BANYUWANGI Beritalima.com – Inflasi di Kabupaten Banyuwangi kembali berhasil mencetak angka terendah se-Jawa Timur. Pada sejumlah periode dalam beberapa tahun terakhir, inflasi Banyuwangi juga pernah tercatat terendah di Jatim. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, inflasi di Banyuwangi pada periode Januari-Maret 2017 mencapai 0,81 persen, tercatat sebagai terendah di Jatim. Inflasi Banyuwangi ini juga di bawah rata-rata nasional yang sebesar 1,19 persen pada periode yang sama.
”Alhamdulillah, inflasi yang rendah dan stabil ini adalah kerja keras bersama Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) dan seluruh pemangku kepentingan. Bank Indonesia (BI) berperan besar membantu kami dalam pengelolaan inflasi, sehingga daya beli masyarakat tetap terjaga,” ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas saat membuka Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) TPID dari lima kabupaten se-eks Karesidenan Besuki dan Lumajang (Sekar Kijang) yang terdiri atas Banyuwangi, Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Lumajang, Rabu (12/4).
Inflasi, sambung Anas, menjadi salah satu indikator makroekonomi yang sangat penting untuk menunjukkan level kesehatan ekonomi masyarakat. Inflasi menunjukkan pergerakan harga yang berkaitan erat dengan kemampuan daya beli masyarakat, sehingga secara tidak langsung inflasi juga mencerminkan level kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah.
”Sebagai pemerintah daerah, yang bisa kami lakukan untuk menekan inflasi adalah menjaga pasokan pangan terkait volatile food. Sebab, yang terkait administered price tidak bisa kami kontrol karena itu kebijakan pusat seperti pengalihan subsidi listrik dan BBM ke sektor produktif yang membuat tarif listrik dan harga BBM naik,” ujar Anas.
Di antara upaya untuk menjaga pasokan pangan adalah meningkatkan infrastruktur pertanian lewat pembangunan dan pemeliharaan sistem irigasi, bantuan benih, pendampingan pertanian, dan pembangunan infrastruktur jalan.
Deputi Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Timur, Taufik Saleh, mengatakan, kinerja ekonomi Banyuwangi cukup layak diapresiasi. ”Pertumbuhan ekonomi Banyuwangi cukup tinggi, dan sekaligus inflasi bisa dijaga di level rendah. Artinya, kesejahteraan warga secara umum cukup baik dan tidak tergerus oleh kenaikan harga-harga atau inflasi,” ujarnya.
Pada 2015, pertumbuhan Banyuwangi sebesar 6,01 persen, di atas rata-rata Jatim yang sebesar 5,49 persen dan nasional 4,8 persen. Pertumbuhan Banyuwangi juga lebih tinggi dibanding kabupaten/kota di sekitarnya. Adapun penghitungan 2016 masih difinalisasi BPS.
Salah satu kunci kinerja ekonomi tersebut, menurut Anas, adalah penguatan sektor ekonomi riil berbasis masyarakat. Dia mengatakan, ekonomi daerah digerakkan oleh tiga hal, yaitu belanja pemerintah, investasi dunia usaha, dan sektor konsumsi. Saat ini, belanja pemerintah cenderung minim karena sedang dilakukan efisiensi. Adapun investasi belum tumbuh signifikan. ”Investasi sekarang juga cenderung padat teknologi. Dulu investasi Rp 1 triliun bisa menyerap 1000 pekerja, sekarang hanya 100 orang, karena sudah semi otomatis,” ujarnya.
Melihat kondisi itu, yang harus dilakukan adalah menggenjot sektor konsumsi masyarakat. Pariwisata menjadi salah satu strategi untuk memacu sektor itu. ”Pariwisata menjadi pengggerak yang efektif, karena sifatnya yang inklusif, berkait langsung dengan banyak sektor konsumsi yang berbasis usaha rakyat, mulai adari makanan, jasa transportasi, pemandu wisata, konveksi, hingga pertanian karena produknya terserap oleh konsumsi wisatawan yang datang. Investasinya murah, tapi perputaran ekonominya besar karena ada jutaan orang yang datang, dan inilah yang menyangga ekonomi daerah,” kata Anas (*/abi)