JAKARTA – Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Padjajaran dengan predikat cumlaude Deddy Mizwar (Demiz) yang juga Ketua Bidang Seni Budaya dan Ekonomi Kreatif (Ekraf) DPN Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia mengatakan, spirit hijrah telah mengajarkan kepada Umat Islam, bagaimana cara menghindari praktik politik kotor dalam memilih seorang pemimpin.
“Jadi sebenarnya peristiwa hijrah ini, bukan saja untuk menghindari pembunuhan Rasulullah SAW dari kaum Quraish. Tapi sebuah bentuk ketaatan awal dari Rasulullah kepada Allah SWT, bahwa Allah SWT memiliki grand desain mengenai sebuah negara besar,” Deddy Mizwar, Rabu (19/7/2023) petang.
Hal itu disampaikan Deddy Mizwar saat memberikan pengantar diskusi Gelora Talk bertajuk ‘Tahun Baru Islam: Spirit Revolusi Hijrah dari Politik Kotor’ Rabu (19/7/2023) yang ditayangkan secara live di kanal YouTube Gelora TV.
Diskusi yang dipandu Ketua Bidang Keumatan DPN Partai Gelora Dr Raihan Iskandar ini juga dihadiri Pengamat Politik Universitas Indonesia (UI) sekaligus anggota KPU 2002-2007 Chusnul Mar’iyah dan Pimpinan Pondok Pesantren Miftahul Huda-Ciamis, Jawa Barat (Jabar) KH. Nonop Hanafi.
Menurut Demiz, dengan mematuhi ketaatan kepada Allah SWT, Rasulullah SAW akhirnya terhindar dari praktik kotor kaum Quraish. Di Madinah, Rasulullah SAW akhirnya berhasil membangun kekuatan dan menjadi negara besar di luar Mekkah, yang kekuasaannya kita kenal luas hingga ke Eropa.
“Lalu, bagaimana dengan situasi demokrasi di Indonesia, apakah kita mungkin menghidari politik kotor di Pilpres 2024. Allah SWT itu sudah memiliki grand desain dan calon pemimpin kita itu, sudah ada namanya di Lauhul Mahfudz,” katanya.
Pemeran Jenderal Naga Bonar ini menilai pentingnya sebuah kesadaran dari para kandidat yang mengikuti kontestasi Pilpres 2024 agar menjadikan spirit hijrah tersebut, sebagai spirit untuk melakukan revolusi dari upaya politik kotor.
“Kepemimpinan itu, sebuah amanah dan sebuah ketentuan Allah SWY yang dimana pemimpin kita sudah ada di Lauhul Mahfudz. Kesadaran atas ketaatan ini, yang akan melahirkan pemimpin yang adil dalam membangun bangsanya. Kalau spririt hijrah ini, tidak ada, bisa kacau bangsa dan negara kita,” tegas Demiz.
Demiz berpandangan, bahwa kekuasaan pada dasarnya mengantarkan seorang pemimpin itu masuk neraka, jika menjadi pemimpin yang tidak amanah. Namun, ketika dia menjadi pemimpin yang adil, pemimpin tersebutlah yang pertama kali akan membuka pintu surga.
“Kalau kekuasan hanya sekedar memilih pemimpin tanpa spirit hijrah, apakah itu memilih Presiden atau memilih wakil rakyat, tujuannya itu adalah ketaatan kepada kepada Allah SWT. Salah satu ketaatan itu, adalah menghidari praktik politik kotor,” ujar mantan Wakil Gubernur Jabar ini.
Demiz mengingatkan, agar bakal calon presiden (bacapres) yang ada saat ini, jangan coba-coba untuk menjadi pemimpin sebuah negara, apabila tidak memiliki spirit hijrah seperti yang diajarkan Islam.
“Pintu surga pertama kali dibuka itu, bukan untuk ulama, tetapi untuk pemimpin yang adil. Kalau pemimpinnya tidak adil dan tidak memiliki spirit hijrah, mungkin pemilihnya juga akan keseret juga, masuk neraka bersama-sama,” paparnya.
Ketua Bidang Seni Budaya dan Ekraf DPN Partai Gelora ini lantas mencontohkan proses pemilihan Umar Bin Khotob sebagai Khalifah. Dimana semua sahabat mendorong Umar menjadi pemimpin, karena dianggap lebih baik dari yang lain.
“Karena semua sahabat ini tahu beratnya amanah yang akan ditanggung sebagai pemimpin, karena dia akan masuk neraka terlebih dahulu. Kekuasaan itu, hakekatnya memperluas lahan ibadah kita, menyebabkan kita masuk surga atau neraka,” katanya.
Ia menambahkan, kesadaran melakukan ketaatan kepada Allah SWT, ini yang harus ada pada para bacapres, jika ingin menjadi pemimpin. Sebab, proses pemilihan yang kotor, akan menghasilkan pemimpin yang kotor dan akan berdampak tidak baik kepada rakyatnya.
“Jadi Pilpres 2024 ini akan menjadi cerminan atau petunjuk dari seorang pemimpin. Kalau pemimpinnya yang dihasilkan buruk, pemilihnya atau rakyat pun buruk. Karena itu, spirit revolusi hijrah dari politik kotor harus ditanamkan dalam dirinya para capres kita yang ingin menjadi pemimpin,” pungkas Demiz.
Sementara itu, Pengamat Politik UI Chusnul Mar’iyah mendorong Partai Gelora untuk menghadirkan ‘Pemilu Halal’ dalam Pemilu 2024. Dalam konteks Pemilu, bisa dimaknai bahwa hijrah itu dari perang senjata perang suara.
