SURABAYA, beritalima.com | Singky Soewadji mendedikasikan hidupnya untuk konservasi dan seringkali melakukan perjalanan keliling Nusantara hanya untuk observasi terhadap tingkah laku satwa liar di habitatnya
Perkara terdakwa Lauw Djin Ai alias Kristin, Direktur CV Bintang Terang Jember yang harus dipidana 1 tahun penjara sesuai putusan yang dikeluarkan majelis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Jember karena izin penangkaran satwa dilindungi di badan usaha miliknya telah mati menyita perhatian banyak pihak.
Para pakar dan pegiat konservasi, praktisi hukum, penangkar satwa, tokoh masyarakat, sampai tokoh politik ikut bersuara dan menyayangkan proses hukum yang harus dijalani Kristin.
Mereka sepakat Kristin hanyalah melanggar administrasi perizinan bukan melanggar hukum pidana.
Pengamat satwa liar, Singky Soewadji dalam keterangan pers yang diterima awak media ini, mengatakan kasus CV Bintang Terang membuktikan negara dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah gagal menjalankan fungsi konservasi yang hakiki.
“Awalnya CV Bintang Terang izin tangkarnya mati, tetapi izin edar masih berlaku.
Apakah bisa disalahkan, apa lagi dipidanakan ? Tentu tidak, karena tanpa memperpanjang izin tangkar, penangkar masih boleh mengedarkan, sebab izin edarnya masih berlaku.
Paling mendasar adalah tidak ada satupun undang undang maupun aturan yang menyatakan izin tangkar mati adalah pidana,” terangnya.
Pria asal Surabaya ini menyesalkan keterangan Ahli Niken Wuri Handayani S.Si. M.S.i sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati (KKH) KLHK dalam persidangan Kristin yang dianggapnya telah memberikan kesaksian sesat, yaitu izin tangkar mati adalah pidana.
Ia berpendapat Niken Wuri Handayani bisa dipidana karena memberikan kesaksian palsu dalam persidangan dan pejabat yang menanda tangani surat tugas Niken Wuri Handayani sebagai Ahli di persidangan Kristin juga harus diperiksa.
“Ditengarai ada motif terselubung dibalik kasus ini.
Singky, begitu panggilan akrabnya menambahkan, yang pasti dan tidak dapat dipungkiri adalah penangkar termasuk Lembaga Konservasi (LK) wajib membuat laporan bulanan, laporan triwulan dan laporan tahunan.
Sebaliknya Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jatim juga mempunyai kewajiban membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Menurutnya izin tangkar CV Bintang Terang yang mati selama tiga tahun kalau mau disalahkan, justru kesalahan terbesar ada pada pihak BBKSDA Jatim.
“Sangat ironis sekali kasus CV Bintang Terang bisa terjadi izin penangkarannya mati selama tiga tahun terjadi pembiaran, namun justru dipidanakan.
Suka atau tidak suka, dan tidak bisa dihindari, BBKSDA Jatim adalah sebagai top management di CV Bintang Terang, karena pemerintah dalam hal ini KLHK sebagai regulator dan pengawas dari usaha penangkaran.
Tugas dan kewajiban BBKSDA sudah tercantum dalam Undang-Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) yang ada, yaitu UU Nomor 5 tahun 1990, PP Nomor 8 tahun 1999 dan UU Nomor 18 tahun 2013,” bebernya.
Pria yang juga didapuk sebagai koordinator APECSI (Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia ) ini menjelaskan saat aparat kepolisian bersama Gakkum datang pertama kali ke penangkaran CV Bintang Terang, sebenarnya BBKSDA Jatim bisa mencegah untuk tidak dibawa ke ranah pidana, karena masalah izin mati dan pendataan adalah ranah BBKSDA yaitu menyangkut administrasi.
“Selanjutnya pemilik CV Bintang Terang diseret ke arah pidana ditambah tuduhan perdagangan satwa dilindungi secara ilegal.
Akhirnya tuduhan tersebut tidak terbukti dengan dicabutnya BAP (Berita Acara Pemeriksaan) oleh Penyidik Polda Jatim di persidangan Kristin.
