HIMAPAS Minta KPK Turun ke Aceh Singkil

  • Whatsapp

ACEH,Beritalima- Himpunan Mahasiswa dan Pelajar Aceh Singkil (Himapas) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi untuk turun ke Aceh Singkil mengingat banyaknya indikasi korupsi yang terjadi di bumi Syekh Abdul Rauf As Singkily itu,hal ini disampaikan oleh Sekjen Himapas, Zazang Nurdiansyah, Rabu (05/12/2018).

“Banyak persoalan yang disinyalir berpotensi korupsi, namun hal tersebut sangat terkesan dibiarkan begitu saja oleh penegak hukum yang ada di Aceh Singkil. Sehingga tak ada solusi lain kecuali KPK yang harus turun tangan agar permasalahan KKN di Aceh Singkil dapat ditindak lanjuti.

“Indikasi korupsi yang terjadi pada bantuan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 80 Watt Peak yang bersumber dari APBN Tahun 2015 melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

“Sebanyak 360 penerima bantuan PLTS tersebut dengan jumlah 360 unit PLTS 80 watt disinyalir fiktif, bahkan sebagian besar rumahnya sudah dialiri listrik. Kita menduga bantuan tersebut telah digelapkan oleh oknum, sehingga perlu diusut tuntas,” katanya.

Selain itu juga ada penggunaan dana bantuan untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Aceh Singkil yang tiap tahunnya mencapai 400 juta rupiah. “Namun, meski tiap tahunnya bantuan tersebut dikucurkan, kegiatan yang dilakukan tidak sesuai dengan jumlah anggaran tersebut, bahkan disinyalir LPJ yang dibuat tiap tahunnya fiktif. Tak hanya itu, anggaran sebesar 1,4 Milliar untuk pra pora dan 1,2 M untuk mengikuti PORA juga terindikasi rawan disalahgunakan sehingga dampaknya prestasi olahraga di Aceh Singkil memprihatinkan.

“Potensi adanya indikasi permainan dengan pihak perusahaan dengan oknum elit di Aceh Singkil terkait dana CSR sejumlah perusahaan yang tak tau alirannya kemana, bahkan sejak satu dekade terakhir menjadi tanda tanya masyarakat. Pasalnya masyarakat di sekitar perusahaan perkebunan tak mendapatkan manfaat dari dana CSR tersebut sebagaimana diamanahkan UUPT, UU Perkebunan dan Qanun Perkebunan Aceh. Sementara, dana tersebut disinyalir mengalir ke kantong oknum-oknum elit, apalagi selama ini memang terbukti tidak adanya transparansi pengelolaan dana CSR dari sejumlah perusahaan perkebunan di Aceh Singkil.

“Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) atas Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Aceh Singkil Tahun 2014 Nomor 24.B/LHP/XVIII.BAC/07/2015 ditemukan beberapa persoalan mendasar yang melanggar hukum pada DPKKD Aceh Singkil.

“Salah satu temuan BPK RI pada tahun 2014 yaitu terkait pemberian hibah dan bantuan sosial kepada penerima bantuan tidak disertai dengan fakta integritas yang menyatakan bahwa dana bantuan yang diterima akan digunakan sesuai dengan yang janjikan.

“Realisasi belanja hibah kepada badan/lembaga/organisasi swasta sebesar Rp3.122.000.000, sebesar Rp395.000.000 atau 12,65% diantaranya belum dipertanggungjawabkan serta dari total realisasi belanja bantuan sosial kepada organisasi kemasyarakatan sebesar Rp204.750.000,00, diantaranya disalurkan kepada penerima yang sebenarnya bukan merupakan kategori penerima belanja bantuan sosial sebesar Rp162.250.000. belanja hibah yang belum dipertanggungjawabkan sebesar Rp 395.000.000,00 tidak dapat diketahui penggunaannya dan berpotensi digunakan tidak sesuai tujuan pemberiannya.

“Hal tersebut telah melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007, Pasal 133 ayat (2), dan Peraturan Bupati Aceh Singkil Nomor 38 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penganggaran, Pelaksanaan dan Penatausahaan, Pelaporan dan Pertanggungjawaban serta Monitoring Hibah, Bantuan Sosial dan Bantuan
Keuangan,” sebutnya.

