Caption:
Hari Putri Lestari (HPL) SH, MH anggota DPRD provinsi Jatim
SURABAYA, beritalima.com|
Banyaknya pungutan yang dilakukan oleh pihak sekolah SMAN dan SMKN terhadap para siswa, dengan mengatasnamakan komite, menjadi polemik berkepanjangan yang terus bergulir setiap tahun. Menanggapi perihal tersebut, Hari Putri Lestari SH MH, mengakui bahwa polemik tersebut akan terus terjadi selama pemerintahan provinsi Jawa Timur belum menyediakan anggaran yang memadai.
Namun HPL, panggilan akrab Hari Putri Lestari juga mengatakan bahwa anggaran pendidikan sebenarnya sudah cukup besar. Hanya karena anggaran tersebut dibagi ke 38 kabupaten kota se-Jatim tentu nilainya menjadi lebih kecil.
“Sebenarnya, kita sudah mengusulkan anggaran pendidikan lebih dari 20 persen dari total APBD, yaitu senilai Rp 12 triliun. Tetapi kondisi keuangan Pemprov Jatim belum mampu mengcover permintaan anggaran tersebut. Sehingga seluruh kebutuhan pendidikan di sekolah, belum bisa maksimal,” terang anggota DPRD provinsi Jatim ini.
“Untuk itu, pemerintah tidak melarang jika pihak sekolah melakukan pungutan melalui komite sekolah. Tetapi pungutan tersebut harus bersifat sukarela, tidak boleh memaksa, apalagi sampai menahan ijasah siswa karena belum melunasi pungutan tersebut,” tandas anggota komisi E DPRD provinsi Jatim ini.
Wakil ketua DPD PDI-P Jatim ini menegaskan, pemerintah sudah melakukan kebijakannya terkait program wajib belajar 12 tahun. program Tistas (gratis berkualitas) di Jawa Timur sudah terealisasi, meskipun memiliki banyak kekurangan.
“Pengertian Tistas, gratis berkualitas ini konotasinya bagi masyarakat adalah sekolah gratis. Tidak ada pungutan apa-apa. Tetapi kebutuhan sekolah sendiri sangat banyak, karena itu pemprov Jatim tidak melarang jika sekolah melakukan pungutan. Dan sifatnya sukarela. Tetapi realita di lapangan, masih banyak sekolah yang terus menerus melakukan pungutan kepada para siswa. Dan caranya menagih juga saya anggap terlalu arogansi. Para guru mengumumkan bahwa siswa tersebut belum melunasi tagihan di depan para siswa saat pelajaran berlangsung. Semestinya kan siswa bersama orang tua dipanggil di ruangan untuk membicarakan, apakah orang tua tersebut bersedia atau tidak membantu memberi sumbangan untuk kelancaran kegiatan belajar mengajar di sekolah tersebut,” sambung HPL.
HPL mengisahkan bahwa pihaknya juga menerima pengaduan terkait pungutan tersebut. Kesannya pihak sekolah memaksa para wali murid untuk melunasi tagihan pungutan, atau disebut sebagai sumbangan.
HPL menekankan, pihak komite mestinya sudah mendapatkan informasi terkait data para siswa di sekolah tersebut. Dengan memiliki data para siswa, pihak komite sudah bisa mengambil kebijakan siswa mana saja yang dianggap mampu untuk memberikan sumbangan.
“Jangan meminta sumbangan kepada keluarga MBR atau keluarga penerima PKH. Mereka ini justru yang perlu mendapatkan bantuan. Semisal dilakukan subsidi silang. Wali murid yang punya penghasilan lebih bisa memberikan sumbangan yang lebih besar, disamping untuk kebutuhan sekolah, sisa dari uang sumbangan bisa dibelikan seragam gratis untuk para siswa yang tidak mampu. Dan pihak sekolah yang menjembatani. Jika dilakukan pemikiran seperti itu, saya rasa kondisi sekolah bisa kondusif, dan para siswa yang orang tuanya tidak mampu juga merasa bahagia, karena mendapatkan perhatian dari pihak sekolah,” pungkasnya.(Yul)