Oleh; Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A)
Banyak hal yang menjadi faktor seseorang dihormati oleh orang lain. Akan tetapi secara garis besar seseorang menghormati yang lain biasanya karena 2 hal. Pertama, karena integritasnya dan kedua karena jabatan/ fungsi yang sedang diemban.
Kata integritas, yang berasal dari Bahasa latin yaitu”integer”, diberi arti utuh dan lengkap. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, integritas adalah sifat atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Seorang yang meimiliki integritas adalah mereka yang dapat diberi kepercayaan lebih. Hal ini didasarkan pada kesesuaian antara perilaku dan ucapannya. Integritas mencerminkan seseorang dengan suatu ciri yang transparan, bertanggung jawab, dan objektif.
Kondisi dan situasi pribadi yang demikian, biasanya secara otomatis dan normal menimbulkan penghargaan dan penghormatan dari orang lain. Integritas demikian tidak harus menjadi monopoli pejabat, orang kaya, atau orang yang kebetulan berusia lebih tua. Tetapi bisa dimiliki oleh siapapun. Dengan kata lain, sekalipun ilmu dan jabatannya tinggi, akan sulit mendapatkan kehormatan secara tulus apabila kesatuan ucapan dan tindakannya belum menyatu. Akan tetapi, bisa saja seorang dengan jabatan rendah, sesaorang dengan ilmu pas-pasan bisa disegani lingkungan karena memiliki integritas.
Jabatan/fungsi seseorang juga dapat menyebabkan orang lain menghormatinya. Seorang anak muda karena menduduki jabatan tertentu dihormati di kampungnya. Dalam sejarah bisa akita telusuri betapa Umar pernah ‘kecewa’ karena harus mencium batu hitam bernama hajar aswad. Beliau terpaksa melakukannya karena rasulullah pernah mencontohkannya. “kamu hanya sebuah batu. Seandainya rasulullah tidak menciummu akupun tak sudi menciummu”, begitu kira-kira kata sahabat rasulullah yang terkenal keras dan tegas ini. Tampaknya, Umar ikut menghormati batu itu karena jabatan/ fungsinya yang menjadi salah satu syiar agama itu diperlakukan secara terhormat oleh raslullah SAW. Tetapi rasa hormat yang ditimbulkan kerana faktor ini, ketika dimiliki manusia, tampaknya sering menimbulkan korban. Salah satu efek hilangnya sebuah jabatan dari aspek psiklogis adalah apa yang disebut “post power syndrome” yaitu kondisi kejiwaan yang umumnya terjadi pada orang-orang yang kehilangan kekuasaan dan jabatan yang menimbulkan penurunan harga diri (self esteem) pada orang tersebut. Menurut Citra Hanwaring Puri, S.Psi. seorang psikolog dari RS Jiwa Daerah Surakarta, istilah “power” bukan merujuk kepada kekuasaan tetapi merujuk kepada sosok yang semula aktif atau banyak kegiatan kemudian secara mendadak berkurang sehingga menimbulkan ketidaknyaman.
Sering kita saksikan, banyak orang keluar masuk rumah sakit pascapensiun atau berhenti dari jabatan tertentu. Yang semula masyarakat mengelu-elukannya, kini setelah predikat yang disandang lepas, memandangnya biasa-biasa. Bahkan, Sebagian mereka dirasa justru melecehkannya. Ketika naik kendaraan tidak ada yang mebukakan pintu. Ketika ada rapat atau pertemuan penting, tidak ada lagi mempersilahkannya lagi duduk di depan. Kondisi dan situasi demikian, bagi Sebagian orang sering sulit diterima. Jiwa pun seperti memendam rasa marah dan kecewa. Ketika rasa marah dan kecewa selalu terpendam pada pikiran dan hatinya serta tidak mendapat penyaluran semestinya, kemudian menimbulkan tekanan darah dan detak jantungnya berubah. Akibatnya muncullah berbagai penyakit. Penyakit yang diseabkan karena faktor psikis itu berubah menjadi penyakit fisik (jasmani) berat sekaligus berbahaya.
Sebutan yang mulia bagi Profesi hakim memang unik. Predikat ini sering mengundang rasa iri berikut bahkan cibiran. Tidak ada profesi apapun yang mendapat sebutan selangit seperti hakim. Padahal, tidak ada dasar hukum yang secara eksplisit mengharuskan institusi non hakim ( polisi, jaksa, advokat, dan masyarakat ) memanggil hakim dalam forum-forum dengan sebutan “Yang Mulia” (YM). Hal demikian setidaknya pernah diungkapkan oleh mantan Ketua Mahkamah Adung 2009-2012. Sebagai mantan orang nomor satu di lembaga pengadil tertinggi (baca: Mahkamah Agung) tampaknya beliau ikut merasa risi dengan predikat demikian. Terutama, terkait dengan banyaknya oknum hakim yang tidak perilakunya tidak sesuai dengan sosok hakim ideal, khusuanya pada aspek moralitasnya. “Jauh panggang dari api”, kata beliau sebagaimana dikutip detikNews (25/06/2020) Bersama KKPHA (Keluarga Purnabakti Hakim Agung ) dan Perpahi (Persatuan Purnawirawan Hakim Indonesia) dengan surat resmi, antara lain meminta agar hakim cukup dipanggil ‘Yang Terhormat Bapak/Ibu Hakim’.
