JAKARTA, beritalima.com | Dengan anggaran penanganan COVID-19 yang berjumlah Rp. 677,2 triliun, pemerintah diminta untuk mengelola anggaran penanganan COVID-19 secara transparan dan akuntabel. Penggunaan anggaran penanganan COVID-19 harus ditujukan untuk kepentingan rakyat serta tidak disalahgunakan untuk kepentingan dan keuntungan pihak tertentu. Pernyataan ini disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Action Against Corruption (IAAC) Dodi Lapihu dalam siaran persnya pada hari Senin (8/6).
Menurut Dodi, jumlah anggaran penanganan COVID-19 yang besar dikarenakan krisis kesehatan akibat pandemi COVID-19 sudah menjalar menjadi krisis ekonomi yang memberikan dampak kepada semua lapisan masyarakat.
“Jika hal ini tidak diwaspadai maka Indonesia akan sampai pada fase krisis keamanan. Oleh karena itu anggaran COVID-19 dibutuhkan untuk penanganan pandemi sekaligus mengantisipasi dampak yang terjadi di tengah masyarakat. Namun, masyarakat sipil harus tetap peka dan kritis terhadap kebijakan pemerintah di masa pendemi ini. Walaupun dibatasi oleh protokol kesehatan, tapi tidak menyurutkan semangat kita untuk bergerak mencegah tindakan korupsi,” tegasnya.
Sebelumnya, pada tanggal 4 Juni 2020, IAAC bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) dan BEM Universitas Trisakti mengadakan Webinar dengan topik ‘Arah Gerakan Antikorupsi di tengah Pandemi’. Hadir sebagai narasumber Benydictus Siumlala (Dikyanmas KPK RI), Sahat MP Sinurat (Sekretaris Umum DPP GAMKI), Nisa Rizkiah (Peneliti ICW), dan Dodi Lapihu (Direktur Eksekutif IAAC). Webinar tersebut dipandu oleh Dinno Ardiansyah (Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti).
Dalam pengantar diskusinya, perwakilan Dikyanmas KPK RI, Benydictus Siumlala memaparkan bahwa di masa pandemi, banyak sekali bantuan dan uang yang sudah beredar di masyarakat.
“Ada banyak sekali peraturan dan kebijakan yang sudah dibuat di masa pandemi ini. Gerakan antikorupsi di era pandemi ini seharusnya mempunyai tujuan yang lebih jelas yakni mengawasi kebijakan dan anggaran yang digunakan untuk penanganan pandemi,” katanya.
Menurut Benydictus, hal yang perlu disoroti adalah situasi pandemi yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
“Seperti yang kita ketahui peristiwa yang terjadi di Kabupaten Klaten, dimana bantuan sosial seperti handsanitizer yang bergambar wajah Bupati. Juga pergerakan DPR di tengah pandemi, alih-alih fokus pada penanganan pandemi malah mengesahkan Undang-undang Minerba,” tandasnya.
Sekretaris Umum DPP GAMKI, Sahat MP Sinurat dalam pengantar diskusinya membahas Perppu 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi UU No 2 Tahun 2020. Menurut Sahat, situasi pandemi yang dinamis memaksa pemerintah untuk mengambil kebijakan dengan cepat sehingga itu alasan lahirnya UU No. 2 Tahun 2020.
“Undang-undang ini dibutuhkan dalam kondisi darurat. Pada UU ini, penyelenggara yang diatur di dalam UU tersebut tidak bisa dipidana, selama melakukan itikad baik. Ketika terjadi penyalahgunaan wewenang dan ada potensi tipikor dalam pengelolaan dana bencana, masyarakat harus mengawasi dan melaporkannya. Kita tetap bisa memakai pasal-pasal dalam undang-undang lainnya untuk menjerat pelaku korupsi,” kata Sahat.
Dalam catatan Sahat, pandemi membuat proses birokrasi mengalami efisiensi. Selain itu, penggunaan teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk menyebarluaskan nilai-nilai antikorupsi di tengah masyarakat.
“Pemerintah bisa memanfaatkan transformasi digital untuk efisiensi anggaran, seperti pelaksanaan rapat dan kunjungan kerja yang dapat menggunakan pendekatan virtual. Anggaran kemudian dapat dialihkan untuk sektor-sektor lainnya. Gerakan-gerakan antikorupsi juga dapat digencarkan dengan media digital. Misalnya melakukan pelatihan ataupun kampanye antikorupsi yang memanfaatkan platform digital dengan lebih masif,” jelasnya.
Peneliti ICW, Nisa Rizkiah membahas rencana revisi UU Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, revisi ini tidak masuk dalam prolegnas dan tidak mendesak untuk direvisi.
“ICW menyoroti revisi UU MK karena kental dengan konflik kepentingan. Bahkan kemudian ada UU Minerba yang sudah disahkan. Yang seharusnya dilakukan DPR adalah pemantauan terhadap kinerja pemerintah dalam menangani pandemi,” kata Nisa.
Dalam catatan ICW per 31 Maret, sekitar 75 triliun atau 18,5 % dari APBN digunakan untuk belanja alkes. Kemudian 110 triliun atau 27% dari APBN digunakan untuk Jaring Pengaman Sosial. Menurut catatan ICW, pada 2010-2019 terdapat 281 kasus korupsi kesehatan yang dimana 44% nya adalah pengadaan barang dan jasa.
“Anggaran penanganan COVID-19 saat ini sangat rentan dikorupsi. Dana bansos juga sangat rentan untuk dikorupsi serta rawan dipolitisir. Data Bawaslu pada 12 Maret 2020 bahwa bansos diduga dipolitisasi oleh para calon petahana di 23 kota/kabupaten dari 11 propinsi. Oleh karena itu, masyarakat sipil harus terlibat aktif dalam pengawasan,” pungkas Nisa.
Webinar yang diadakan oleh IAAC dihadiri oleh sekitar 120 peserta. Peserta yang hadir terdiri dari berbagai kalangan seperti mahasiswa, pemuda, pegiat antikorupsi, dan akademisi.