MOJOKERTO, Beritalima.com – World Trade Report 2024 menyebutkan bahwa Indonesia menempati tingkat kedua dari 193 negara dengan risiko bencana tertinggi di dunia. Kondisi ini terkait erat dari karakteristik geografis dan biologis yang menjadikannya rentan terhadap bencana.
Selain itu, faktor kerentanan sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta kapasitas dalam penanggulangan bencana turut berperan dalam meningkatkan risiko bencana di Indonesia.
Apalagi perubahan iklim global semakin meningkat dari tahun ke tahun, termasuk di Indonesia. Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Indonesia menunjukkan suhu rata-rata tahunan Nasional pada 2024 adalah 27,521 derajat Celcius. Rekor tertinggi sepanjang pengamatan iklim Indonesia.
Anomali suhu tertinggi global pun mengalami kenaikan pada 2024 yaitu 1,55 derajat Celsius. Suhu ini melebihi angka yang sudah ditetapkan pada Perjanjian Paris di mana para ahli tim menyepakati agar menahan laju anomali suhu di bawah 1,5 derajat Celcius.
Sementara itu, tinggi muka air laut (TML) di Indonesia juga naik rata-rata 4,3 mm/tahun. Laju kenaikan lebih tinggi di beberapa wilayah timur Indonesia seperti perairan Maluku dan Papua.
“Dunia memasuki zona risiko tinggi perubahan iklim global,” ujar Marjuki MSi, Direktur Layanan Informasi Iklim Terapan Kedeputian Bidang Klimatologi BMKG di Pendopo Rumah Rakyat Kota Mojokerto beberapa waktu lalu saat peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana 2025.
Kondisi ini berdampak besar pada kehidupan manusia, ekosistem, dan ketahanan di tingkat lokal, terutama di negara berkembang. Dinamika cuaca dan iklim seperti bertambahnya frekuensi dan tingkat kekeringan, siklon tropis, hingga krisis air dan ketahanan pangan tak bisa dihindari lagi.
Untuk itu, semua pihak di negara ini perlu memperkuat kerja sama dengan tujuan membangun pemahaman dan ketangguhan bangsa dari tingkat paling dasar yaitu desa. Langkah ini sekaligus meminimalkan kerugian yang ditimbulkan oleh bencana dan hambatan dalam upaya membangun Indonesia.
Destana dan PKD
Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) menginisiasi Program Desa Tangguh Bencana (Destana) yang dijalankan sejak 2012. Program ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang mengamanatkan untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana.
Untuk mendukung pelaksanaan di tingkat daerah, Destana dijalankan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). BNPB juga bersinergi dengan kementerian dan lembaga serta pemerintahan daerah.
Tujuan Destana adalah memberdayakan masyarakat desa agar mandiri, adaptif, dan mampu memulihkan diri dari ancaman dan dampak bencana serta perubahan iklim. Melalui pendekatan holistik, partisipasi aktif masyarakat dilibatkan dalam mengidentifikasi risiko, menyusun rencana aksi, meningkatkan kapasitas, serta melakukan mitigasi dan adaptasi.
Pemetaan untuk memperkuat kapasitas desa dilakukan oleh Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (KemendesPDT) melalui program Indeks Desa (ID) selama Maret hingga Juni 2025. ID berpatokan pada enam dimensi yaitu layanan dasar, aksesibilitas, sosial, ekonomi, lingkungan, dan tata kelola pemerintah.
Jika dikaitkan dengan program Penilaian Ketangguhan Desa (PKD) dalam Destana oleh BNPB, dimensi yang banyak dipakai adalah lingkungan dan isu desa dan perdesaan. Hasil pemetaan bersama diperoleh 75.261 desa di seluruh Indonesia, terdiri dari 6.533 Desa Tangguh Utama, 19.280 Desa Tangguh Madya, dan 49.448 Desa Tangguh Pratama.
Kolaborasi BNPB dan KemendesPDT ini menghasilkan Katalog Ketangguhan. Fungsi katalog ini di antaranya sebagai penyedia informasi dasar ketangguhan di desa, memantau ketangguhan masyarakat, menjadi kegiatan satu data yang terpadu untuk perencanaan pembangunan dan penganggaran untuk aksi-aksi desa berketahanan iklim dan bencana.
Data tersebut berguna pula dalam merencanakan pembangunan berbasis kawasan yaitu proyek strategis nasional (PSN) dan kawasan ekonomi khusus (KEK). Terutama untuk membaca jenis ancaman bencana apa dan bagaimana tingkat ketangguhan desa-desa di kawasan tersebut.
Dinar Dana Kharisma SE MALD PhD, Direktur Kemandirian Sosial dan Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, menekankan agar data yang diperoleh dari desa-desa tersebut dikembalikan lagi ke desa masing-masing.
“Tiap desa perlu untuk memahami dan mempergunakan data tersebut seoptimal mungkin untuk pembangunan desanya,” tegas Dinar.
Selanjutnya, perlu dipastikan bahwa desa memahami terjemahan makna dari data-data tersebut. Misalnya, PKD suatu desa rendah, maka sebaiknya alokasi optimal dana desa digunakan untuk apa? Apakah ada implikasi kelompok penduduk tidak terlindungi dengan baik dari risiko bencana? Jika ya, kelompok yang mana dan jenis bencana apa yang menyebabkan hal itu?
Dan ketika PKD-nya sudah tinggi, apakah itu memang benar-benar mencerminkan bahwa risiko di desa itu sudah tertanggulangi atau rendah. Akibatnya, ketika terjadi bencana dan sebagainya, tidak menimbulkan banyak korban.
Tenaga Pendamping Profesional (TPP) yang melakukan ID di lapangan harus memahami konteks ini. Mereka tidak hanya belajar mengumpulkan data untuk menghitung ID dan PKD, tetapi juga menerjemahkan data menjadi suatu kebijakan yang bisa dilaksanakan di desa, kota/kabupaten, dan menjadi masukan bagi pemerintah pusat.
Optimalisasi Dana Desa untuk Bencana
Data ID dan PKD berguna pula untuk menentukan garis lurus antara kode rekening desa dan rekomendasi kegiatan apa yang dapat dijalankan oleh desa tersebut.
“Jangan sampai nanti desa mempunyai program dan kegiatan, tapi bingung mau mengaitkan pada penganggaran yang mana,” tukas Lilis Yuliana MSi, Ketua Tim ID Direktorat Advokasi Kerja Sama Desa dan Kawasan Pedesaan KemendesPDT.
Permendesa Nomor 7 Tahun 2023 disampaikan bagaimana pemanfaatan dana desa untuk pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka mitigasi dan penanganan bencana alam. Tentu hal ini terkait dengan pelaksanaan Destana.
Lebih jauh, Sutiah dari Konsorsium Destana Inklusif (Kondusif) Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan Pembangunan (LPKP) Jatim, menyatakan apa yang dilakukan semua pihak ini juga untuk mewujudkan sebuah kemandirian sosial dan ekonomi dalam konteks kebencanaan.
Pengetahuan dan pemahaman masyarakat termasuk pemerintah desa tentang penanggulangan bencana perlu pula dikembangkan. Selama ini, mereka menganggap penanggulangan bencana adalah saat tanggap darurat, ketika bencana terjadi. Padahal, perlu juga untuk mengetahui apa yang dapat dilakukan pada pra dan pasca bencana. Sebab, ini adalah satu rangkaian penanggulangan bencana.
Akibatnya, dana desa untuk penanggulangan bencana, jika tidak ada kejadian bencana, maka anggaran itu tidak dipakai. Akibatnya, kembali menjadi Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) atau sisa anggaran desa.
“Kalau ada kebijakan bagaimana memastikan peruntukan dana desa atau sumber-sumber pendanaan desa lain buat penanggulangan bencana, tentu hal ini akan menjadi sangat baik,” tukasnya.
Sesuai Perka BNPB 1/2012, tim Kondusif bersama Program SIAP SIAGA, yaitu program kemitraan pemerintah Australia-Indonesia untuk Manajemen Risiko Bencana, mengembangkan program yang mengkolaborasikan empat pilar dalam Destana yaitu konvergensi Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan adaptasi perubahan iklim, membangun ketangguhan ekonomi, Gender Equality Disability and Social Inclusion (GEDSI) mainstreaming, dan penanggulangan bencana melalui Destana.
Kondusif berupaya membangun ketangguhan masyarakat dengan memastikan pendekatan inklusivitas pada Destana. Jika dalam konteks GEDSI, yaitu adanya pelibatan kelompok rentan seperti perempuan, anak, kelompok disabilitas dan lainnya yang memiliki risiko tinggi ketika terjadi bencana. Walaupun memang belum terimplementasi dengan baik di lapangan.
“Ada hal menarik di desa. Kami menemukan banyak pelibatan kelompok rentan yaitu perempuan di desa dan berjalan sudah cukup baik. Tetapi, untuk disabilitas dan kelompok-kelompok minoritas lainnya masih menjadi pekerjaan rumah kami,” tutur Sutiah.
Tantangan memang selalu ada. Persepsi masyarakat dan pemerintah desa masih kerap mempertanyakan mengapa harus melibatkan orang disabilitas. Mereka berpikir itu akan menjadi beban. Inilah mengapa Kondusif berusaha membangun sebuah pemahaman dan kesadaran terkait partisipasi bermakna.
Selama ini, pelibatan kelompok rentan masih sebatas pelengkap saja. Kini, mereka didorong supaya memiliki kemampuan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat di setiap tahapan pembentukan atau pengembangan Destana.
Kelompok disabilitas saat ini sudah mulai dilibatkan dalam PRB melalui Unit Layanan Disabilitas. Semua pengalaman para penyandang disabilitas ini dituangkan pula dalam buku “Nothing without Us: Ada Ruang untuk Disabilitas dalam Penanggulangan Bencana” yang dirilis di Pendopo Rumah Rakyat Kota Mojokerto pada Rabu, 1 Oktober 2025.(Yul)