Dalam praktik, di negeri ini memang masih ada institusi ang mendapat predikat serupa, dalam hal ini pada kementrian luar negeri, yaitu ketika menyebut duta besar/ perwakilan negara sahabat. Secara historis praktik kenegaraaan kita memang pernah menggunakan sebutan-sebutan “elit” seperti ‘milik’ hakim itu. Akan tetapi, oleh Ketetapan MPRS RI No XXXI/MPRS/1966 direspon sebagai berikut:
“Bahwa untuk mewujudkan kembali kepribadian bangsa secara konsekuen berdasarkan Pancasila dan untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme serta kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, perlu menetapkan dalam bentuk Ketetapan MPRS penggantian sebutan “Paduka “Yang Mulia”, “Yang Mulia”, Paduka Tuan menjadi Bapak/Ibu atau Saudara/Saudari”.
Menurut pandangan Lembaga Tertinggi Negara (sebutan dan kedudukan MPR sebelum amandemen UUD 1945), sebutan “Yang Mulia dan Paduka Mulia” tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang menurut Pancasila menjunjung tinggi kesetaraan.
Khusus untuk hakim, sebutan yang biasanya hanya diperuntukkan menyebut pemilik kekuasaan absolut, seperti para raja, itu dalam praktik seolah menjadi wajib diucapkan ketika bersanding dengan kata hakim, siapapun orangnya. Tidak hanya dalam forum-forum resmi ( perdsidangan atau acara formal), tetapi juga dalam tata peragulan sesama hakim, terutama ketika ber-“medsos ria”. Ketika ada teman hakim mendapat ‘kenikmatan’ ucapan selamat untuk yang bersangkutan–yang membanjir via WA itu–biasanya selalu didahului dengan kata “YM”. Dalam keseharian ketika memanggil sesama teman hakim tidak jarang , sekalipun dimaksudkan untuk seloroh, juga didahului label YM.
Tetapi, siapapun memang segera tahu, mengapa hakim mendapat kehormatan sedemikian istimewa ini. Tidak lain, karena tupoksi yang dimiliki. Irah-irah putusan yang berisi kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa” sering dijadikan alasan masyarakat menyebut hakim sebagai ‘Wakil Tuhan’ di muka bumi. Sosoknya yang demikian memang menyebabkan dia bisa “bekerja yang benar-benar mandiri, tanpa ada atasan yang memberikan perintah-perintah”. Setidaknya hal demikian pernah ditulis Profesor Bustanul Arifin (mantan Hakim Agung MARI) saat menirukan nasihat teman dekatnya ketika beliau akan memsuki dunia peradilan sebagai hakim tahun 1955-an. Pimpinan hanya bisa mengatur hakim mengenai administrasi persidangan tetapi sama sekali tidak bias dan tidak dibenarkan, mengatur-mengatur apa yang akan diputuskan hakim ketika menangani perkara. Itulah mungkin menjadi alasan mengapa banyak yang takut kepada sosok hakim. Atas nama hukum, ketika melaksanakan fungsinya, ternyata hakim bisa berbuat apa saja kepada manusia lain, siapapun orangnya. Ketakutan kepada sang hakim akan semakin bertambah dengan adanya asas, bahwa “putusan hakim harus dianggap benar, sekalipun salah, harus dianggap benar ketika semua upaya hukum.sudah tertutup.” Sebodoh dan seculas apapun oknum hakim asas itu tetap melekat padanya. Luas biasa bukan?
Terlepas dari perdebatan yang ada—mengenai perlu atau tidaknya predikat YM tetap disandangkan hakim–di negeri ini memang sering terjadi apa yang disebut “salah kaprah”. Salah kaprah ini ada yang berbentuk tindakan, tulisan, atau ucapan. Kebiasaan-kebiasaan salah kaprah itu, akan menjadi seolah benar apabila sering dipraktikkan. Apalagi, ketika kesalahkparahan itu dipraktikkan oleh orang yang mempunyai status sosial tinggi. Budaya paternalistik yang kita miliki, sering menyebabkan segala tindakan dan ucapan sang tokoh menjadi referensi masyarakat sekelilingnya. Padahal, oknum tokoh itu ketika berbuat, bertutur atau menulis juga tidak sengaja melakukan kesalahan. Tetapi, tindakan dan praktiknya terlanjur menjadi referensi harian orang banyak. Ketika ada orang yang mencoba mengubahnya dan kembali kepada asas, serta merta ditentang. Kiranya hal demikian juga pernah dipotret sekaligus diingatkan Allah dalam Surat Al Baqarah 170 (Dan apabila dikatakan kepada mereka,”ikutilah apa yang diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakuakannya).” Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun, dan tidak mendapat petunjuk).
Khusus bagi hakim dengan predikat YM yang terlanjur tersemat dalam profesi memang harus diwaspadai sendiri dari hari ke hari. Dengan terus berdialog batin melalui refleksi harian jangan sampai terjadi sematan YM menjadi bumerang. Akibat internalisasi rasa kemulyaan yang terlanjur mendarah daging kelak bias berubah menjadi kebanggaan diri yang tiada henti, terutama saat harus purna tugas. Terjadinya “post power syndrome” pascapurna tugas seperti disinggung di muka harus diantisipasi sendiri oleh para hakim. Kalau tidak, bukan mustahil akan menyulitkan diri sendiri dan lingkunganya, termasuk istri dan para anak cucunya. Ironisnya, jika hal ini harus terjadi saat-saat hakim harus mempersiapkan diri sepenunya menghadapi panggilan “Sang Maha Pengadil” guna mempertanggung jawabkan semua perilakunya di dunia, khususnya selama menjalani hidup dengan predikat ‘Yang Mulia” itu. Wallahu a’lam.