Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Lumajang)
Hukum waris sering diabaikan banyak orang. Keberadaannya diperlukan akan tetapi banyak orang yang nyaris tidak perduli mendalaminya. Itulah sebabnya, hukum waris juga sering disebut sebagai hukum terlantar. Bahkan, oleh sebagian besar para pengabdi ilmu sekalipun. Dalam isu-isu harian orang lebih tertarik mempelajari dan mendiskusikan masalah-masalah fikih yang lain.
Apalagi, jika harus dibandingkan dengan isu-isu aktual lainnya, seperti teknologi dan politik. Dalam konteks demikian, hukum–yang sering juga disebut faraidh– ini bahkan dikatakan tidak hanya sekedar terlantar, tetapi hukum yang sebagai disiplin ilmu termarjinalkan. Jika dalam suatu rumah ada beberapa anak kandung, hukum waris ibarat anak kandung yang terabaikan di rumahnya sendiri. Mengenai prospek hukum waris yang demikian tampaknya pernah disinyalemen oleh rasulullah SAW dalam salah satu sabdabnya: “……dan pelajarilah faraidh serta ajarkanlah kepada orang-orang. Karena saya adalah orang yang yang akan direnggut mati, sedangkan ilmu itu bakal diangkat. Hampir-hampir dua orang yang bertengkarn tentang pembagian pusaka, maka mereka berdua tidak menemukan seorangpun yang sanggup menfatwakannya kepada mereka.”( HR Ahmad, An Nasai dan Daruquthni )
Pada hal, kehadiran hukum waris sebenarnya sangat penting, karena berkaitan dengan prospek status kekayaan yang dimiliki seseorang. Secara naluri, keinginan mengambil alih kekaayaan orang yang meninggal tentu merupakan keinginan sipapaaun orang berada sekitarnya. Tidak peduli, apakah yang berada di sekitar tersebut keturunannya atau hanya kebetulan mempunyai kedekataan saja. Tampaknya ada belum tahu, bahwa tidak semua orang yang dekat secara fisik dengan pewaris mempunyai hak waris. Hal demikian berlaku sebaliknya, tidak mesti orang yang tidak dekat secara fisik harus diabaikan dari pembagian warisan. Karena, bisa jadi orang sehari-hari dekat dengan si mati tersebut sekalipun telah bertahun-tahun, sama sekali bukan keluarga yang mempunyai hubungan kewarisan dengan pewaris. Mengapa?
Untuk menjadi ahli waris yang berhak menerima, harus mempunyai hubungan kewarisan dengan orang yang meninggal. Orang yang mempunyai hubungan kewarisan ini menurut hukum Islam disebabkan karena 3 hal, yaitu karena hubungan nasab, karena hubungan perkawinan, dan wala ( yang ketiga ini kini sudah tidak ada lagi). Banyak orang beranggapan, bahwa karena merasa mempunyai hubungan nasab ( mempunyai garis keturunan ) maka harus memperoleh harta warisan dari orang yang meninggal. Merekapun ikut meributkan harta warisan almarhum. Padahal, hanya orang yang mempunyai hubungan nasab yang secara syar’i paling dekat sajalah yang dapat menjadi dapat mewarisi harta pewaris. Dalam hukum kewarisan Islam ada konsep hajib mahjub. Berdasarkan konsep ini, seorang ahli waris bisa terhalang untuk mewarisi harta almarhum karena ada ahli waris lain yang menghalanginya. Yang dapat menghalangi ini karena secara syar’i dianggap lebih dekat dengan almarhum/almarhumah.
Dan, masih banyak lagi persoalan-persolan kewarisan yang ujungnya menjadikan persengkataan keluarga. Keluarga yang semula kompak rukun, gegara berebut harta warisan akhirnya harus bercerai berai, berseteru sampai anak cucu, dan bahkan tidak jarang terjadi pertumpahan darah dan putus silitarurahmi. Mereka lupa peringatan rasulullah SAW, bahwa pemutus silaturrahmi tidak akan dapat masuk surga. Terjadinya sengketa yang menjadi bom waktu itu dapat terjadi, secara empiris, sering disebabkan oleh tiga hal: karena ketidak tahuan hukum warisan, manajemen harta, dan ketamakan.
