantang dan Yayasan Rumah Belajar Kain Pantang sebagai ruang untuk kebangkitan budaya, pelestarian ekologi, dan pemberdayaan perempuan. Saya percaya, dari kain dan cerita lokal, kita bisa merajut masa depan yang lebih bermakna.

BL. Apakah dari daerah (Pemkab/Pemprov) memberi bantuan signifikan untuk usaha yang Anda geluti? Kalau ya, dalam bentuk apa?

HKE. Beberapa bentuk dukungan pernah kami terima yaitu dari Bank Indonesia, seperti pelatihan, pameran, dan promosi.  Namun dukungan ini belum sepenuhnya berkelanjutan atau menyentuh aspek mendalam seperti regenerasi pengrajin atau penguatan sistem pewarnaan alami. Kami berharap ke depan, pemerintah daerah bisa lebih aktif dalam mendukung ekosistem budaya berkelanjutan, mengakui peran penting perempuan pengrajin, dan melindungi sumber daya alam lokal yang kami gunakan dengan penuh hormat.

BL. Prestasi apa yang pernah Anda ukir dalam mengangkat kekayaan kearifan (kain) lokal ini, baik di tingkat Nasional maupun Internasional?

HKE. Kami meyakini kain tradisional bukan sekadar warisan leluhur, tetapi juga simbol kebangkitan ekonomi, pendidikan, dan identitas budaya. Kami telah dipercaya dan diakui dalam berbagai ajang bergengsi, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Dalam skala Internasional, pernah dundang sebagai pembicara (Speaker) pada Iban Cultural Heritage Symposium and Expo 2024 di Kuching, Malaysia. Dalam forum ini, kami mewakili Indonesia untuk mempresentasikan kain Pantang sebagai wujud pelestarian budaya, pemberdayaan perempuan, dan diplomasi budaya di kancah global.

Lalu di skala Nasional, terpilih produk UMKM di ajang Karya Kreatif Indonesia, dan tampil bersama desainer kenamaan Edo Edward Hutabarat untuk mengangkat kekayaan kain tradisional ke panggung nasional.

Dipercaya sebagai UMKM yang menyediakan kain pantang sebagai outfit tamu VVIP, termasuk Presiden Joko Widodo dan delegasi negara lainnya, saat Gala Dinner KTT World Water Forum di Bali (2024) sebuah kehormatan besar yang menempatkan kain daerah sebagai simbol diplomasi budaya Indonesia.

Menerima penghargaan sebagai Pegiat Kekayaan Intelektual dari Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, atas kontribusi dalam perlindungan dan pengembangan kekayaan budaya lokal serta masuk dalam Top 20 Pengusaha Muda Brilian, sebuah pengakuan atas inovasi dan dedikasi dalam membangun usaha berbasis nilai-nilai budaya dan pemberdayaan masyarakat.

BL. Saat ini berapa sumber daya manusia yang membantu usaha Anda?

HKE. Kami memberdayakan sekitar 130 pengrajin lokal, mayoritasnya adalah perempuan. Kami juga melibatkan lulusan SMK sebagai bagian dari tim, memberi mereka ruang untuk berkembang melalui keterampilan dan pengalaman nyata.

Kami bukan sekadar bekerja bersama—kami tumbuh bersama, dalam semangat pelestarian budaya, solidaritas, dan keberlanjutan. Inilah wujud komitmen kami untuk membangun ekosistem yang adil dan inklusif, di mana setiap orang diberi kesempatan untuk berdaya dan bermakna.

BL. Apa tantangan dan peluang usaha Anda kini dan ke depan?

HKE. Tantangan terbesar kami adalah dominasi produk printing yang lebih murah, yang membuat kain tradisional semakin tersisih. Minimnya dukungan kebijakan terhadap produk lokal juga menyulitkan regenerasi penenun muda, pelestarian pewarna alami, dan edukasi publik tentang nilai kain tradisional.

Namun, kami melihat peluang besar: dunia kini mencari produk yang ramah lingkungan, bermakna, dan memberdayakan. Kain Pantang menjawab itu semua, ditenun dengan cinta, sarat tradisi, dan menjadi simbol kebangkitan dari desa. Kami percaya, dengan kolaborasi dan ketekunan, Kain Pantang bisa menjadi wajah Indonesia di panggung dunia.

Jurnalis: Abriyanto

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait