Indonesia Belum Merdeka Secara Hukum, Aroma Kekuasan Masih Kental Dalam Penegakan Hukum

  • Whatsapp

Jakarta – Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah menegaskan, Indonesia belum sepenuhnya menjadi negara hukum, apalagi merdeka dalam bidang hukum pada usia kemedekaannya yang ke-77.

Bahkan saat ini Indonesia dinilai sudah menjadi negara kekuasaan, dimana kekuasaan itu selalu mengintervensi dalam proses penegakan hukum.

“Kasus penggeledahan rumah mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump beberapa waktu lalu, bisa menjadi contoh mengenai penggunaan kekuasaan di Indonesia Penggeledahan ini belum pernah terjadi dalam sejarah Amerika,” kata Fahri Hamzah dalam Gelora Talk bertajuk 77 Tahun Usia Kemerdekaan : Negara Hukum dan Masa Depan Indonesia, Rabu (17/8/2022).

Saat berkuasa sebagai Presiden AS, menurut Fahri, Trump dinilai sangat keterlaluan karena menabrak konsepsi-konsepsi dasar sebuah negara republik dan demokrasi di Amerika.

“Sikap politiknya banyak melakukan intervensi, dan Amerika ingin mengembalikan cita rasa sebagai negara hukum dan negara demokrasi,” katanya.

Fahri menilai, kejadian serupa juga bisa saja terjadi di Indonesia. Sebab, penegakan hukum di Indonesia kerap dijadikan permainan politik yang melibatkan operasi intelejen.

“Bisa jadi akan ada investigasi tentang penggunaan kekuasaan suatu saat nanti, sehingga kita perlu hati-hati dalam penegakan hukum,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gelora ini.

Menurut Fahri, dalam negara demokrasi, sistem penegakan hukum saat ini, harus menganut prinsip-prinsip demokrasi keterbukaan (equality before the Law), dan tidak ada yang ditutup-tutupi.

“Jadi negara hukum itu, saya melihatnya sebagai satu sistem. Bukan dibaca terpisah antara tangan, kaki dan sebagainya, tapi harus dibaca keseluruhan tubuh,” katanya.

Artinya, penegakan hukum itu tidak boleh ada yang dilakukan sembunyi-sembunyi untuk melindungi para pejabat yang terlibat kasus pidana misalnya, sementara saat melibatkan rakyat, kasusnya dibuka secara terang benderang.

“Kata kuncinya adalah bahwa pada momen Peringatan 77 tahun Proklamasi, Partai Gelora justru mengingatkan tentang negara hukum yang memudar,” ujarnya.

“Kita boleh terbuka oleh klaim keberhasilan jangka pendek secara sepihak, tetapi masa depan ditentukan oleh berdiri tegaknya negara hukum dan supremasi hukum,” imbuhnya.

Karena itu, selayaknya hal tersebut menjadi perhatian para pemimpin dan politisi agar Indonesia lebih kuat pada masa depan sebagai negara hukum.

Hal senada disampaikan Anggota Komisi III DPR Benny K Harman dari Fraksi Partai Demokrat. Bangsa Indonesia dinilai belum merdeka dalam penegakan hukum karena masih kental dengan aroma kekuasaan.

Padahal, kata Benny, para pendiri bangsa sudah meletakan landasan hukum dengan kekuasan, untuk mencapai tujuan bangsa, dan bukan tujuan penguasa itu sendiri.

“Penerapan konsep kekuasaan yang menjadikan hukum sebagai panglima (rechtsstaat) masih barang langka, ketimbang menjadikan hukum sebagai alat penguasa atau negara kekuasaan (machtssaat),” kata Benny.

Ketua Fraksi Partai Demokrat MPR RI ini mengatakan, para pendiri bangsa telah memberikan landasan untuk mencapai tujuan kekuasaan yang harus berlandaskan pada hukum.

“Dengan begitu, tidak ada penyelenggara kekuasaan membuat tujuan dengan melanggar prinsip dasar bernegara itu sendiri,” jelasnya.

Berkaca dari prinsip tersebut, tegas Benny, sebenarnya Indonesia belum merdeka. Terlebih dalam pembentukan hukum sendiri masih banyak mengadopsi produk hukum asing.

“Jadi dari prespektif ini, belum merdeka, dan hukum dibikin tanpa melibatkan rakyat. Rakyat hanya melaksanakan, dan juga bukan sumber dari jiwa rakyat. Hadirnya sudah tak adil apalagi penerapannya, juga tak adil,” tegasnya.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengusulkan adanya Juru Bicara Hukum yang bisa menjelaskan terhadap berbagai persoalan hukum guna mengevaluasi kondisi penegakan hukum saat ini.

“Kita membutuhkan banyak orang, istilah saya menjadi juru bicara hukum, menjadikan hukum sebagai barometer tindakan, jadi tidak hanya main kekuasaan saja. Tapi berkomentar juga harus ada ukurannya, sehingga hukum jadi obyektif,” kata Refly.(ar)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait