JAKARTA, Berutalima.com– Dampak pandemi virus Corona (Covid-19) yang melanda Indonesia sejak awal Maret tahun lalu, saat ini sudah memasuki krisis sosial. Karena itu, jika Pemeintah tidak tanggap, krisis sosial bakal berlanjut kepada krisis politik.
Tanda-tandanya menunjukkan, kita saat ini berada di lampu kuning. Pandemi sudah menyebabkan krisis ekonomi, dan sekarang berlanjut pada krisis sosial. Kita harus berhati-hati membaca tanda-tanda ini, tanpa bermaksud saling menyalahkan, karena pada akhirnya merupakan tantangan bagi kita semuanya sebagai bangsa.
Hal itu dikatakan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Muhammad Anis Matta ketika memberikan pengantar diskusi Gelora Talk 09 dengan tema ‘Pandemi Berlanjut Akankah Memicu Krisis Sosial’ di Media Centre Gelora, Jalan Taman Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (29/7) petang.
Dalam diskusi yang dihadiri ekonom senior yang juga Menteri Koordinator (Menko) Maritim dan Sumber Daya Indonesia 2015-2016, Dr Rizal Ramli juga tampil Juru Bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi dan Clinical Epidemilog Ahlani Institute, Tifauzia Tyassuma itu.
Pada kesempatan itu, Anis mengingatkan, krisis ekonomi yang terjadi saat ini menyebabkan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran dan angka kemiskinan naik lebih dari 50 persen.
Menurut Anis, suasana jiwa masyarakat (public mood) saat ini diliputi kesedihan, ketakutan, kemarahan dan frustasi. Bila Pemerintah tidak mengelola masalah ini dengan baik, kondisi tersebut bisa saja berbuah pada ledakan sosial dan krisis politik.
Selain itu, ternyata vaksinasi tidak sesuai dengan harapan Pemerintah, karena tak mampu mencegah munculnya varian baru. Vaksin yang sudah dilakukan Pemerintah ternyata kalah kuat dari varian baru yang terus bermunculan, sehingga masih dibutuhkan beberapa kali vaksin lagi.
“Ini menyangkut daya tahan fiskal dan kapasitas pemerintah. Pandemi menyedot anggaran sedemikian rupa, sementara pada waktu yang sama menutup sebagian besar sumber pendapatan pemerintah,” kata Wakil Ketua DPR RI bidang Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kokesra) 2009-2014 tersebut.
Situasi saat ini, lanjut Anis, tentu saja menjadi ujian dan tantangan yang sulit bagi pemerintah. Apalagi jika tanda-tanda, krisis terlihat semakin membesar.
“Pertanyaan yang sulit dijawab, berapa lama Pemerintah bisa bertahan dalam situasi seperti ini. Daya tahan fiskal pemerintah, apa mampu mengatasi persoalan ini, karena krisis akan jauh lebih besar dari yang diperkirakan,” kata dia.
Tifauzia Tyassuma mengatakan, situasi sekarang sudah memasuki krisis sosial dan di khawatirkan akan terjadi chaos (kerusuhan) di masyarakat.
“Ini yang paling kita khawatirkan. Kita mesti segera bahu-membahu mencegah, jangan sampai krisis sosial ini menjadi chaos,” kata Tifa, sapaan akrab Tifauzia Tyassuma.
Bahkan Tifa memprediksi, pandemi Covid-19 ini tidak akan selesai 2022. Bahkan bukan tidak mungkin pemilihan presiden 2024 digelar saat virus Corona terus melakukan mutasi dan membentuk varian-varian baru, termasuk varian lokal Indonesia.
“Bukan menakut-nakuti, siap-siap saja pandemi ini akan berjalan lama, sedikitnya butuh waktu antara 3-5 tahun lagi. Artinya ketika masih Pilpres, pandemi masih ada dengan asumsi terjadi mutasi-mutasi dan pemerintah belum ada solusi pengendalian sama sekali,” kata dia.
Ekonom senior Rizal Ramli menilai, Pemerintah salah langkah dalam menerapkan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 selama ini.
Sejak awal seharusnya pemerintah menerapkan lockdown agar Covid-19 tidak menyebar.
Namun, yang dilakukan Pemerintah malahan sebaliknya, bongkar pasang istilah dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB Ketat, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), PPKM Mikro, PPKM Darurat, sampai terakhir PPKM Level 4.
“Negara lain efektif mengendalikan pandemi melakukan lockdown. Iya kan, nanti kalau udah berkurang ya nggak ada lockdown. Nanti kalau ada pandemi lagi ramai lagi atau virus baru lagi variasi baru ya lockdown lagi,” ujar Rizal Ramli.
Apabila kebijakan lockdown diterapkan ketika itu, kata Rizal Ramli, cost (biaya) yang dikeluarkan pemerintah tak sebesar sekarang mencapai Rp 1.035 triliun, tapi cukup merogoh kocek Rp 415 triliun dan Covid-19 bisa dikendalikan.
“Lockdown hanya butuh Rp 415 triliun, itu buat kasih makan rakyat dan kasih obat-obatan gratis. Saya (merasa) aneh. Di seluruh dunia ada nggak sih, yang menyelesaikan kasus krisis tapi dengan ganti istilah doang? Mohon maaf kagak ada,” tegas Rizal.
Pada kesempatan itu, Rizal mengatakan, partai Gelora Indonesia harus berani kritis kepada Pemerintah. “Mumpung lagi diluar Pemerintahan, saat inilah Gelora Indonesia kritis. Kalau nanti suah dalam Pemerintahan,” ceritanya akan lain.
Siti Nadia Tarmizi mengatakan, peningkatan kasus Covid-19 saat ini, karena ada mutasi varian Delta dari India, sehingga pemerintah perlu mengencangkan kembali pelaksanaan rem darurat melalui PPKM.
“PPKM Darurat Level 4 hingga 1 itu sesuai rekomendasi WHO. Upaya ini untuk menurunkan mobilitas, bukan menghentikan, karena mobilitas ini memfasilitasi varian virus menyebar ke seluruh daerah. Sehingga kasus di daerah secara cepat meningkat dalam jumlah besar,” kata Siti.
Pemerintah menilai penerapan PPKM Darurat berdasarkan level ini tidak mengganggu aktivitas ekonomi dan kehidupan masyarakat, karena diterapkan di level RT/RW, desa/kelurahan atau kecamatan saja.
“Di level yang paling terkecil sangat memungkinkan untuk melakukan mengawasi arus keluar masuk di wilayah tersebut,” demikian Siti Nadia Tarmizi. (akhir)