H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Salah satu pemikir besar dalam dunia Islam adalah Al-Ghazali atau yang lazim dikenal dengan Imam Ghazali. Dari berbagai sumber dapat diketahui riwayat (biografi) ulama berkebangsaan Persia (Iran) ini. Di dunia Barat beliau lebih dikenal sebagai seorang filsuf sedangkan di dunia Timur lebih dikenal sebagai seorang sufi. Padahal, Ulama yang lahir pada tahun 450 H (1058 M) ini juga sangat pandai (alim) dalam ilmu tafsir Al Quran, Al Hadis, dan Ilmu Kalam (teologi). Keluasan ilmu yang demikian disebabkan oleh semangat keilmuannya semasa hidup. Sedari muda, Imam Ghazali merupakan seorang pemuda yang haus akan ilmu pengetahuan. Beberapa sejarawan Muslim menganggap salah seorang ulama pemilik gelar dan nama lengkap Hujjatul Islam Al Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali al-Thusi ini sebagai seorang mujaddid. Nama “Al Ghazali” sendiri merupakan penisbatan kepada daerah asal beliau yaitu “Ghazalah”, yaitu sebuah desa pinggiran Kota Thus, kawasan Khurasan, Iran. Salah satu ‘jasa besar’ beliau yang sangat megesankan ialah ‘keberhasilannya’ memadukan disiplin Ilmu Fikih dan Ilmu Tasawwuf, dua ilmu yang sebelumnya saling berdiri pada kutup yang berlainan.
Sebagai seorang sufi, Imam Ghazali tentu memiliki karya tulisan mengenai dunia tasawuf. Berbagai karangan kitab mengenai hal itu masih terus dikaji sampai sekarang. Ulama yang hidup hanya kurang lebih selama 53 tahun ( 1058-1111 Masehi ) ini sangat produktif karena tercatat telah menghasilkan karya lebih dari 200 kitab. Salah ‘kitab kecil’ namun penting, yang sampai saat ini masih terus dikaji, khususnya di pesantren, adalah kitab Bidayatul Hidayah. Kitab ini telah diberi komentar (syarah) oleh Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi dengan nama Maraqil ‘Ubudiyah.
Sesuai dengan arti namanya, Bidayatul Hidayah, kitab ini semacam panduan hidup dari permulaan (Bidayah) dan akan berakhir pada Hidayah (petunjuk). Dalam kitab ini Imam Al-Ghazali menggariskan amalan-amalan harian yang mesti kita lakukan setiap hari dan adab-adab untuk melaksanakan amal ibadah, supaya ibadah tersebut dapat dilakukan dengan baik, penuh arti dan memberikan kesan yang mendalam. Selain itu, beliau menyebutkan adab-adab pergaulan seseorang dengan tuhan sang pencipta dunia seisinya dan juga pergaulan dengan semua lapisan masyarakat yang ada di sekelilingnya. Karena itulah, kitab ini berisi pada tiga bagian, yaitu adab tentang taat kepada Allah, taat meninggalkan maksiat, dan bagian yang terakhir adalah tentang muamalat atau pembahasan tentang adab pergaulan manusia dengan tuhannya dan manusia dengan sesamanya.
Tiga Golongan Pencari Ilmu
Salah satu adab yang turut diwacanakan oleh Imam Ghazali adalah tentang perilaku orang yang menuntut ilmu. Menurut Imam Ghazali, ada tiga tipe orang yang menuntut ilmu yaitu:
Pertama: Orang yang mencari ilmu untuk menjadikannya sebagai bekal menuju kehidupan di akhirat. Orang demikian, ketika mencari ilmu, tidak berniat kecuali hanya ingin mendapat keridhaan Allah dan kebahagiaan hidup di akhirat. Menurut beliau, orang ini termasuk di dalam golongan orang yang beruntung.
Kedua: Orang yang mencari ilmu untuk mendapatkan keuntungan yang segera (dunia) dan mendapatkan kemuliaan, pangkat dan harta benda, sedangkan dia sendiri menyadari hal ini dan merasakan di dalam hatinya akan kejahatan keadaan yang sedang dialaminya dan kehinaan maksudnya. Maka orang ini adalah berada di dalam golongan yang berbahaya. Jikalau dia mati sebelum sempat bertaubat, maka dikhawatirkan ia akan mati dalam keadaan “su-ul khatimah” ( bad ending) kemudian urusannya terserahlah kepada kehendak Allah (dimaafkan atau disiksa). Tetapi kalau dia mendapat taufik sebelum matinya lalu dia bertaubat dan sempat mengamalkan ilmu yang telah dituntutnya dan sempat pula membuat pembetulan terhadap apa yang tercedera, maka, dia dikumpulkannya bersama golongan yang beruntung, kerana orang yang bertaubat dari pada dosanya sama seperti orang yang tidak berdosa.
Ketiga: Orang yang telah dikuasai oleh setan maka ia menjadikan ilmu yang dituntutnya itu sebagai alat untuk menghimpunkan harta benda dan bermegah-megah dengan kedudukkan dan merasa bangga dengan banyaknya pengikut. Dia menggunakan ilmu yang dituntut itu untuk mencapai segala hajatnya dan (hanya) untuk meraup keuntungan dunia. Walaupun demikian, dia masih terpedaya lagi dengan sangkaannya bahwa dia mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah karena dia mempunyai tampilan lahir menyerupai para ulama. Dia bercakap seperti percakapan ulama dan berpakaian seperti pakaian ulama, pada hal zahir dan batinnya penuh dengan tamak dan loba dalam menghimpun kekayaan dunia. Menurut Imam Ghaazali, orang yang seperti ini termasuk dalam golongan orang yang binasa, jahil dan tertipu dengan tipu daya setan dan sangat tipis harapan untuk ia bertaubat kepada Allah kerana dia telah menyangka, bahwa dirinya termasuk di dalam golongan orang yang baik. Padahal, ia telah lupa firman Allah SWT (artinya): “Wahai orang yang beriman, kenapa kamu memperkatakan barang yang tidak kamu amalkan?” (Surah Al Shaf ayat 2).
Dari ketiga tipe orang mencari ilmu tersebut dapat kita ketahui, bahwa menurut Imam Ghazali mencari ilmu mempunyai adab yang tidak hanya sekedar adab lahir (aspek material) tetapi juga yang menyangkut adab batin (aspek spiritual). Adab batin ini tidak lain ialah menyangkut motivasi mengapa seorang harus mencari ilmu. Mencari ilmu merupakan salah saatu kewajiban agama. Al Qur’an dan As Sunnah seringkali menyinggung keutamaan ilmu sekaligus yang dapat memilikinya. Oleh karena itu, dalam Islam mencari ilmu merupakan salah satu ibadah. Bahkan, mencari ilmu menjadi salah satu sarana seseorang mendapat kemudahan menuju surga. Di atas semuanya, karena menuntut ilmu merupakan ibadah, maka niyat memegang peranan penting.
Kini gairah mencari ilmu terimplementasi dalam bentuk masuk dunia pendidikan-pendidikan formal dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Bisa mencapai pendidikan setinggi-tingginya berikut mendapat derajat akademik tertinggi tentu menjadi impian kebanyakan orang. Hal ini wajar sebab hampir semua pasar kerja di berbagai sektor, kini juga mensyaratkan formalitas (ijazah) untuk melihat kualifikasi kepintaran seseorang. Pada saat demikian, agar dalam mencari ilmu, tetap dalam dalam koridor idealnya (tetap bernilai ibadah), maka nasihat Imam Ghazali sangat relevan terus menjadi bahan renungan. Dan, yang lebih penting, hal itu dilakukan agar seorang pencari ilmu selalu dalam petunjuk Allah. Tentu para pencari ilmu (pelajar/ mahasiswa) tidak ingin masuk termasuk dalam kategori hadits yang dikemukakan Imam Ghazali yang pada pokoknya memberikan rambu dasar, bahwa “ketinggihan ilmu yang tidak ekuivalen dengan petunjuk Allah, justru hanya akan semakin membuatnya jauh dari-Nya.” ( manizdada ilman walam jazdad hudan, lam yazdad minallahi illa bu’dan). Na’udzu billahi min dzalik.