“Tahun 2015 kembali ditemukan sejumlah pelanggaran terkait bantuan hibah di Aceh Singkil. Berdasarkan Laporan Realisasi Belanja Hibah pada PPKD diketahui bahwa Belanja Hibah yang diantaranya dialokasikan dalam bentuk uang dengan anggaran sebesar Rp3.135.000.000,00 dan telah direalisasikan sebesar Rp3.015.000.000,00 diberikan kepada 44 penerima hibah. Sementara itu, Sisa anggaran Belanja Hibah sebesar Rp 26.757.251.423,00 direalisasikan dalam bentuk barang dengan realisasi sebesar Rp 25.581.599.485,00. Hibah tersebut dianggarkan pada belanja barang/jasa yang akan diserahkan kepemilikannya kepada pihak ketiga/masyarakat dalam bentuk program dan kegiatan pada enam SKPD.

“Hasil pemeriksaan BPK-RI terhadap dokumen Belanja Hibah dan Belanja Barang dan Jasa, untuk hibah yang disalurkan dalam bentuk uang, BPK menemukan adanya pelanggaran Pemberian Belanja Hibah yang berulang kepada Penerima Hibah yang sama selama dua hingga tiga tahun berturut-turut dan terlambatnya penerima hibah menyampaikan pertanggungjawaban sebesar Rp. 790.000.000 dan belum mempertanggungjawabkan sebesar Rp. 625.000.000, serta adanya penyaluran terhadap dua penerima hibah tidak dilakukan dengan mekanisme NPHD.

Sementara itu, untuk bantuan hibah yang diserahkan dalam bentuk barang, BPK-RI menemukan hibah berupa barang yang tidak ditetapkan dalam SK Bupati sebesar Rp. 13.172.244.800, kesalahan pencatatan realisasi belanja hibah berupa barang sebesar Rp. 322.213.000, dan masih terdapat hibah barang yang diserahkan pada tanggal 7 Maret 2016 senilai Rp. 3.363.845.049 yang tidak dicatat dalam persediaan pada Neraca Dinas Syariat Islam, namun telah di catat sebagai beban persediaan hibah pada Laporan Operasional.

“Hasil pemeriksaan (LHP) BPK RI perwakilan Aceh nomor: 23.C/LHP/XVIII.BAC/06/2018 tanggal 4 Juni 2018 terhadap APBK 2017.BPK menemukan penilapan anggaran mencapai Rp 1.372.716.658, diduga akibat kelebihan perjalanan dinas SPPD yang digunakan oleh beberapa pejabat Setdakab dan Satuan Kerja Perangkat Kabupaten (SKPK), serta sejumlah oknum anggota DPRK Aceh Singkil.

“Persoalan sisa anggaran Otsus tahun anggaran 2017 berdasarkan pernyataan laporan sidang paripurna rancangan qanun DPRK Aceh Singkil beberapa pekan ini tentang pertanggung jawaban pelaksanaan APBK 2017 Aceh Singkil yang telah selesai namun masih belum jelas laporannya.

Dia menjelaskan, dalam laporan pertanggung jawaban
APBK, itu termasuk didalamnya realisasi fisik dan keuangan dana Otonomi Khusus (Otsus) Kabupaten Aceh Singkil Tahun Anggaran 2017 sebesar Rp 118 Miliar.

“Dana Otsus Aceh Singkil tahun 2017 sebesar Rp 118.138.819.332 Miliar itu, terealisasi hanya sebesar Rp 111.374.180.178 Miliar. Terdapat sisa anggaran dana sebesar Rp 6,764.639.154 Miliar. Sisa sebesar Rp 6,764.639.154 itu seharusnya menjadi Silpa tahun Anggaran 2017 dan merupakan penerimaan pembiayaan daerah tahun anggaran 2018. Namun mirisnya dana sebesar 6,7 M itu tak tau kemana muaranya, sehingga persoalan ini diyakini rawan berpotensi korupsi,” imbuhnya.

Sejumlah indikasi korupsi tersebut, lanjut Zazang, hanyalah sebagian dari sejumlah indikasi korupsi yang terjadi di bumi Syekh Abdurrauf As- Singkily. “Kita berharap KPK tidak hanya berani sampai ke Banda Aceh saja, tapi juga harus turun ke Aceh Singki.(A79)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *