Oleh: Jeannie Latumahina
Mengapa kemudian muncul narasi Indonesia Terserah?….. apakah karena pemerintah sudah tidak mampu lagi dalam menghadapi pandemi virus Cobid-19…. Ataukah sebenarnya ada pertimbangan lain sehingga munculnya narasi *Indonesia Terserah* terus berkembang.
Kalau kita runut lagi sejak awal pemberitaan pandemi wabah virus, terhitung sejak awal tahun 2020, hingga sekarang bulan ke lima ini, sosialisasi akan bahaya wabah virus sudah menyentuh ke segenap masyarakat Indonesia. Tidak hanya usia dewasa, bahkan anak- anak yang masih TK saja sudah dapat berbicara jangan pergi ke mall ada virus.
Masyarakat Indonesia tentunya sudah bukan lagi masyarakat yang buta atau tidak paham akan bahaya wabah virus yang sedang berlangsung, namun tentunya juga paham pada informasi yang beredar dimasyarakat yang secara getok tular (viral) menyebar melalui media medsos internet hingga pelosok tanah air.
Sehingga sejak awal pandemi desakan untuk Indonesia *lockdown* digaungkan dan dilakukan oleh masyarakat baik secara kolektif maupun mandiri dengan terus menerus. Bahkan sementara orang mengatakan pemerintah sangat lambat menyikapi desakan dunia International untuk membuat tindakan *lockdown* dalam mengatasi penyebaran wabah virus Covid-19.
Sejalan dengan perjalanan waktu terhitung sejak mulainya pandemi virus Covid-19, urutan jumlah penduduk Indonesia yang terpapar virus Covid-19 selalu berkisar pada urutan ke 30-an naik turun. Dari pelaporan hingga hari ini terdapat 22.271 orang terpapar, atau sebesar 0.008% dari jumlah penduduk sebesar 270 juta jiwa. Walau sementara orang meragukan jumlah ini, namun hingga sekarang tidak terdapat bukti pembanding yang tentunya tidak bisa dibandingkan dengan jumlah pemakaman secara prosedur Covid-19, mengingat demi keselamatan petugas pemakaman maka yang meninggal *dengan dugaan* terkena Covid-19 dan umumnya pasien rumah sakit. Harus dimakamkan dengan SOP korban pandemi virus Covid-19 guna keselamatan petugas pemakaman. Sedangkan data terkonfirmasi korban meninggal akibat virus sebesar 1.372 orang, dan yang disembuhkan sebesar 5.402 orang.
Disisi lain menurut laporan Kemanaker jumlah penduduk yang terkena PHK sebagai dampak daripada PSBB hingga bulan lalu yaitu bulan April adalah sebanyak dua juta orang. Dan tentunya lebih besar lagi untuk pekerja produktif di sektor informal, dan ini akan menjadi besar lagi jumlahnya jika dihitung dari dampak akibat kehilangan pekerjaan terhadap anggota keluarga.
Sedangkan jika kemudian pengetatan pemberlakukan PSBB semakin dikencangkan, maka yang menjadi pertanyaan adalah kemampuan dari pemerintah dalam memerikan bantuan kepada penduduk terdampak adanya pandemi. Hingga sejauh ini sedemikian banyak masalah dalam distribusi bantuan. Baik oleh karena tidak adanya database terintegrasi dan tidak terupdate antar kementrian hingga perangkat desa, telah berakibat munculnya berbagai masalah.
Telah berakibat sedemikian luasnya, dimana ada yang sangat membutuhkan tidak mendapatkan bantuan sedangkan disisi lain oleh karena data yang ada bisa mendapatkan lebih banyak atau mendapat lebih dari subsidi bantuan. Dan ini tentu tanpa harus menghitung atau adanya kesengajaan penyelewengan perihal pemberian bantuan atau subsidi dari pemerintah. Dimana KPK belum memberikan asumsi perkiraan kebocoran dalam pemberian dana bantuan pemerintah.
Demikian juga adanya potensi distabilitas keamanan jika situasi demikian berjalan seperti sekarang, dimana banyak pekerja di sektor informal terpaksa hidup menggelandang di perkotaan akibat tempatnya bekerja tutup atau bankrut, sehingga harus tidur di emperan atau menumpang karena ketidak mampuan membayar sewa kontrakan.
Masyarakat tentunya sudah paham betul akan realita dari bahaya pandemi Covid-19, namun juga tidak bisa untuk terus menerus hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan kekawatiran akan masa depan hidupnya jika tidak adanya pekerjaan. Demikian juga para pelaku usahapun melalui Apindo juga sudah mengatakan ketidak sanggupan meneruskan usaha jika situasi ini berlangsung sampai bulan Juni 2020, atau bulan depan ini. Bahkan urusan pemberian THR saja sudah banyak suara-suara sumbang, walau pemerintah mengharuskan pengusaha tetap memberikan THR.
Seberapa jauhkan sebenarnya kesadaran masyarakat atas terjadinya pandemi virus Covid-19, dari hal yang sederhana yaitu urusan *mudik pulang kampung* dalam menyambut Hari Raya telah terjadi penurunan jumlah pemudik hingga 60% dari tahun sebelumnya. Yang artinya sebenarnya masyarakat juga telah paham dengan adanya bahaya penyebaran wabah virus jika tetap berkeras untuk mudik ke kampung halaman guna merayakan lebaran bersama keluarga besar.
Kemudian dari pola penyebaran virus Covid-19, Indonesia yang berbentuk negara kepulauan juga diuntungkan oleh sebab mobilitas masyarakat tidak dapat dengan mudah tanpa ada dukungan transportasi laut atau udara. Terlihat virus Covid-19 masih berpusat di zona perkotaan.
Dengan demikian maka sebenarnya adanya hastag *#IndonesiaTerserah* bukanlah sikap masa bodoh masyarakat Indonesia terhadap adanya pandemi virus Covid-19. Namun lebih kepada pemikiran akal sehat dalam mempertimbangkan faktor keselamatan antar penduduk yang berjumlah 270 jiwa. Terlebih dari pemberitaan media international dibeberapa negara telah terjadi perlawanan terhadap kebijakan pengetatan *lockdown* yang diberlakukan oleh pemerintahnya.
Jika pemerinah negara maju saja kesulitan dengan kebijakan lockdown yang diberlakukan, dan tentunya menjadi konsekwensi pemerintah untuk memberikan bantuan sosial kepada rakyat terdampak kebijakan tersebut. Maka tentu perlu menjadi pertimbangan pengambil keputusan dan kebijakan terkait PSBB dan dampak yang terjadinya dalam *menyelamatkan* penduduk dari bahaya baik pandemi virus Covid-19 namun, juga perlu mengkaji lebih jauh dampak dari kebijakan melawan pandemi terhadap kehidupan penduduk.
Hastag #TinggaldiRumah adalah lebih baik dilakukan untuk menyelamatkan rakyat, tentu dengan berbagai kebijakan yang tidak mematikan lebih banyak penduduk terdampak. Hastag #IndonesiaTerserah juga bukan ungkapan nyinyir selama kesadaran bahaya pandemi virus Covid-19 sungguh dipahami dengan baik,
Semuanya untuk menuju Indonesia Jaya.
25 Mei 2020