TULUNGAGUNG, beritalima.com- Dalam kurun waktu Januari-September 2018, Pemerintah Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, melalui Dinas Kesehatan, menemukan 806 kasus Tuberkulosis (TBC). Jika di Tulungagung saja ada kasus dengan angka sebesar itu, belum lagi yang belum terdeteksi, dapat dikatakan Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam penanggulangan dan pengendalian TBC.
Menurut Kepala Seksi (Kasi) Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Tulungagung, Didik Eka Sp, Skm, M,Si, meningkatnya kasus TBC-Resisten Obat (TBC MDR), TBC-HIV, TBC dengan diabetis melitus (DM), TBC pada anak dan masyarakat beresiko lainnya (DM, Gizi Buruk/Gangguan Gizi, HIV, Perokok, Bumil, Lansia) menjadi beban berat bagi program kesehatan di masyarakat.
Estimasi insiden rate penderita TBC di Provinsi di Jawa Timur, sebesar 288/100.000 penduduk. Angka tersebut menekankan bahwa persoalan penanggulangan dan pengendalian TBC sangat memerlukan upaya serius, sinergi, terintegrasi dan berkelanjutan.
“Tuberkulosis atau TBC adalah penyakit yang menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC menyerang paru. Tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran napas. Kuman TBC masuk ke dalam tubuh melalui sistem pernafasaan. Maka kuman TBC dapat menyebar dari paru ke bagian organ lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran getah bening atau menyebar langsung kebagian-bagian tubuh lainnya,” terang Didik Eka, baru-baru ini.
Sekitar 75% pasien TBC, lanjutnya, merupakan kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis. Yakni usia antara 15 – 50 tahun. Diperkirakan, seorang pasien TBC dewasa akan kehilangan rata rata waktu kerjanya 4 sampai 5 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20 – 30%. Sehingga TBC memberikan dampak buruk lainya secara sosial dan ekonomi,” paparnya.
Untuk diketahui, penduduk Kabupaten Tulungagung pada tahun 2018 berjumlah 1.035.290 jiwa. Sedangkan perkiraan jumlah kasus TB di Kabupaten Tulungagung ada 2.984 kasus (all case).
“Pada saat ini, Januari-September 2018, baru ditemukan 806 kasus. Sehingga masih terdapat 2.176 kasus TB yang belum ditemukan dan diobati,” ujarnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, kemudian Pemerintah Kabupaten Tulungagung melalui Peraturan Bupati Nomor 36 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Daerah (RAD) Pengendalian Tuberkulosis 2017-2021. Ini sebagai bentuk respon kebijakan atas kasus TBC di Kabupaten Tulungagung.
Peraturan Bupati ini sebagai acuan dan pedoman bagi pemerintah daerah dan pihak terkait lainnya untuk meningkatkan komitmen dan kepemimpinan dalam upaya Pengendalian TBC. Selain itu, berfungsi sebagai acuan untuk melakukan koordinasi perencanaan, pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi agar dicapai sinergi dalam upaya bersama dalam inovasi jejaring internal maupun jejaring eksternal bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam akses obat maupun layanan rujuk kasus.
“Wajib notifikasi (WIFI TB) merupakan inovasi upaya sitem pencatatan dan pelaporan bagi dokter praktik mandiri dalam pengendalian TBC. Strategi penemuan TBC terkait dengan penemuan kasus TBC adalah penemuan aktif dan atau massif berbasis keluarga serta masyarakat dengan cara investigasi kontak (IK 1-20). Kegiatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi anak-anak maupun orang dewasa yang kontak erat dengan pasien TB paru, tidak tinggal serumah atau sering bertemu dengan penderita dalam waktu yang cukup lama, atau yang intensitas pajanan atau berkontaknya hampir sama dengan kontak serumah,” tuturnya.
Untuk itu, Didik berharap, akselerasi ini dapat menjangkau yang belum terjangkau, mendeteksi yang belum terdeteksi serta melaporkan yang belum terlaporkan.(yd/Dst).
Ket.Foto: Saat Lokarya (Foto:Istimewa).