Lombok Timur, beritalima.com | Sebagai salah satu negara maritim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi rumput laut besar sebagai salah satu komoditas unggulan yang bermanfaat bagi ekonomi, kesejahteraan masyarakat, terutama di pesisir dan lingkungan.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut B. Pandjaitan mengatakan, “dari rumput laut kita dapat memproduksi biostimulant atau pupuk organik yang dapat membantu masalah subsidi pupuk dan ketahanan pangan. Biodegradable plastic yang dapat mengatasi masalah sampah plastik Indonesia. Bahan pangan, seperti pengganti gandum pada mie, yang dapat mengurangi impor gandum.”
Lainnya, dari rumput laut bisa diolah menjadi Biofuel yang dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan masih banyak lagi.
Luhut mengemukakan ini dalam acara “Showcase Piloting Budidaya Rumput Laut Skala Besar” pada Kamis (29/2) di Teluk Ekas, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Posisi Indonesia dengan keunggulan alami sebagai produsen rumput laut karena berada di daerah katulistiwa dimana matahari bersinar sepanjang tahun, sehingga budidaya rumput laut dapat dilakukan sepanjang tahun.
Selain itu, laut Indonesia juga relatif tenang dan tidak ada topan atau tornado yang dapat merusak budidaya rumput laut.
Lebih dari 70% luas Indonesia adalah laut dengan 12 juta ha dialokasikan untuk budidaya. Namun dengan segala keunggulan yang dimiliki, produksi rumput laut Indonesia masih belum optimal.
Luhut menjelaskan saat ini budidaya rumput laut baru mencapai 102 ribu ha atau 0,8%-nya saja. Lebih dari 60% ekspor rumput laut masih dalam bentuk mentah atau rumput laut kering, dengan hilirisasi yang terbatas.
“Untuk bisa melakukan hilirisasi, salah satu kunci yang harus dilakukan adalah perbaikan di sisi hulu. Sama halnya dengan pertanian di darat, produktivitas dan efisiensi budidaya rumput laut harus terus ditingkatkan,” sambung Luhut.
Melalui budidaya skala besar seluas 100 ha dengan mekanisasi dan teknologi, banyak manfaat ekonomi dapat diraih yakni investasi sebesar USD 2-2.5 juta, penciptaan tenaga kerja langsung sebanyak 100-150 orang, produksi rumput laut basah 10-15 ribu ton per tahun, dan setara produksi biostimulant yang dapat mencakup 1-2 juta lahan pertanian.
“Nelayan dimana saja akan dapat manfaatnya. Saya sampaikan ini sudah sekitar 100 hektare sudah jalan bukan hanya coba-coba saja. Kami ingin teknologi ini berkembang karena akan menciptakan lapangan kerja untuk 1 juta dan mengurangi kemiskinan dan memberikan dampak pada masuatakat pesisir untuk lebih berkembang,” papar Luhut.
Dalam pilot project rumput laut di NTB, ada beberapa lembaga yang turut bekerjasama, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian BUMN, Kementerian Investasi, Badan Riset dan Inovasi Nasional, pemerintah daerah, universitas maupun mitra pembangunan (Sea6, Prospera, MTCRC, Konservasi Indonesia).
Pejabat Gubernur NTB Lalu Gita Ariadi menyebut, “kegiatan ini bukan hanya sebagai bentuk inovasi, tetapi juga sebagai wujud nyata komitmen kami dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memajukan sektor kelautan”.
Jurnalis: Abriyanto