Illiza Paparkan Best Practice Banda Aceh dalam Pemberdayaan Perempuan

  • Whatsapp

BANDA ACEH, Beritalima – Seperti halnya yang terjadi di belahan dunia lainnya, Kota Banda Aceh juga tidak luput dari kasus kekerasan berbasis gender. “Angkanya tercatat meningkat setiap tahunnya sejak 2014, namun bukan disebabkan oleh meningkatnya aktivitas kekerasan, namun karena meningkatnya keberanian dan kepercayaan diri perempuan untuk melaporkan kekerasan yang alaminya.”

Begitu ungkap Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal saat menjadi salah satu pembicara pada acara Women Mayor’s Pre-Conference United Cities and Local Goverment Asia-Pacific (UCLG-ASPAC) Executive Bureau Meeting 2017 di Catbalongan City, Samar, Filipina, Selasa (4/4/2017).

Mengangkat tema “Cycle of Violence against Women in the Context of Peace and Society”, Illiza yang juga menjabat sebagai Co-President of Women in Local Goverment UCLG-ASPAC ini, berbagi pengalamannya dalam mengatasi kekerasan berbasis gender di Banda Aceh.

“Kami yakin, kepercayaan diri tersebut merupakan hasil dari metode dan fasilitas khusus yang telah kami bangun untuk mengakomodasi suara perempuan,” kata Illiza di hadapan puluhan wali kota dan pimpinan organisasi perempuan dari sejumlah negara yang hadir pada acara tersebut.

Gerakan untuk mencegah dan menghalangi terjadinya kekerasan berbasis gender, menurut Illiza merupakan tanggung jawab semua pihak. “Setiap elemen dalam masyarakat harus mengambil peran dan aksinya, mulai dari keluarga, masyarakat, pemerintah, hingga lembaga atau organisasi yang concern terhadap isu tersebut.”

Sebagai pemerintah daerah, sambung Illiza, pihaknya sangat menyadari pentingnya aksi-aksi untuk menghindari kekerasan berbasis gender. “Oleh sebab itu kami membentuk kantor pemberdayaan perempuan, Women Development Center (WDC), dan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Kami juga menciptakan forum khusus yang disebut Musyawarah Rencana Aksi Perempuan (Musrena) dan menyusun regulasi kota tentang gender.”

Ia menjelaskan, WDC dibentuk untuk mendorong terciptanya kebijakan responsif gender di Banda Aceh. Lembaga ini membantu perempuan untuk terlibat aktif dan berpartisipasi dalam proses perencanaan kota. “WDC mengawal proposal dari kelompok perempuan dan memastikan usulan tersebut di akomodasi dalam dokumen perencanaan kota. WDC juga bertanggungjawab memberikan peningkatan kapasitas dan memperkuat kelompok-kelompok perempuan di tingkat dasar.”

Sementara P2TP2A, jelasnya lagi, menyediakan layanan bagi perempuan dan anak dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi. “Lembaga ini menyediakan layanan untuk bantuan hukum, terapi, serta layanan kesehatan bagi korban. P2TP2A juga mengelola rumah aman bagi para korban,” sebut Illiza.

“Adapun Musrena merupakan salah satu pendekatan kami yang paling berhasil dalam memberdayakan perempuan. Forum ini menyediakan wadah bagi perempuan untuk berbicara dan didengar oleh masyarakat secara umum. Perempuan dapat mengajukan usulan apapun dalam forum ini yang nantinya akan dibawa ke dalam forum pertemuan perencanaan kota (Musrenbang),” kata Illiza.

Di samping itu, lembaga lain seperti LSM, kepolisian, rumah sakit dan pihak swasta juga memiliki peran penting dalam mengatasi kekerasan berbasis gender. Misalnya di tempat kerja maupun ruang publik lainnya. “Kekerasan tidak dapat dilawan sendirian. Kita harus bekerjasama dalam membangun pemahaman yang sama akan kesetaraan, keberlanjutan dan damai tentunya.”

“Belajar dari pengalaman, kami menyadari sangat penting untuk mengambil langkah sekecil apapun. Beranilah dan percaya dirilah. Dan forum khusus terbukti benar-benar membantu para perempuan di Kota Banda Aceh untuk bangkit. Ditambah komitmen dari para pemimpin dan integrasi serta kerjasama para stakeholder.”(Aa79)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *