Oleh: Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)
Syahdan, suatu ketika Rasulullah pernah menerima tamu wanita ‘aneh’ nan langka. “Wahai rasulullah, Aku telah berzina padahal aku telah menikah. Dan, aku hamil dari perzinaan itu, wahai rasulullah. Sucikan aku dengan hukuman mati sebagaimana perintah Allah SWT dalam Al Qur’an, katanya sambil menangis pilu kepada rasulullah SAW. Rasulullah pun memalingkan muka dari perempuan itu. Tetapi perempuan itu terus menerus mengatakan hal yang sampai empat kali. Rasulullah pun masygul dan bahkan menyangka perempuan itu jangan-jangan sedang mabuk. “Kembalilah sampai anakmu lahir”, kata rasulullah kepada perempuan itu. Kemudian perempuan itu pun pergi dan (ternyata) datang kembali kepada Rasulullah setelah sembilan bulan kemudian. “Ya Rasulullah, aku perempuan yang datang padamu dan hamil karena berzina. Dan memintamu memberi hukuman mati dari Allah, tapi kau menyuruhku pulang sampai bayinya lahir. Dan sekarang aku sudah melahirkan bayiku, sucikan aku dari dosa ini!” Rasulullah pun mengatakan, bahwa ia bisa datang menemuinya lagi setelah anak itu lepas dari air susu. Tak disangka, perempuan itu datang lagi sambil membawa anaknya yang berusia dua tahun. Lalu memperlihatkannya kepada Rasulullah. Melihat kesungguhan perempuan itu untuk bertobat, akhirnya hati Rasulullah tergerak. Beliau meminta sahabatnya untuk membawa bayi tersebut. Kemudian perempuan itu diikat dan dirajam oleh orang-orang hingga meninggal dunia.
Rasulullah pun memastikan bahwa perempuan itu benar-benar tobat dan semua dosanya berguguran karena ketulusannya memohon ampunan Allah SWT. “Dosa wanita itu hilang seperti hari dia terlahir,” kata Rasulullah memuji keberanian perempuan itu.
Terhadap peristiwa sampai saat ini kita boleh terkagum-kagum dengan keimanan perempuan itu. Keyakinannya akan adanya siksa akibat zina di akhirat begitu dalamnya hingga memilih mementingkan keselamatan di akhirat dengan kesediaan menanggung hukum dunia yang sekalipun pedih pasti belum setara dengan kepedihan siksa akhirat. Akan tetapi, sebagai orang yang berkecimpung di dunia hukum kita tentu tidak sebatas mengagumi perempuan malang itu. Akan tetapi, mempertanyakan ke mana si laki-laki yang menjadi ayah bayi itu? Kita belum pernah mendapat informasi, karena cerita itu agaknya hanya putus sampai di situ. Dari kaca mata hukum, timbulah pengandaian hukum. Pengandaian hukum dimaksud ialah tentang bagaimana kemudian hubungan laki-laki yang menjadi sebab kelahiran anak di luar nikah (zina) itu? Bukan tentang bagaimana hukumannya dari aspek jarimah (tindak pidana) yang dilakukan. Dalam konteks hukum sekarang, bolehkah laki-laki itu mengakui bayi sebagai anaknya?
Dalam perkembangan berikut, tentang bolehkah seorang anak hasil zina diakui oleh ayah biologisnya memang telah menjadi perdebatan para ulama fikih, baik klasik maupun kontemporer.
– Menurut Ishaq bin Rahaweh yang dikutip oleh Hamid Sarong, membolehkan anak zina diakui oleh laki-laki pezina sebagai ayahnya, tetapi dengan syarat laki-laki tersebut tidak menyatakan secara terus terang anak yang diakuinya itu sebagai anak hasil zina. Alasan dibenarkannya mengakui anak zina untuk melindungi kepentingan anak jangan sampai tidak mempunyai nasab.
– Menurut Ibnul Qayyim al-Jauziyyah menyebutkan anak zina tetap dapat diakui oleh laki-laki pezina dan memiliki hubungan mahram kepada kedua orang tuanya, sehingga orang tuanya mendapatkan unsur kemahraman tersebut. Hubungan mahram ini tidak bisa dinafikan atas penghalang apapun kepada laki-laki yang telah diketahui sebagai ayahnya, termasuk perbuatan zina sekalipun.
– Menurut jumhur ulama, anak zina tidak dapat diakui dan laki-laki pezina tidak bisa menetapkan nasab anak yang ia hasilkan. Karena, zina tidak bisa dijadikan sebab pengakuan nasab.
– Menurut Ibnu Taimiyah, dengan tegas mengakui tetapnya keturunan berdasarkan perbuatan zina yang dilakukan dengan wanita yang tidak bersuami. Menurutnya sanksi memang dapat ditimpakan kepada pelaku perbuatan zina tetapi bukan kepada anak yang dilahirkan, baik di dunia maupun akhirat.
– Menurut Abu Zahrah membolehkan penetapan atau pengakuan nasab anak zina oleh ayah biologis melalui jalan pengakuan anak (ilhaq). Muhammad Abu Zahrah memberikan argumentasi bahwa menjaga nasab adalah salah satu di antara lima kebutuhan dharuriyyah, di samping adanya pemeliharaan atas Kalau kita boleh menyebut Ibnu Taimiyah justru mengakui tetapnya keturunan berdasarkan perbuatan zina yang dilakukan dengan wanita yang tidak bersuami. Menurutnya sanksi memang dapat ditimpakan kepada pelaku perbuatan zina tetapi bukan kepada anak yang dilahirkan, baik di dunia maupun akhirat. Pendapat demikian, kiranya patut dikembangkan karena tampaknya lebih sesuai dengan lalu lintas hukum modern yang memang concern dengan keberadaan anak. Pendapat demikian secara tidak langsung juga sejalan dengan ‘putusan progresif’ Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang pada pokoknya menyatakan: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”
Yang pasti lembaga asal-usul anak pada prinsipnya ialah lembaga hukum yang menampung perkara tentang keberadaan anak yang tidak dapat ‘ditelusuri’ melalui itsbat nikah. Perkara asal-usul anak, lebih luas cakupannya dari itsbat nikah. Pada perkara itsbat nikah, hakim yang menilai apakah nikah seseorang telah memenuhi ketentuan sehingga dapat dinyatakan sah. Sedangkah, dalam perkara asal usul anak, hakim berusaha menelusuri eksistensi anak dari aspek penyebab dia bisa lahir. Hal demikian, dimungkinkan karena adanya fakta, bahwa tidak mungkin seorang anak lahir tanpa seorang ayah. Dan dalam konteks hukum modern, sekaligus memperjuangkan hak-hak anak. Jangan sampai anak yang tidak berdosa harus kehilangan salah satu mata rantai keturunannya. Dan, mata rantai keturunan tersebut hanya bisa diperoleh melalui perkara asal-usul anak, khususnya melalui lembaga pengakuan nasab. ( al iqrar bi al-nasab). Oleh karena itu tentu kita masygul, ketika ada perkara asal usul anak diajukan ke pengadilan oleh pengadilan (hakim) disuruh mencabut dengan alasan perkawinan yang dilakukan tidak sah atau anak tersebut berdasarkan keterangan para pemohon adalah hasil perkawinan yang tidak sah atau zina. Padahal, sebagaimana dikemukakan di atas, dalam perkara asal usul anak pengadilan memang tidak dalam posisi menilai legalitas (keabsahan) sebuah perkawinan, tetapi hanya menetapkan bagaimana status anak itu. Status anak itu ditelusuri siapa pasangan yang menjadi pemnyebab kelahiran anak itu, terutama ayah. Status anak itu akibat perkawinan sahkah, fasidkah, atau wathi’ syubhatkah, termasuk apakah apakah anak itu hasil hubungan kumpul kebokah? Untuk perkawinan sah, fasid, dan wathi’ syubhat tidak relatif persoalan. Para Ulama sepakat bahwa anak yang demikian bisa disebut anak sah.
Akan tetapi bagi anak hasil hubungan di luar nikah tentu menjadi persoalan. Kalau hakim menyatakan anak sah, faktanya dia anak dari hubungan di luar nikah, Yang demikian tentu bertentangan dengan Pasal 42 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2019. Akan tetapi sebagaimana dikemukakan di muka, bahwa terhadap anak demikian kalau ayah biologis mengakui sebagai anaknya dengan syarat-syarat tertentu sekalipun banyak ulama yang tidak membolehkan, masih ada pendapat ulama yang membolehkan dengan segala konsekuensi hukumnya. Dalam konteks demikian, tampaknya hakim bisa ‘berijtihad’ memilih pendapat ulama yang lebih sesuai dengan perkembangan hukum (anak) masa kini.
Mahkamah Agung memang pernah membuat semacam ‘juklak’mengenai hal ini. Dalam pedoman ini pada pokoknya memberi kemungkinan penetapan asal usul anak melalui lembaga pengakuan anak (istilhaq), yaitu seseorang dapat mengakui seorang anak sebagai anaknya yang sah. Hanya saja, belum ada penjelasan secara rinci, apakah yang mengakui ayah biologisnya atau orang lain, anak yang bagaimana dan bagaimana pula syarat-syaratnya. Akan tetapi, Mahkamah Agung, secara garis besar, telah memberikan ketentuan hukum acaranya, yaitu bahwa pengakuan anak ini bisa diajukan dengan dua cara: secara volunter dan kontensius. Diajukan secara volunter jika anak tersebut tidak berada di bawah perwalian. Diajukan secara kontensius jika anak tersebut berada di bawah perwalian. Kedua-duanya diajukan kepada Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah yang mewilayahi anak atau wali anak tersebut bertempat tinggal.
Petunjuk singkat dalam Buku II (2014) tersebut karena terlalu ringkas tampak belum implementatif. Selanjutnya tentu perlu kreativitas hakim. Salah satu bentuk kreativitas yang diperlukan mengenai hal ini, sudah pasti kesediaan para hakim untuk mendalami lebih jauh materi hukum yang berkenaan dengan lembaga pengakuan anak (istilhaq) ini. Baik Ulama klasik maupun kontemporer menyatakan pendapat berikut argumentasinya mengenai hal ini. Oleh karena masalah ini menjadi ranah ijtihad, maka para hakim yang salah satu tugasnya berkewajinan menemukan hukum, wajib hukumnya ikut berijtihad agar keputusan yang diambil benar-benar sesuai denan rasa keadilan dan lebih yang lebih penting bisa sejalan dengan hukum moderen. Para pemegang palu, tidak boleh menegakkan keadilan sambil berkaca mata kuda. Hanya terus melihat kedepan sambil terus berlari kencang, tanpa peduli dengan problematika sosial yang ikut lalu lalang di kanan kirinya.
Yang harus menjadi bahan renungan semua pihak (termasuk hakim) ialah, bahwa hukum Islam, dengan modifikasi tertentu, kini bisa menerima konsep lembaga hukum pengangkatan anak. Kompilasi Hukum Islam juga telah memberi ‘keistimewaan’ eksistensi anak angkat ini dengan mendapat pembagian harta peninggalan dari ayah ibu angkatnya melalui lembaga wasiyat wajibah. Padahal semua orang tahu, anak yang diangkat dalam kasus pengangkatan anak, pasti anak yang sama sekali tidak mempunyai hubungan darah dengan orang tua angkatnya. Sedangkan, dalam kasus pengakuan anak luar kawin, anak yang diakui justru anak yang mempunyai hubungan darah dengan ayah yang mengakui. Mengapa orang tua angkat justru lebih dibolehkan berbagi kebahagiaan termasuk dalam urusan harta. Sedangkan anak luar kawin tidak bisa. Sekalipun, dengan bapak biologisnya sendiri?
Pada akhirnya, yang pasti, menutup kemungkinan anak luar nikah diakui sebagai keturunan (nasab) oleh ayah biologisnya, justru akan menyebabkan timbulnya dua potensi kesengsaraan sekaligus, yaitu : 1. Terhadap wanita ( yang menjadi ibu anak ) yang mungkin hanya sebagai korban, dan 2. Terhadap anak yang dilahirkan dari hasil hubungan luar nikah yang hampir semua ulama sepakat atas kesucian anak tersebut. Sedangkan, sang ayah justru bisa bebas dan lepas dari tanggung jawab. Manakah letak keadilannya jika demikian? Anak itu pun akan terus terisak menangis dengan lagu pilu “Ibuku Malang, Ayahku Curang”. Dan, yang menjadi ironi ialah, kesedihan anak dan ibu terus diperparah dengan sikap pengadilan yang apriori dengan dalih keharusan bersikap tegas. Padahal, sikap tegas itu masih didasarkan dengan norma hukum yang debatable. Wallahu A’lam.
Sumber Bacaan:
1. Al Fatawa oleh Muhammad Abu Zahrah
2. Ahkamul Aulad dil Islam oleh Zakariya Ahmad Al Bary
3. Al Fiqhul Islamy wa Adillatuhu karya Prof.Dr. Wahbah az Zuhaily
4. Buku II ( Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama
5. I’lamul Muwaqi’in oleh Ibul Qayyim al Jauziyah.
6. Membangun Peradilan Agama Yang Bermartabat oleh Ditjen Peradilan Agama Mahamah Agung RI,
7. Sumber lain (Website/Google)