SURABAYA, beritalima.com|
Melalui program kerja sama student exchange antara UNAIR dengan Jeonbuk National University (JBNU), enam mahasiswa UNAIR berhasil menapakkan kakinya di Negeri Ginseng. Mereka adalah Reno Afriano, Yulia Mega Puspita, Aning Luthfiyah S., Ilmi Hafzah Nuraini, Filzah Thahirah Amanina, dan Widya Rachmah. Keenam mahasiswa tersebut diketahui terbang ke Korea Selatan pada Agustus 2022.
Belajar Budaya Disiplin Ala Korea Selatan
Mendapatkan kesempatan menimba ilmu di luar negeri tidak saja menambah wawasan akademik, tetapi juga wawasan secara sosial dan kultural. Selama menjalani masa perkuliahan di sana, Reno, salah satu delegasi tak lupa memperhatikan budaya akademis yang dibangun di Korea Selatan dan membandingkannya dengan Indonesia.
Menurutnya, tidak terdapat perbedaan mencolok khususnya dari segi pengajaran. Hanya saja, budaya disiplin dan menghargai waktu lebih dijunjung tinggi.
Tak mau menyia-nyiakan kesempatan belajar budaya baru, Reno juga turut mengamati gaya hidup dan perilaku penduduk setempat. Menurutnya, budaya dan gaya hidup di Korea Selatan sangat patut untuk ditiru, seperti halnya gaya hidup yang tertib, disiplin dan sadar akan privasi.
“Korea Selatan itu budaya menjaga privasinya tinggi banget. Jadi kita nggak boleh foto kelihatan orang gitu di dalamnya, harus minta consent. Kalau ketahuan sama orangnya bisa ditegur,” ungkap Reno.
Tak lupa, Reno juga membagikan hal menarik terkait dengan sistem pengelolaan sampah di Korea Selatan yang membuatnya kagum. Di Jeonju, kota tempatnya menimba ilmu, penduduk setempat diharuskan melakukan pengelolaan sampah dengan memilah-milah sesuai jenisnya sehingga lebih teratur. Jika tidak, maka akan dikenakan denda. Hal ini tentu saja berkaitan dengan budaya disiplin yang terbangun di Korea Selatan.
“Oh iya, di jalan aku lihat hampir gak ada sama sekali tong sampah tapi jalanan bersih banget,” ujarnya.
Meskipun terbilang menikmati, harus diakui bahwa terdapat tantangan yang harus Reno dan kawan-kawan hadapi. Reno menceritakan bahwa bahasa menjadi tantangan utama. Lantaran, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional di Korea Selatan masih minim sehingga menyulitkan komunikasi.
“Bahkan sekalipun itu (bahasa Inggris, Red), di bagian imigrasi atau lingkungan kampus. Kalau dikomparasi, orang Indonesia masih lumayan lebih bagus,” pungkas Reno.
Pertukaran Mahasiswa sebagai Batu Loncatan
Berkesempatan mengikuti pertukaran mahasiswa di negara lain tentu saja menjadi hal yang berkesan bagi Reno. Pasalnya, mahasiswa yang aktif mengikuti kompetisi debat tersebut telah memiliki keinginan untuk belajar di luar negeri sejak lama. Selain itu, ia juga berencana melanjutkan pendidikan magister di luar negeri. Oleh karena itu, ia merasa perlu memulainya melalui program student exchange sebagai batu loncatan agar dapat lebih mudah beradaptasi dengan iklim yang baru, budaya akademik, hingga masyarakat lokal di kemudian hari. (Yul)