Seperti disinggung di muka bahwa ketidaktahuan hukum waris menyebabkan seseorang ahli waris mempunyai persepsi yang salah. Orang yang yang secara hukum mestinya tidak berhak karena alasan tertentu merasa berhak akhirnya menguasai seenaknya harta peninggalan almarhum. Apalagi kalau jarak pembagian harta dengan kematian pewaris berlangsung sangat lama, semisal sudah sampai keturunan derajat ketiga atau bahkan keempat.
Sedangkan, harta sudah terlanjur dikuasai secara sepihak oleh sebagian keluarga. Padahal, mestinya segera setelah pewaris meninggal, pembagian warisan ini dilaksanakan. Sebab, salah satu asas hukum waris Islam adalah ijbari. Asas ini mengandung pengertian, bahwa peralihan harta dari orang yang meninggal kepada ahli waris berlaku dengan sendirinya, tanpa usaha dari yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima. Itulah sebabnya hukum waris beserta ketentuannya, berlaku seketika ketika pewaris benar-benar telah meninggal. Setelah seseorang dinyatakan meninggal dunia, pada saat itu pula harus ditentukan siapa ahli waris yang berhak menerima dan dipilah mana harta yang dapat dibagi sebagai harta warisan dan mana yang bukan.
Oleh karena mengenai berapa ketentuannya, para ahli waris sering tidak tahu, maka melibatkan tokoh agama setempat ( kiai atau ustadz ) yang mengerti, merupakan seseuatu hal perlu dilakukan oleh ahli waris.
Tokoh masyarakat ini sebelum membantu menentukan siapa ahli waris yang berhak dan membaginya perlu memberikan sentuhan rohani kepada para ahli waris tentang status keberadaan harta warisan. Hal-hal apa yang harus terlebih dahulu ditunaikan dan bahaya memperoleh harta warisan yanag tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah. “Barang siapa siapa durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya dan melemapai batas dari ketentuan yang telah ditetapkan Allah, maka Allah akan memasukannya ke dalam neraka kekal di dalamnya dan baginya adzab yang pedih (An Nisak 14)” Dalam rangka memberikan warning kepada ahli waris peringatan Allah tersebut sangat perlu disampaikan kepada para ahli waris.
Hanya saja di masyarakat yang masih menjunjung tinggi ketimuran pelekasanaan pembagaian di atas memang tidak semudah teori. Banyak faktor mengapa harta warisan tidak dapat secara mudah dapat dibagi kepada yang berhak. Norma etika dan estetika turut menjadi pertimbangan. Dengan alasan ini, para ahli waris merasa enggan menyinggung sedikitpun pembagian harta warisan. Adalah dianggap sangat tidak etis apabila ada ahli waris yang mengutik-utik harta almarhum dalam suasana berkabung yang meliputi seluruh keluarga almarhum. Akan tetapi, hal demikian mestinya tidak boleh menyebkan seluruh ahli waris lupa bahwa cepat atau lambat harta almarhum akan dibagi kepada ahli waris yang berhak. Mereka harus sadar, bahwa kalau tidak, cepat atau lambat harta peninggalan almarhum akan berpotensi menjadi sumber persengketaan dan perpecahan keluarga. Keluarga yang berpendidikan secara diam-diam atau secara terbuka, harus ada yang berani melakukan audit seluruh harta warisan almarhum dan perkembangannya. Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil potensi masalah di kemudian hari. Audit ini juga dimaksudkan agar ahli waris yang culas, tidak berlaku seenaknya terhadap harta warisan untuk kepentingan pribadi.