“Dalam perang suara, inilah terjadi perang keuangan atau finansial. Padahal yang perlu kita pahami dalam sejarah mempertahankan kedaulatan NKRI itu, bukan perang finansial, tapi perang ideologi” kata Chusnul.
Sebagai seorang political scientists, kata Chusnul, Partai Gelora adalah partai yang selalu mengedapankan, agama dan politik tidak boleh dipisahkan. Agama tidak boleh dipinggirkan, karena agama memiliki nilai dalam menjaga moralitas.
“Kalau kita bicara ‘why election integrity maters’ seperti dalam paper saya, bahwa agama itu membawa hijrah tentang value atau nilai. Untuk apa anda berkuasa, jika demokrasi ditentukan elite, rakyat dipaksa memilih dari bos yang satu ke bos yang lain,” katanya.
Anggota KPU RI 2002-2007 mengatakan, dalam setiap memberikan Bimtek, ia selalu ditanya, bahwa modal sosial dan kapital itu, akan selalu menjadi pemenang dalam memilih Presiden maupun Anggota Legislatif.
“Mereka selalu percaya duit, duit dan duit yang akan menjadi pemenang. Tapi anda lupa, dari 7.000 caleg misalnya, yang menang itu hanya 575 sampai 580 caleg, apakah mereka nggak pakai duit, pakai duit juga, tapi kalah juga. Sekarang ini bagaimana Pemilu itu menjadi barakah semua harus diawasi, termasuk lembaga survei dan media, karena jadi bagian dari itu,” ujarnya.
Chusnul menilai pentingnya rekuitmen terhadap orang-orang yang akan dipilih sebagi pemimpin, karena sistem Pemilu kita itu meski menggunakan Sistem Pemilu Terbuka, tetapi diwarnai dengan aksi tipu-tipu muslihat.
“Karena itu, mari kita bangun Pemilu kita ini dengan semangat hijrah tadi, Pemilu yang halal. Makanya saya pusing, kalau ada yang pakai ilmu fiqih itu mengatakan, money politic itu tidak apa-apa, karena membeli kebenaran,” katanya.
Sebab, oligarki kekuasan itu, ungkap Chusnul, sudah merancang kekuasaannya agar tetap bertahan mulai dari kekuasan Presiden, kekuasaan politik hingga kekuasaan ekonomi.
“Hasilnya, dampaknya itu ada UU Pendidikan, kesehatan, cipta kerja, industri, kepemilihan tanah, sampai masalah utang dikuasai semua oleh oligarki. Bahkan oligarki ini juga menggunakan DPT sampai hari H dan pengangkatan Anggota KPU-KPU daerah sebagai modal untuk mencurangi Pemilu,” ungkapnya. .
Karena itu, dengan Pemilu Halal yang tidak mengeluarkan agama dari politik dalam menentukan kepemimpinan nasional, bukan didasarkan pada elektablitas yang dibuat oleh lembaga survei, moralitas calon pemimpin akan terjaga.
“Tapi yang utama adalah moraitas. Bagaimana track record, moralitas dia, etika dia, punya kepedulian terhadap kedaulatan dan permasalahan bangsa ngga dia. Jangan hanya dipuja-puji saja, tapi anda tidak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi dibalik itu semua,” jelas Chusnul.
Pemimpin amanah itu, menurut pengajar FISIP UI ini, adalah pemimpin yang akan menjemput kemenangan di Pilpres 2024 sesuai dengan qada dan qadar, sesuai dengan sila pertama Pancasila, berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Kalau kita percaya Allah SWT yang memegang kekuasan, Allah yang memberikan kepada siapa kekuasaan itu, bahkan Allah juga yang akan mencabut kekuasan itu. Allah juga akan memuliakan, siapa yang dihendaki atau dihinakan. Oleh karena itu, saya ajak kawan-kawan Gelora, dengan semangat bergelora menghadirkan Pemilu Halal. Mudah-mudahan, dapat berkuasa dengan kategori dimuliakan,” tegas Chusnul.
Chusnul berharap agar para elite politik dan nasional perlu memikirkan kembali mengenai pemikiran para pendiri bangsa dalam pemilihan Presiden lebih memilih di MPR, daripada memilih secara langsung.
Karena pemilih langsung itu, merupakan perwujudkan demokrasi liberal, sementara memilih Presiden di MPR itu, perwujudan demokrasi Pancasila.
“Dalam konteks ini diskursus-diskursus seperti ini harus terus dikembangkan untuk mencari model yang kita praktekkan, apalah instrumen demokrasi Liberal atau demokrasi Pancasila,” tandasnya.
Secara khusus, Chusnul Mariyah mendorong Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Mereka akan menjadi pemimpin yang amanah seusai dengan kriteria yang telah disampaikannya.
“Kalau di mana-mana, Prabowo nyari-nyari cawapres, saya katakan sudah ketemu. Saya katakan langsung kepada adinda saya, Fahri Hamzah saat bertemu. Kenapa nggak elu saja sih jadi cawapresnya Prabowo. Ini pendapat saya, tapi mudah-mudahan beliau sudah bekerja,” pungkasnya.
Sedangkan Pimpinan Pondok Pesantren Miftahul Huda-Ciamis KH Nonop Hanafi meminta semua pihak tidak boleh berputus asa dalam menentukan pemimpin untuk masa depan bangsa Indonesia saat hajatan politik lima tahunan.
“Kita tidak boleh pernah putus asa, karena pada akhirnya akan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar. Saya berharap tidak ada politisasi, dan terus bangkit agar kita menemukan pemimpin yang ideal,” kata KH Nonop Hanafi. (ar)