JAKARTA, — Dari arena Musyawarah Nasional ke-V Ikatan Penulis dan Jurnalis Indonesia (IPJI) di Kemayoran, Jakarta, muncul seruan lantang dari hati nurani anak bangsa: “Indonesia juga punya kami.” Kalimat sederhana itu menggema di tengah peringatan Hari Sumpah Pemuda, menegaskan kembali semangat kebersamaan, keadilan, dan kesetaraan di antara anak-anak negeri dari Sabang sampai Merauke.
Salah 1 Penulis yang tergabung dalam IPJI, Amie Christ menjelaskan, seruan itu lahir dari kegelisahan panjang akan rasisme, dikotomi sosial, dan ketimpangan yang seakan masih membayangi perjalanan republik ini. Dunia telah lama menjadikan rasisme sebagai alat untuk menyerang kaum minoritas; dan kini, polanya diam-diam diadopsi pula oleh sebagian kalangan di tanah air. Pengelompokan berdasarkan suku dan wilayah telah menciptakan sekat-sekat tak kasatmata di tengah masyarakat yang mestinya bersatu di bawah panji Pancasila.
Di Indonesia, pola itu tampak dalam dinamika sosial politik yang sering kali menonjolkan dominasi wilayah tertentu. Jawa dan Sumatra kerap dianggap sebagai pusat produksi tokoh dan pemimpin nasional, sementara wilayah timur masih berjuang keras untuk mendapat ruang yang setara.
“Setiap kali ada putra timur yang tampil di panggung nasional, cercaan dan prasangka seolah menjadi teman abadi,” ungkap Amie Christ, salah satu peserta Munas IPJI, menyinggung fenomena yang masih terasa hingga kini.
Namun dari belahan timur itu pula, muncul sosok yang menembus batas: Bahlil Lahadalia. Lahir dari keluarga sederhana, menapaki jalan panjang pendidikan dengan keringat dan kerja keras, Bahlil tumbuh menjadi figur yang tak gentar menantang keterbatasan. Kini ia dikenal sebagai tokoh muda yang energik, progresif, dan berintegritas tinggi dalam dunia politik dan pemerintahan.
Dalam kiprahnya, Bahlil dikenal vokal memperjuangkan pemerataan ekonomi nasional. Ia mendorong hilirisasi tambang, meningkatkan lifting minyak hingga mencapai target nasional, memperjuangkan kepemilikan saham Freeport hingga mencapai 61 persen untuk Indonesia, serta membuka ruang bagi rakyat untuk mengelola sumber daya alam sumur minyak secara bertanggung jawab disamping juga membangun sektor energy baru terbarukan serta menerangi pelosok dengan meningkatkan program listtik bagi rakyat di daerah teringgal. Di kancah diplomasi internasional, ia membangun jejaring investasi dengan negara-negara seperti Singapur, Tiongkok, Korea, Rusia, Brasil hingga Amerika Serikat.
Namun di balik prestasi dan kerja keras itu, masih saja ada suara miring, cibiran, bahkan serangan berbau rasisme yang diarahkan kepadanya. Dunia digital, yang seharusnya menjadi ruang kolaborasi gagasan, kadang justru menjadi ladang subur bagi kebencian dan stereotype murahan.
“Ketika seseorang dari timur berhasil, sebagian orang tampak sulit menerima. Padahal keberhasilan itu adalah cermin dari semangat nasionalisme, bukan milik satu daerah atau suku,” ujar Amie Christ, Seorang Penulis IPJI, dalam sesi refleksi kebangsaan.
Di tengah gejolak itu, suara kebersamaan kembali digaungkan. Rakyat menyerukan agar rasisme, iri hati, dan keserakahan tak lagi dijadikan alat politik. Indonesia harus bangkit di atas fondasi keadilan sosial dan kesetaraan sesama anak bangsa. Sebab seperti dalam isi Sumpah Pemuda, “Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia.”
Dalam dinamika pemerintahan hari ini, Presiden Prabowo Subianto tampil sebagai sosok pemimpin yang menenangkan, dengan kharisma dan diplomasi yang kuat. Di tengah suhu politik yang kadang memanas, Prabowo dinilai mampu meredam gejolak dan mengembalikan arah bangsa menuju cita-cita besar: Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur.
Semangat itu kini berpadu dengan kerja keras para menteri dan tokoh muda seperti Bahlil, yang tak kenal lelah membangun sektor energi, investasi, dan kemandirian nasional. Mereka menjadi simbol bahwa kebangkitan bangsa ini tidak lagi mengenal batas wilayah atau garis etnis.
“Orang timur juga aset berharga bangsa ini, bukan pelengkap atau figuran dalam panggung politik nasional. Demikian salah satu pernyataan reflektif di penghujung Munas IPJI,” sebutnya.
Dalam semangat Hari Sumpah Pemuda, tulisan dan pernyataan itu menjadi cermin kebangkitan moral bangsa: sebuah seruan untuk menghentikan rasisme, mengakhiri pengkotak-kotakan, dan membangun Indonesia yang betul-betul memuliakan kerja keras, integritas, dan kecerdasan.
Kini, dari timur hingga barat, dari kota hingga pelosok desa, semangat itu menyala kembali. Bahwa Indonesia juga punya kami, anak-anak bangsa yang siap berdiri sejajar, berjuang, dan mengabdi untuk negeri. (AMIE CHRIST – AUTOR BUKU/PEMUDA DARI MALUKU)