Yang sering dilakukan oleh ahli waris, yang culas sekaligus tamak, ini adalah biasanya mengalihkan harta warisan kepada pihak ketiga dengan cara menjual tanpa sepengetahuan ahli waris yang lain. Momen kedamaian dan kediaman ahli waris lain, disalahgunakannya untuk berlaku curang. Dia lupa dengan asas ijbari yang ada pada hukum kewarisan, bahwa ahli waris dan bagian harta yang berhak diterima melekat sampai kapanpun. Bahkan, oleh karena melekat, harta warisan yang sudah berpindah kepada pihak lainpun secara hukum dapat tetap diperhitungkan apabila ahli waris lain yang dirugikan mempermasalahkannya. Apabila terjadi sengketa di Pengadilan Agama harta yang sudah beralih ke pihak lainpun masih dapat digugat dan yang membeli harta warisan tersebut juga dijadikan tergugat.
Potensi-potensi masalah di atas sering diabaikan oleh masyarakat kita. Mereka baru ‘menyesal’ ketika masalah sudah menjadi persengketan terbuka di pengadilan. Sekedar meperebutkan harta warisan mereka harus berjuang habis-habisan di pengadilan. Karena harta sudah beranak pinak dan sebagian sudah berpindah ke pihak-pihak lain ruang sengketa menjadi meluas dan terbuka. Banyak pihak harus terlibat, tenaga, biaya dan pikiran harus terkuras demi perjuangan mendapatkan hak: “harta warisan”.
Dengan porsinya masing-masing, seluruh ahli waris yang terlibat persengketaan ini pun sama-sama harus menanggung risiko. Apalagi kalau masing-masing pihak saling tidak mau mengalah sering sengketa warisan di pengadilan ini, harus berlangsung bertahun-tahun. Putusan yang diperoleh pun sering tidak memuaskan. Bisa tidak memuaskan salah satu pihak atau kedua belah pihak sekaligus. Apabila terjadi demikian, para pihak harus maklum, pengadilan hanya sebatas memeriksa berkas dan bukti-bukti yang diajukan. Sebab, sering terjadi di pengadilan, yang merasa benar tidak bisa membuktikan dalil-dalilnya. Pengadilan hanya memeriksa yang terlihat sedangkan yang sesungguhnya terjadi dan yang tidak dapat dibuktikan bukanlah ranah pekerjaan pengadilan. Dalam kondisi demkian para hakim memang hanya bisa mengikut rasulullah SAW “Kami hanya menghakimi yang tampak sedangkan Allah menguasai yang tersembunyi”. Para pihak yang merasa menangpun juga tidak serta merta bisa mendapatkan haknya. Sebab, apabila yang kalah tidak bersedia secara suka rela menyerahkan hak kepada pihak lain yang menang, masih diperlukan campur tangan pengadilan berikutnya yang yang ternyata juga sering tidak berjalan mulus.
Ilustrasi dari pengalaman kasus di masyarakat dan kisah nyata di dunia peradilan tersebut memberikan pelajaran bagi kita, bahwa masyarakat kita—yang di samping masih banyak yang belum faham hukum waris—ternyata juga masih banyak yang belum sadar mengenai akibat memakan bagian hak waris orang lain. Padahal, setelah menjelaskan ketentuan mengenai ketentuan bagian masing-masing ahli waris, dalam Surat An-Nisak ayat 14, Allah telah dengan tegas memberikan ultimatum, bahwa siapa saja yang tidak mentaati dan melebihi batas dalam hal bagian warisan sehingga mengambil bagian ahli waris yang lain dengan cara yang tidak benar, maka akan dimasukkan neraka secara kekal. Berpijak dari ayat tersebut, tingkat kepatuhan seseorang dalam hal ketentuan bagian harta warisan ini, juga menjadi salah satu tolok ukur tingkat keimanan seseorang. Ironisnya, sengketa waris ini juga sering melibatkan para tokoh yang dari sisi pengetahuan agamanya juga cukup memadai. Fenomena demikian mengundang pertanyaan besar: apa yang salah dengan masyarakat kita? Pencerahan mengenai aspek-aspek hukum waris via majelis taklim, pengajian umum, dan penyuluhan hukum mungkin sudah waktunya mendapat perhatian dari para pemangku kepentingan. Wallahu a’lam.