Implementasi III-Code Dalam Rangka Kesiapan Indonesia menghadapi Mandatory IMO Member State Audit Scheme (IMSAS) 2025

  • Whatsapp

Oleh.
Dr. Datep Purwa Saputra MM.
(Ketum Praktisi Maritim Indonesia/Pramarin)

Dalam peran sebagai warga internasional, Indonesia berperan aktif dalam pergaulan organisasi internasional, salah satunya menjadi anggota International Maritime Organization (IMO). IMO merupakan badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), otoritas internasional yang menetapkan standar keamanan, keselamatan, dan perlindungan lingkungan maritim.

Indonesia, sebagai negara kepulauan berkomitmen untuk mendukung maksud dan tujuan IMO melalui inisiatif dan melaksanakan kegiatan dalam memfasilitasi serta meningkatkan kerja sama bidang kemaritiman yang saling menguntungkan.
Untuk itu, Indonesia secara resmi menjadi anggota IMO sejak tanggal 18 Januari 1961. Indonesia terpilih menjadi anggota Dewan IMO Kategori C yang juga sebagai anggota Council.

Sebagai bentuk peran aktif anggota IMO, Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi, protokol, dan code yang diterbitkan oleh IMO. Untuk memastikan bahwa negara anggota telah menerapkan IMO Konvensi (III-Code), selanjutnya IMO melaksanakan Voluntary IMO Member State Audit Scheme (VIMSAS).

Voluntary (VIMSAS) merupakan audit sukarela yang dilakukan IMO kepada negara anggotanya terhadap implementasi ratifikasi III-Code. Sesuai Resolution IMO A.974(24) pada tanggal 1 December 2005 tentang Framework And Procedures For The Voluntary Imo Member State Audit Scheme. Voluntary IMSAS ditetapkan sebagai mandatory audit pada tahun 2016 dan semua negara anggota wajib mentaati serta melaksanakan audit di bawah kerangka Voluntary IMSAS.

Ruang lingkup Voluntary IMSAS adalah mandatory IMO instruments III-Code meliputi Solas 1974, Solas Protocol 1978, Solas Protocol 1988, Marpol 73/78, Marpol Protocol 1997, Standards of Training, Sertification and Watchkeeping (STCW) 1978, Load Lines 1966, Load Lines Protocol 1988, Tonnage 1969, dan Colreg 1972. Voluntary IMSAS terhadap Indonesia telah dilaksanakan pada tahun 2014. Selanjutnya sesuai resolusi dan dijadwalkan oleh IMO untuk diaudit secara mandatory pada tahun 2022. Namun, karena masalah Covid-19 pelaksanaannya diundur menjadi tahun 2025.

Untuk itu, Indonesia harus mempersiapkan diri dalam menghadapi audit dimaksud melalui peningkatan Sistem Manajemen Transportasi Laut sesuai III-Code.
Konvensi IMO sebagaimana tersebut di atas. Pada intinya, III-Code itu diterbitkan untuk menjamin kelancaran operasional transportasi laut. Sebagaimana kita ketahui, transportasi laut mempunyai peran penting dan strategis. Pentingnya transportasi tersebut tercermin pada penyelenggaraannya yang mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara serta semakin meningkatnya kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas orang dan barang dalam negeri serta ke dan dari luar negeri.

Di samping itu, transportasi juga berperan sebagai penunjang, pendorong dan penggerak bagi pertumbuhan daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang besar tetapi belum berkembang, dalam upaya peningkatan dan pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya. Sebagaimana pendapat Yamin (2012), transportasi merupakan kebutuhan turunan dari kegiatan ekonomi, sehingga pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah tercermin pada peningkatan intensitas transportasinya.

Menyadari pentingnya peran transportasi tersebut, transportasi laut sebagai salah satu moda transportasi nasional harus ditata dalam satu kesatuan sistem transportasi nasional yang terpadu. Tujuannya agar mampu mewujudkan penyediaan jasa transportasi yang seimbang sesuai dengan tingkat kebutuhan dan ketersediaan pelayanan angkutan yang selamat, aksesibilitas tinggi, terpadu, kapasitas mencukupi, teratur, lancar dan cepat, mudah dicapai, tepat waktu, nyaman, tarif terjangkau, tertib, aman, polusi rendah, dan efisien.

Sebagaimana pendapat Radika Purba (2014) yang menjelaskan, dari segi pelayaran niaga (shipping) transportasi diartikan sebagai pengangkutan muatan melalui air dengan alat pengangkut air (kapal-tongkang dan lain-lain kecuali kapal perang atau kapal negara). Sementara Abas Salim (2014) mendefinisikan bahwa, secara umum pengertian pelayaran niaga (shipping busines) adalah usaha jasa dalam bidang penyediaan ruangan pada angkutan air atau angkutan laut untuk kepentingan pengangkutan muatan penumpang dan barang dagangan dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran menetapkan bahwa angkutan di perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal.

Strategisnya peran transportasi dalam mendukung pembangunan nasional itulah yang menyebabkannya diatur dalam Sistem Transportasi Nasional (Sistranas) sesuai Kepmen No. 49 tahun 2005.

Jaringan transportasi laut berupa trayek dibedakan menurut kegiatan dan sifatnya, dengan mengacu pada kegiatan jaringan (trayek) transportasi laut terdiri atas jaringan transportasi laut dalam negeri (domestik) dan jaringan transportasi luar negeri (internasional).

Berdasarkan fungsi pelayanan transportasi laut sebagai ship follow the trade dan ship promote the trade, jaringan trayek transportasi laut dibagi menjadi pelayanan komersial dan non komersial. Sedangkan berdasarkan sifatnya jaringan transportasi laut terdiri atas (a) jaringan pelayanan transportasi laut tetap dan teratur (reguler liner service) yaitu jaringan pelayanan dengan trayek dan jadwal yang telah ditetapkan, (b) jaringan pelayanan transportasi laut tidak tetap dan tidak teratur yaitu jaringan pelayanan dengan trayek dan jadwal yang tidak ditetapkan (tramper).

Pada pelaksanaannya, operasional kapal di laut menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai regulator dalam melaksanakan pengawasan, pemeriksaan dan pengujian keselamatan, serta sertifikasi kelaik lautan kapal dan pemilik kapal (owner shipp) sebagai operator.

Transportasi laut yang mempunyai karakteristik pengangkutan secara nasional dan menjangkau seluruh wilayah melalui perairan, perlu ditingkatkan perannya sebagai penghubung antar wilayah, baik nasional maupun internasional termasuk lintas batas. Hal itu penting dilakukan karena digunakan sebagai sarana untuk menunjang, mendorong, dan menggerakkan pembangunan nasional dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menjadi Perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sebagaimana pendapat Donald Waters (2010), “Tiap moda memiliki karakteristik yang berbeda dan yang paling baik dalam suatu lingkungan tertentu bergantung pada tipe barang yang diangkut, lokasi, jarak, tujuan, dan hal lainnya.” Selanjutnya dijelaskan bahwa transportasi laut memiliki peran yang vital dalam hubungannya terhadap sektor lain dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Transportasi laut berfungsi sebagai sarana memindahkan orang dan barang dengan menggunakan kapal.

Menurut Pasal 309 KUHD, kapal adalah semua alat berlayar apa pun nama dan sifatnya (schepen zijn alle vaartuigen, hoe ook genaqamd en van elke welken aard ook). Sedangkan UU Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran pasal 1 ayat 36 mendefinisikan bahwa kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga
mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk
kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah
permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung
yang tidak berpindah-pindah.

Dari dua regulasi di atas dapat disimpulkan bahwa kapal bukan jembatan karena diatur oleh standar keselamatan berdasarkan IMO Convention seperti tercantum pada Collision Regulation (Colreg) 72 pasal 3 (a) bahwa kata “kapal” mencakup setiap jenis kendaraan air, termasuk kapal tanpa benaman (displacement) dan pesawat terbang laut, yang digunakan atau dapat digunakan sebagai sarana angkutan di air.

Definisi yang berbeda ketika kapal disebut sebagai jembatan penghubung sebagaimana pada PP Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Perairan pasal 61. Pasal itu menyebutkan bahwa angkutan penyeberangan merupakan angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya. Namun dalam kontak Mandatory IMSAS yang di adopsi menjadi Solas Chapter XIII Tentang Audit kepatuhan kapal yang dimaksud adalah kapal yang mengikuti sesuai ketentuan III-Code atau kapal di atas 500 GT.

Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago), transportasi laut memiliki peran penting sebagai infrastruktur dasar untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat yang tidak tergantikan (irreplaceable) yaitu aksesibilitas dan turut berperan dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang merata di seluruh wilayah Nusantara.

Atas uraian di atas, penerapan III-Code melalui Sistem Manajemen Transportasi Laut (SMTL) menjadi penting dilaksanakan secara konsisten oleh negara anggota sebagai regulator dan perusahaan pelayaran sebagai operator. Bukti pelaksanaannya akan dilihat pada hasil IMSAS tahun 2025.

Kita pernah punya pengalaman pahit pada hasil Inpection Mandatory Tokyo MoU Solas Chapter XI-1 tentang Port State Control(PSC) pada tahun 2016 sd 2018 diberikan nilai dengan predikat Black list walau dengan nilai paling rendah apa bila di bandingkan dari 12 negara lainnya yaitu urutan terakhir dengan excess factor sebesar 1.03.

Patut di syukuri black list Tokyo MoU pada tahun 2022 sudah di cabut sehingga Indonesia sudah memperoleh katagori White List, pengalaman ini harus menjadi catatan pada Mandatory IMSAS apabila hasil audit yang dilaksanakan mendapat temuan yang tidak sesuai (NC) tentunya akan menjadi citra buruk Indonesia sebagai negara maritim.

Demikian, semoga Indonesia sudah siap dalam menghadapi Mandatory IMSAS tahun 2025.

Catatan penulis:
Dr Datep Purwa Saputra MM. lulus Cumlaude IM MSDM UNJ tahun 2013, Ketua Umum Praktisi Maritim Indonesia, Dosen Program Doktor (S3) Manajemen Transportasi Maritim ITL Trisakti, Ketua Tim studi kajian Sistim Manajemen Transportasi Laut dalam rangka persiapan Mandatory IMSAS Litbang Kemenhub tahun 2019.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait