Jakarta, beritalima.com |- Dewan Pers diminta meningkatkan kapasitasnya untuk melindungi wartawan serta desakan untuk merevisi UU Pers. Ini menjadi bahasan utama dalam seminar tentang “Jurnalisme Investigasi dan Keselamatan Wartawan”, digelar Pengurus Pusat Ikatan Wartawan Online PP-(IWO), di Gedung Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta (5/8).
Kegiatan ini merupakan rangkaian perayaan Hut IWO ke-12 , terselenggara atas kerjasama dengan Museum Perumusan Naskah Proklamasi dan Keluarga Pejuang 45 almarhum Wikana, salah satu pahlawan kemerdekaan Indonesia.
Tati Sawitri, Kania Kinking Pratama dan Remondi Sitakodana, tiga putri alm. Wikana, mantan menteri Pemuda di era Presiden Soekarno dan mantan Gubernur Militer di Solo yang juga pernah sebagai wartawan sebelum era kemerdekaan, tampak hadir dalam seminar tersebut.
Tati Sawitri menceritakan kisah singkat tentang ayahnya Wikana yang mereka tahu adalah seorang pejuang dan ikut terlibat demi kemerdekaan bangsa. Namun sayangnya seorang ayah yang sangat menyayangi keluarga hilang entah ke mana, setelah pada 1966 Wikana dijemput paksa oleh 15 orang yang diduga anggota militer. “Sejak saat itu kita anak-anaknya tidak tahu nasib ayah. Kalau memang sudah meninggal dimana kuburnya. Kita tidak tahu sampai sekarang. Waktu itu saya SMA kelas satu,” kisah Tati sambil menangis mengingat masa lalunya yang sulit dilupakan.
Sementara V. Agus Sulistyo selaku perwakilan dari Museum Perumusan Naskah Proklamasi, juga mengakui bagaimana peran Wikana dibalik sejarah Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Agus mengajak para wartawan (khususnya IWO) untuk juga bisa mengangkat banyak kisah di Museum Naskah Proklamasi di Jalan Imam Bonjol Jakarta Pusat.
Agus mengapresiasi peran wartawan yang banyak membantu dalam menggali sejarah. Ia memberi contoh proses penggalian kisah selokan Mataram. “Saat menggali sejarah selokan Mataram (di Yogyakarta-Red), saya harus mencari data-datanya. Saya temukan data itu dari pemberitaan Koran di tahun 1930-an,” ceritar Agus menggarisbawahi pentingnya peran wartawan.
Ketua Umum IWO Dwi Christianto menambahkan, bahwa kondisi pers Indonesia saat tidak da;lam kondisi baik-baik saja. Terlihat dalam sejumlah peristiwa hingga merenggut nyawa wartawan saat bertugas, intimidasi ketika membuat berita, dan lain sebagainya.
Pembicara pada seminar yang dimoderatori M. Abriyanto, ketua bidang Litbang PP IWO, adalah Dr. Satrio Arismunandar, seorang wartawan senior yang juga Sekjen Perkumpulan Penulis Satupena dan Sekjen IWO Telly Nathalia. Keduanya sepakat melihat pentingnya jaringan organisasi profesi untuk memperkuat peran wartawan di lapangan.
“Keselamatan nyawa wartawan paling penting dan utama. Wartawan boleh menolak penugasan jurnalisme investigasi dari pemimpin medianya, jika menyangkut keselamatan jiwa,” tegas Satrio. Sedangkan Telly banyak menyoroti masih lemahnya implementasi perlindungan hukum bagi wartawan di Indonesia.
“Sudah ada UU Pers dan Peraturan Dewan Pers yang mengatur perlindungan terhadap wartawan, tapi masih sangat umum, belum spesifik. Bahkan Dewan Pers sudah ada kerjasama (MOU) bersama Polri terkait hal ini, tapi dalam praktiknya masih jauh dari yang diharapkan. Intimidasi terhadap wartawan masih terjadi,” ungkapnya.
“Perlu segera revisi UU Pers karena klausa mengenai perlindungan terhadap wartawan masih sangat umum, bahkan bisa dikatakan hanya mengulang dari UUD 1945. Di UU Pers juga belum diatur mengenai wartawan yang bekerja di media online atau daring, bagaimana dengan wartawan lepas atau freelancer yang tidak bekerja pada semua media tertentu? Perlindungan hukum seperti apa kepada wartawan masih harus lebih spesifik,” paparnya.
Jurnalis: Abri/Rendy