(Merspon Tulisan Dr. H. Ahmad Zaenal Fanani, SHI, MSi)
Oleh : Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas I A)
Tulisan Dr. H. Ahmad Zaenal Fanani, SHI, MSi yang ditayangkan dalam beritalima.com (8/2/2021) tampaknya menarik untuk kita simak. Menarik bukan hanya karena judul dan isinya sedikit provokatif, tetapi juga karena penulisnya sendiri adalah seorang hakim yang tentu juga menjadi sasaran ‘cemoohan’ buah pikirannya sendiri. Doktor muda yang karir hakimnya lumayan cemerlang ini, sepertinya menggugah teman-teman seprofesinya agar melihat kembali dan kemudian melaksanakan selfcritic terhadap buah karyanya sebagai hakim: “putusan” . Tidak hanya sebatas itu, keberanian “Hakim Santri” ini memberikan beberapa masukan kepada institusi tertentu yang berkompeten—yang mungkin dirasakan sebagai bentuk ‘kekurangajaran’ anak kemarin sore—patut kita acungi jempol.
“Kalau kita tarik lebih jauh, problem utamanya bukan hanya pada direktori, tapi juga pada model diklat dan pembinaan hakim yang ada selama ini. Lebih dominan teori, minim contoh praktik. Banyak retorika, tapi miskin contoh dan tugas pembuatan putusan. Mengapa ini terjadi? Bukan hanya problem kurikulum, tetapi juga karena faktor mentor atau pengajar yang minim pengalaman menangani dan membuat putusan terkait perkara yang diajarkan. Walhasil teori dan retorika yang dominan, bukan praktek dan contoh putusan,” begitu tulisnya.
Kalimat-kalimat lugas yang manjadi bagian opini–hakim yang telah berhasil menulis beberapa buah buku dan puluhan makalah ilmiah–tersebut, tidak heran jika kemudian, setelah oleh penulisnya diintruduksikan via medsos ( WhatsApp) oleh teman-teman seprofesinya di-share ulang. Harapan kita tulisan penting tersebut dibaca tuntas dan tidak saja menjadi bahan refleksi para hakim, tetapi juga oleh para pembuat kebijakan terkait.
Sepenuhnya, saya sependapat dengan kandungan visi yang menjadi ide dasar tulisan tersebut. Akan tetapi, apakah pemicunya hanya disebabkan oleh yang dikatakan hakim pernah malang melintang di luar Jawa tersebut?. Tulisan singkat itu memang tidak mungkin membahas tuntas ikhwal ‘kemiskinan’ yang kita sayangkan. Saya, dan mungkin penulis, berpendapat masih ada faktor lain yang juga tidak kalah pentingnya, mengapa ‘kemiskinan mutu’ itu timbul.
Banyak hakim selain tahu bahwa tahapan pembuatan putusan—mengkonstatir, mengkualifisir, dan mengkonstituir—juga sepenuhnya faham, bahwa putusan adalah “mahkota hakim”. Mahkota adalah lambang kebesaran. Ketika lambang kebesaran itu tidak tampak, apalagi tidak ada, maka hakikatnya kebesaran hakim itu juga tidak ada. Tentu, betapapun pintar dan tinggi pendidikannya. Akan tetapi, menurut saya, yang juga sering dilupakan para pengadil adalah memahami eksistensi “putusan”.
Putusan merupakan produk hakim yang tertuang dalam bentuk tulisan. Dari kepala putusan sampai kaki putusan–dalam perkara perdata, misalnya– hakikatnya adalah suatu kesatuan jawaban atas sengketa yang dikemukakan pencari keadilan. Dari awal sampai akhir adalah dalam bentuk tulisan yang berisi kalimat-kalimat penting yang akan dipertanggungjawabkan sang hakim tidak saja kepada para pihak dan atasan yang berwenang, tetapi juga kepada “Tuhan”.