Kesalahan BBKSDA Jatim yang sangat fatal adalah 35 ekor burung indukan Kakatua Raja pilihan yang sengaja dipilih secara khusus oleh utusan Jatim Park yang datang ke lokasi CV Bintang diserahkan ke Jatim Park dengan status di titipkan.
Ini sangat tidak wajar, dan pasti ada unsur pidananya, butung tersebut konon sekarang sudah ditarik atas perintah Dirjen KSDAE,” bebernya.
Singky menyadari walau ada aturan dan dasar hukumnya satwa liar milik negara, keberadaannya di sebuah LK berstatus titipan dan boleh dilakukan pemanfaatan, tapi harus sesuai UU dan aturan, tidak bisa serta merta.
Ia menerangkan CV Bintang Terang telah ada sejak 15 tahun lalu, sudah pernah melakukan perpanjangan izin tangkar dan telah memiliki izin edar luar negeri.
Singky juga mengklaim CV Bintang Terang telah mendapat apresiasi dua orang Dirjen Perlindungan Hutan dan Kelestarian Alam (PHKA) yang sekarang menjadi Kelestarian Sumber Daya Alam dan Ekisistem (KSDAE).
“Logikanya burung di CV Bintang Terang lebih dari generasi ke dua (F2) sejak sepuluh tahun lalu, hingga terbit izin edar, bahkan izin edar luar negeri.
Sejak kasus ini terjadi bulan Mei 2018 lalu, semua izin mati sesuai masa berlakunya, dan mulai dirintis izin baru dengan ketentuan baru pula oleh CV Bintang Terang,” tukasnya
Menurutnya kasus CV Bintang Terang menarik perhatian para tokoh senior dunia konservasi, bahkan bersedia luangkan waktu turun gunung datang ke Jember karena prihatin karut marut dunia konservasi di era Jokowi dan malu kinerja para yunior mereka di KLHK menjalankan kebijaksanaan tentang konservasi.
Singky menilai itu sebuah catatan penting dan warning bagi Presiden mendatang apabila salah memilih menteri khususnya di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akibatnya bisa menjadi gatal bagi dunia konservasi.
“Ibarat bola, kasus CV Bintang Terang berada di tangan Dirjen KSDAE, bola ini akan dilempar kemana ?
Karena ini bola panas, kalau tidak dipadamkan, akan menjadi bola panas liar yang akan lari kemana-mana.
Lemparan bijaksana adalah tidak melihat kebelakang, tetapi memperbaiki kedepan dan mengintruksikan Direktur KKH agar memerintahkan BBKSDA Jatim segera menerbitkan rekomendasi untuk CV Bintang Terang mendapatkan semua perizinan, semudah pejabat tinggi negara mendapatkan izin walau tidak memiliki kontribusi terhadap dunia konservasi,” ucapnya sembari berfilosofi.
Selanjutnya Singky menyarankan membentuk tim independen untuk mendata, merapikan serta menginventarisir burung di CV Bintang Terang. Ia menginginkan satwa tetap di CV Bintang Terang, meski berstatus barang bukti dan disita negara dibawah pengawasan BBKSDA Jatim.
“CV Bintang Terang seharusnya diberi hak merawat dan mengelola kembali, maka dengan demikian masalah Ethic and Walfare terhadap satwa liar jadi terpenuhi.
Bola panas nan liar akan terjadi bila ada perlawanan dari pihak CV Bintang Terang melalui kuasa hukumnya.
Jadi imbas kasus ini akan menjadi dampak negatif bagi negara dan menjadi isu internasional, terutama bagi dunia konservasi bila tidak disikapi dengan bijaksana,” pungkasnya.
Info terakhir, proses ijin CV Bintang Terang sudah berada di meja Dirjen KSDAE tinggal di tanda tangani, tapi masih terganjal rekomendasi dari BBKSDA Jatim yang sejak awal sudah terkesan menghambat ijin ini sejak 9 bulan lalu.