Indek Demokrasi Indonesia Turun, Jamil: Insan Pers Harus Jaga Kemerdekaan Pers

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Kemerdekaan pers merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kemerdekaan berpendapat dan berekspresi. Karena itu, Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, harus tetap menjaga dan memperjuangkan kemersekaan pers.

Kalau kemerdekaan pers terancam, ungkap pakar komunikasi politik Universitas Esa Unggul ketika bindang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta, Rabu (9/2) siang, kemerdekaan berpendapat serta berekspresi dengan sendirinya tidak dapat diwujudkan dengan optimal.

Hal ini, jelas penulis buku ‘Perang Bush Memburu Osama’ membawa konsekuensi pada merosotnya demokrasi di Indonesia seperti yang terjadi saat ini. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir indeks demokrasi Indonesia terus melorot.

Malah Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU dengan skor 6.3. Meski dalam segi peringkat Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, tetapi skor itu menurun dari yang sebelumnya 6.48.

Ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat.

Dalam laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), Norwegia menjadi negara dengan indeks demokrasi tertinggi di dunia. Sementara indeks demokrasi Indonesia mencatat skor terendah dalam 14 tahun terakhir.

The Economist Intelligence Unit (EIU) yang baru saja merilis Laporan Indeks Demokrasi 2020. Dalam laporan itu menujukkan Norwegia meraih skor tertinggi yakni 9,81 dan menjadikannya negara dengan indeks demokrasi tertinggi di dunia.

Pada posisi kedua ditempati Islandia dengan skor 9.37, disusul Swedia (9.26), Selandia Baru (9.25), dan Kanada (9.24). Adapun negara dengan indeks demokrasi paling rendah adalah Korea Utara (1.08).

EIU menyebut secara global indeks demokrasi dunia menurun dibandingkan tahun lalu. Rata-rata skor indeks demokrasi dunia tahun ini tercatat 5.37, menurun dari yang sebelumnya 5.44. Angka ini pun tercatat sebagai rata-rata skor terendah sejak EIU merilis laporan tahunannya pada 2006.

Berdasarkan skor yang diraih, EIU akan mengklasifikasikan negara-negara ke dalam empat kategori rezim: demokrasi penuh, demokrasi cacat, rezim hibrida, dan rezim otoriter.

Karena itu, lanjut pengamat yang akrab disapa Jamil ini, persoalan kemerdekaan pers harus terus diingatkan kepada insan pers, termasuk saat awak media memperingati Hari Pers Nasional (HPN), 9 Februari di Ancol, Jakarta.

Ancaman terhadap kemerdekaan pers itu sendiri dapat berasal dari internal dan eksternal media. Dari internal, faktor kesejahteraan akan mempengaruhi wartawan dalam melaksanakan kebebasan pers. Persoalan kesejahteraan tampak menonjol selama Covid-19. Banyak perusahaan pers menunda dan memotong gaji wartawan, termasuk melakukan pemutusan hubungan kerja.

Dalam kondisi demikian, tentu wartawan tak dapat melaksanakan profesi jurnalis secara optimal. Ini berimplikasi pada ketaatannya melaksanakan kemerdekaan pers.

Pemilih media juga mempengaruhi wartawan melaksanakan kemerdekaan pers. Ketika pemilik media berpihak kepada penguasa, dengan sendirinya wartawan di media tersebut harus ikut menjadi corong dari pemerintah. Wartawan tentu tidak berdaya, sehingga mengikuti kehendak pemilik media.

Dari eksternal, ancaman kemerdekaan pers dapat dilihat dari masih tingginya kekerasan terhadap wartawan. Selama 2020, tercatat 84 kasus kekerasan terhadap wartawan. Menurut osiasi Jurnalis Indonesia (AJI), kasus kekerasan terhadap wartawan pada 2020 merupakan tertinggi sejak tahun 2006.

Celakanya, paling banyak jenis kekerasan terhadap wartawan berupa intimidasi dan kekerasan fisik, termasuk meningkatnya serangan digital terhadap media. Semua jenis kekerasan ini berpengaruh terhadap pelaksanaan kemerdekaan pers.

UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juga menjadi momok bagi wartawan. Sebab, hingga saat ini masih ditemukan wartawan menjadi korban kriminalisasi.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) juga akan berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Sebab, dalam RKUHP kembali dimasukkan delik seperti ketentuan penodaan agama, makar, dan pencemaran nama baik.

Ketentuan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden juga dimasukkan dalam RKUHP. Padahal ketentuan itu sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006.

“Jadi, saat insan pers memperingati HPN di Ancol, seyogyanya membahas ancaman terhadap kemerdekaan pers. Ancaman itu harus diatasi agar kemerdekaan pers tetap lestari di negeri tercinta,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait