Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Kalau tidak mau berselancar, para sarjana hukum saat ini, tentu tidak tahu kisah pilu, sekaligus tragedi penegakan hukum, tentang Sengkon dan Karta. Dua laki-laki desa ini harus hidup menjadi pesakitan hukum setelah dijatuhi hukuman oleh pengadilan karena didakwa melakukan tindak pidana berat.
Alkisah, sebuah perampokan dan pembunuhan menimpa pasangan suami istri Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi. Tahun 1974. Beberapa saat kemudian polisi menciduk Sengkon dan Karta, dan menetapkan keduanya sebagai tersangka. Keduanya dituduh merampok dan membunuh pasangan Sulaiman-Siti Haya. Merasa tidak bersalah, Sengkon dan Karta semula menolak menandatangani berita acara pemeriksaan. Akan tetapi, lantaran tidak tahan menerima siksaan polisi, keduanya lalu menyerah. Penderitaan semakin lengkap ketika Hakim Djurnetty Soetrisno ‘menghadiahi’ vonis Sengkon 12 tahun penjara, dan Karta 7 tahun penjara. Tuhan akhirnya menunjukkan jalan keadilan. Di dalam penjara, Sengkon dan Karta bertemu dengan Genul. Genul yang masuk penjara karena kasus pencurian itu membuka tabir hitam. Genul mengakui dirinyalah yang membunuh Sulaiman-Siti, bukan Sengkon dan Karta. Meskipun harus menderita akibat proses hukum yang dijalani keduanya masih beruntung. Berkat tangan dingin seorang pengacara kenamaan, pada tahun 1981 keduanya dibebaskan. Kasus Sengkon ini tampaknya memberikan inspirasi tersendiri beberapa ketentuan RKUHAP yang waktu itu sedang digodok oleh pemerintah bersama DPR.
Kasus Sengkon dan Karta tersebut sangat terkenal dan sering menjadi salah satu contoh praktik peradilan sesat yang pernah terjadi di Indonesia. Empat tahun sebelumnya, tepatnya 21 September 1970 di Yogyakarta juga pernah terjadi tragedi serupa. Kasus itu terkenal dengan kasus Sum Kuning, yaitu kasus perkosaan yang menimpa Sumarijem gadis belia 17 tahun yang pegadang telur keliling itu. Para pelaku yang melibatkan anak-anak orang penting ini, sulit diadili. Sebaliknya, ada tahapan peradilan yang justru menjadikannya tersangka karena memberikan laporan palsu. Dalam catatan media, meskipun pada akhirnya proses peradilan telah mengukum beberapa orang dianggap pelaku, tetapi kasus Sum Kuning, masih menjadi misteri sampai sekarang. Sebab, pelaku sebenarnya dianggap masih belum tersentuh.
Hukuman Mati Indonesia
Indonesia saat ini masih menerapkan hukuman mati. Beberapa waktu lalu memang ada yang mencoba uji materiil ke MK yang pada pokoknya menginginkan agar hukuman mati tidak diberlakukan di Indonesia. Akan tetapi, kemudian berdasarkan Putusan Nomor 2/PUU-V/2007 dan Putusan Nomor 3/PUU-V/2007, Mahkamah Konstitusi menyatakan pidana mati tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Sebab, konstitusi Indonesia tidak menganut asas kemutlakan HAM. Dengan demikian pelaksanaan pidana mati adalah konstitusional. Lahirnya putusan tersebut jelas dilatar belakangi oleh fakta, bahwa masih adanya ‘khilafiyah’ mengenai eksistensi hukuman mati ini. Setidaknya terdapat 2 aliran ekstrim mengenai hal ini. Kelompok pertama yang kontra hukuman mati dan kedua, yang pro hukuman mati.
Kelompok pertama pada dasarnya berpandangan bahwa hidup dan mati merupakan wewenang tuhan. Para penentang hukuman mati menganggap, bahwa pidana tersebut tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, seperti yang ada dalam Pancasila. Selain itu, hukuman mati dinilai tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan, yakni untuk menghalangi orang dari perbuatan kejahatan, dan bukan balas dendam. Hukuman mati dianggap tidak bisa menghilangkan kejahatan di masyarakat dan menciptakan masyarakat yang bahagia. Tetapi yang lebih prinsip karena hukuman mati bertentangan dengan konstitusi sendiri. Sebagaimana diketahui, bahwa, kontroversi mengenai hukuman mati salah satunya muncul karena amandemen kedua Pasal 28A dan 28I Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak untuk hidup dan berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Hak ini adalah hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun, termasuk negara. Itulah sebabnya, segera setelah Ferdy Sambo (FS) djatuhi hukuman mati, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid menilai hukuman mati yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap FS sudah ketinggalan zaman dan ditinggalkan banyak negara. Ia juga menegaskan bahwa hakim bisa lebih adil tanpa harus menjatuhkan hukuman mati kepada FS. Di samping itu, potensi praktik peradilan sesat yang masih dimungkinkan terjadi, juga menjadi alasan mengapa hukuman mati perlu ditiadakan. Nyawa yang terlanjur hilang, tidak mungkin kembali. Jangan menambah lagi peristiwa nyawa hilang untuk kali kedua. Terlebih hilangnya nyawa untuk kali kedua ini harus dilakukan oleh negara, karena salah mengukum dari yang seharusnya dihukum.
Sedangkan yang pro terhadap hukuman mati pada pokoknya berdalih bahwa pidana ini pantas dijatuhkan kepada penjahat yang sadis karena jika tidak dilakukan dikhawatirkan aksinya akan berulang. Hukuman ini dinilai sesuai dengan tujuan hukum pidana pada umumnya, yaitu mencegah terjadinya kejahatan dan melindungi kepentingan perorangan. Pidana mati dianggap dapat menimbulkan efek jera bagi masyarakat. Hukuman mati menjadi pengecualian terhadap hak untuk hidup yang masih diakui di banyak negara. Hukuman ini menjadi sanksi paling berat bagi pelaku kejahatan yang secara berat melanggar hak asasi manusia orang lain. Sesuai dengan Pasal 28j UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati HAM orang lain. Selain itu, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada undang-undang agar tidak melanggar hak dan kebebasan orang lain. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM juga menyatakan bahwa pembatasan hak asasi seseorang dengan adanya hak orang lain demi terciptanya ketertiban umum.
Di saat adanya pro kontra masyarakat tersebut, berdasarkan catatan pengamat, pandangan Mahkamah Agung (MA) terhadap pidana mati dalam praktik peradilan pidana juga tidak konsisten. Sebagai contoh, dalam Putusan MA Nomor 38 PK/Pid.Sus/2011, Putusan MA Nomor 144 PK/Pid.Sus/2011, dan Putusan MA No.25 PK/Pid/2012, serta Putusan MA Nomor 1069 K/Pid/2012, Mahkamah Agung menyatakan, bahwa hukuman mati ialah konstitusional dan tetap berlaku bagi kejahatan serius. Pada perkara lain, Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa pidana mati bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia. Contoh pandangan demikian sebagaimana tertuang dalam Putusan MA Nomor 39 PK/Pid.sus/2011 dan Putusan MA Nomor 45 PK/Pid.sus/2009. Inkonsistensi sikap Mahkamah Agung terhadap pidana mati ini tentu mengganggu dan menciptakan ketidakpastian hukum di tengah pertaruhan hidup dan mati seorang terdakwa di tangan seorang hakim.
Hukuman Mati dan Konsep Diat
Terlepas dari ‘khilafiyah’ mengenai hukuman mati, semua pihak perlu bijak dalam memandang hukuman mati. Suatu tindak pidana yang menimbulkan kematian selalu bermuara kepada dua hal. Pertama, korban dan keluarga korban. Suatu hukuman memang perlu melihat sisi korban. Akibat kejahatan pelaku, korban harus kehilangan harta benda atau mungkin anggota badan tertentu. Diterapkannya qisas dalam Islam sebenarnya merupakan bentuk cara pandang melihat keadilan dari sisi korban. Meskipun demikian, dalam kondisi tertentu, Islam tidak hanya melihat keadilan dari sisi korban tetapi juga keluarga korban. Tindak pidana pembunuhan misalnya, hukuman mati untuk pelaku jelas tidak semata melihat kepentingan keadilan dari sisi korban. Orang yang sudah mati tidak akan melihat merasakan keadilan dunia lagi. Akan tetapi korban yang sudah mati itu, tentu mempunyai keluarga. Keluarga inilah yang pada akhirnya harus menanggung nestapa berkepanjangan, baik nestapa lahir maupun nestapa batin. Nastapa lahir, semisal harus kehilangan orang vital yang selama ini menjadi tulang punggung seluruh keluarga. Nestapa batin, karena harus kehilangan orang yang dicintai untuk selamanya. Dalam kondisi demikian hukum memberikan peluang pelaku dapat terbebas dari hukuman mati. Peluang itu ialah adanya konsep diat (denda) yaitu memberikan tebusan dengan jumlah terentu kepada keluarga korban. Meskipun pada akhirnya berpulang kepada otoritas keluarga korban. Akan tetapi, setidaknya Islam melihat konsep hukuman mati itu tidak mutlak, meskipun dalam kasus pembunuhan seberat apa pun. Masih terdapat peluang yang menjadi alasan pemaaf dengan konsekskuensi tertentu.
Pemeberian otoritas terhadap keluarga korban dalam tindak pidana pembunuhan, merupakan bukti cara pandang hukum, dalam hal ini Islam yang memandang bahwa suatu tidak pidana pembunuhan di samping menjadi ranah publik, yang menjadi kompetensi negara, juga terdapat ranah privat. Negara memfasilitasi terciptanya penegakan hukum. Dengan demikian di satu sisi, yang salah tetap dihukum tetapi di sisi lain, dengan konsekeunsi tertentu, hukuman itu pada akhirnya berpulang kepada keluarga. Kalau hal ini bisa terlaksana sebanarnya negara, pelaku, keluarga koban akan sama-sama ‘diuntungkan’. Harmoni 3 unsur pelaksanaan hukuman mati versi Islam merupakan suatu sikap bijak yang melihat tujuan hukum tidak hanya dari sisi kepastian, tetapi keadilan, kepastian, dan kemanfaatan sekaligus. Inilah kiranya mengapa ayat qisas ditutup dengan kalimat pamungkas : “walakum fil qishash hayatun ya ulil albab”( Al Baqarah, 179). Kata ‘hayatun’ dalam ayat tentu bukan sekedar “kehidupan” dalam arti sempit, tetapi lebih dari itu.