Pertanyaan kita, apakah semua hakim sudah piawai menuangkan pikiran-pikiran yuridisnya dalam bentuk putusan yang nota bene tertulis itu?. Dari sinilah awal mulanya “retorika” seperti yang disebutkan penulis terjadi. Tampaknya, banyak hakim yang kurang concern terhadap dunia tulis menulis. Betapa sering kita saksikan hakim yang, misalnya, ketika di forum-forum pelatihan dan diskusi-diskusi, piawai menuangkan ide-idenya dan piawai beretorika di hadapan para mentor, tetapi sering kurang berhasil (kalau tidak boleh disebut gagal) ketika harus terjun ke dunia “tulis ria”. Jangankan merangkai kalimat demi kalimat sehingga menjadi putusan, membuat satu kalimat yang efektif pun sering gagal.
Dengan kata lain, pelajaran bahasa para hakim tersebut tampaknya juga perlu diaudit. Dalam putusan sering kita temui, parasan hakim keliru memilih “kosa kata” yang standar. Standar yang dimaksudkan di sini tentu menurut bahasa Indonesia, yaitu sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia dan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dengan kalimat yang lebih tegas dapat kita katakan, bahwa tampaknya banyak hakim yang urusan bahasa Indonesianya, belum selesai. Khususnya, ketika harus menuangkan dalam bentuk tulisan. Padahal, para hakim yang kini minimal rata-rata berpendidikan strata-2 ini, mestinya sudah sangat akrab dengan dunia tulis menulis. Setidaknya, hampir semua sudah mempunyai 2 karya ilmiah penting: “skripsi dan tesis.” Di samping, tentu sudah puluhan makalah yang harus dibuat, yang menjadi bagian proses, untuk memperolah derajat akademiknya.
Dalam konteks ini kita tentu ingat tulisan M. Yahya Harahap, S.H., mantan Hakim Agung dalam Jurnal Mimbar Hukum (29 Thn VII 1996 November-Desember). Menurutnya, seorang hakim bukan sekedar memenuhi syarat bermoral tinggi dan bertakwa, tetapi dituntut penelitian yang mendalam dan tajam mengenai karakter profesionalisme yang solid pada dirinya melainkan juga harus terjalin secara utuh ketangguhan mental, moral, etos, dedikasi, ketakwaan, kecakapan dan profesionalisme. Menurutnya, percuma bermoral tinggi dan berdedikasi luhur bila tidak didukung prefesionalisme. Juga, tidak bermanfaat ketrampilan tanpa didukung pengetahuan yang berwawasan luas karena yang demikian hanya mempu menghasilkan putusan berdasarkan keadilan hukum yang tidak akrab dengan nilai kesadaran keadilan masyarakat. Dalam konteks ini tentu kita patut mengapresiasi timbulnya gairah tinggi sebagian hakim untuk memasuki jenjang pendidikan tinggi formal strata-3. Diharapkan dari sinilah muncul hakim-hakim ideal yang didambakan itu.
Akan tetapi, apakah dengan semakin banyaknya peraih derajat akademik tertinggi dambaan tersebut serta merta terpenuhi?. Tampaknya, masih jauh panggang dari api.
Memang sayang seribu sayang. Gairah studi level tertinggi tampak sering dijalani tidak sepenuh hati. Bahkan, tidak jarang kemuliaan “berstudi ria” tersebut hanya didasari oleh motivasi tuntutan formalistik birokrasi, seperti agar lebih mudah meniti karir atau sekedar bermotif ingin mengamankan kedudukannya pada job-job tertentu.
Setidaknya, hal demikian pernah disindir oleh mantan Ketua Mahkamah Agung RI, Bagir Manan. Menurutnya, tidak jarang para hakim ingin melanjutkan studi hanya sekedar ingin mendapat perhatian lebih dari atasan. Memang akhirnya tercapai juga impian memperoleh gelar akademik tertinggi itu. Akan tetapi, pengetahuan yang didapat tidak bisa maksimal. Bagaimana tidak, tugas-tugas akademik—seperti membuat makalah-makalah, bahkan disertasi yang merupakan sebuah karya ilmiyah tertinggi–yang mestinya menjadi modal utama berselancar di dunia putusan pembuatannya sering ‘diasistenkan’ kepada “biro jasa”.
Akibatnya, ada satu dua oknum hakim, jangankan membuat putusan bermutu yang bersumber dari wawasan akademik selama studi, memilih kosa kata yang sesuai kaidah baku dan membuat kalimat dalam putusan sering gagal dan berikut juga membuat pembaca gagal paham. Gagal paham, akibat kalimat tersebut memang tidak bisa dipahami karena tidak jelas strukturnya. Celakanya, sebagian mereka ada yang menduduki pos-pos penting yang mengemudikan kendaraan birokrasi dengan penumpang para hakim. Ketika mereka di depan para siswa didik “koyok iya-iyao” berbicara kanan kiri seputar dunia nyata (baca: praktik), padahal, mereka sendiri jarang tampil di dunia itu. Akibatnya, mungkin itu yang dimaksud mas doktor alumnus Brawijaya ini: “walhasil, teori dan retorika yang dominan, bukan praktik dan contoh putusan.”
Lewat kesempatan ini, tentu kita juga patut mengapresiasi para doktor muda yang setelah lulus mau membukakan disertasinya menjadi buku. Yang lain?
Pada saat yang sama seiring dengan tuntutan tugas, saat ini banyak hakim yang kurang berkesempatan membina diri. Jangankan membuat putusan bermutu, membaca buku saja sering tidak mempunyai cukup waktu. Target-target waktu penyelesaian perkara memang tuntutan zaman tetapi sering membawa ‘efek samping’ kedudukan hakim sebagai “Wakil Tuhan”. Pada saat yang sama para hakim juga sering dilibatkan ‘kerja gotong royong’ pada kompetesi-kompetisi, sebut saja APM dan ZI, guna memperolah capaian prestasi satker. Padahal, tugas pokok penanganan perkara, khususnya SIPP, harus beres. Sistem penyelesaian perkara dan program one day minute dan one day publish harus dijadikan ajang kompetisi: “cepat dapat, lambat ketinggalan.” Pada saat yang sama, akibat mutasi hakim yang belum tertata dengan baik, sering tidak terjadi di satu satker, rasio jumlah tenaga, di satu pihak, dengan volume perkara, di pihak lain, tidak seimbang. Sering kita temukan, di satu satker dengan volume perkara yang lebih kecil bisa mempunyai hakim jauh lebih banyak dibanding dengan satker yang volume perkaranya lebih besar.
Sebagai pertanyaan terakhir, dengan situasi dan kondisi seperti ini, masih layakkah kita memimpikan putusan-putusan bermutu?. Terlepas dari itu semua, Saat ini, sebenarnya modal sudah ada. Modal itu adalah semakin bermunculannya sumber daya manusia (SDM) yang semakin berkesadaran tinggi di dunia ilmu. Referensipun kini semakin mudah dijangkau. Akan tetapi, semua itu akan mubadzir, jika iklim tidak mendukung. Iklim dimaksud adalah tersedianya ruang dan waktu yang cukup bagi para pengadil untuk berkontemplasi di bidang hukum dengan segenap kedalaman yang dimiliki. Yang perlu terus menjadi bahan refleksi para hakim dan pembuat kebijakan adalah, bahwa putusan adalah salah satu bentuk karya tulis. Sebuah karya tulis pada hakikatnya adalah salah satu bentuk seni. Akan menjadi baik dan bernilai cita rasa seni tinggi jika diasah secara terus menerus. Melalui pergulatan tiada henti menjadikan sebuah karya seni semain bernilai tinggi. Demikian juga “putusan bermutu” yang kita dambakan itu. Wallahu A’lam.
Lumajang, 11 Februari 2021