JAKARTA, Beritalima.com– Sebagai politisi senior, Agun Gunandjar Sudarsa ingin memberikan contoh serta pendidikan politik kepada kader muda Partai Golkar dalam menghadapi Musyawarah Nasional (Munas) partai berlambang Pohon Beringin itu di Jakarta Convention Centre (JCC), 3-6 Desember mendatang.
Kepada Beritalima.com, pertengahan pekan ini, Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI 2014-2019 itu mengatakan, dirinya ingin memberikan legacy terhadap generasi penerus bangsa di partai yang sudah membesarkan nama di kancah politik khususnya di legislatif.
Karena itu, Agun yang sudah tujuh periode tanpa putus dipercaya sebagai wakil rakyat, tidak mau berpangku tangan menunggu siapa yang menjadi Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas nanti. Bahkan anggota Komisi XI DPR RI tersebut ikut bersaing dengan kandidat lainnya dalam memperebutkan posisi orang nomor satu di partai penguasa Orde Baru ini.
Pria kelahiran Kota Kembang, Bandung, 13 September 1958 tersebut memaparkan alasannya dalam kompetisi Munas Partai Golkar ini. “Panitia penyelenggara (Pak Melchias Mekeng-red) memberikan garansi kepada saya, dirinya bakal netral, tak perlu saling halang antara kandidat yang ada,” kata Agun.
Mekeng, kata Agun, memastikan akan berusaha dengan fairness, memberikan ruang pada siapapun untuk bisa berkontestasi dalam munas. Karena munas adalah dengan agenda memilih ketua umum dan menyusun program kerja untuk lima tahun ke depan adalah forum pengambilan keputusan tertinggi yang harus dijalankan secara demokratis.
Karena jaminan ketua penyelenggara yang begitu simpatik, begitu baik, Agun yang dari awal sudah meminta untuk duduk di panitia pengarah, dengan harapan ingin merancang sebuah munas yang betul-betul demokratis, jauh lebih baik dari munas terakhir yang diselenggarakan ketika Nurdin Halid jadi ketua steering, saya jadi sekretaris steering.
Dikatakan Agun, sebenarnya Munas terakhir itu dilakukan sebuah mekanisme yang demokratis dan konstitusional. Bahkan bersih dan rekonsiliatif, sehingga proses dukungan pencalonan pada waktu itu dilakukan di bilik suara munas.
Ketika saya ditempatkan jadi wakil sekretaris penyelenggara, kata Agun, ya saya merasa tidak bisa berkontribusi maksimal, sehingga pada saat saya tetap ingin berkontribusi, karena saya berada pada posisi netral sebab bukan pengurus partai dan fraksi.
Agun hanya jadi anggota DPR. Dia tidak mau dalam kondisi seperti ini. Jadi, dari pada menjadi wakil sekretaris penyelenggara dan tidak melakukan apa-apa, Agun memutuskan, ikut berkontestasi dan mundur dari kepanitiaan munas.
“Kesempatan itu sekaligus dijadikan Agun mendeklasikan diri sebagai caketum, dengan harapan dukungan 30 persen itu akan dilihat dengan kontestasi setelah pendaftaran, verifikasi calon, kemudian dia mengadakan debat. Dulu kan ada debat. Pada waktu menjelang penjaringan ada penyampaian visi dan misi. Baru para pemilih dipersilakan masuk ke bilik suara,” kata Agun.
Dijelaskan, munas sebagai pemegang kedaulatan tertinggi hanya bisa memberikan garansi dan harapan ke depan kalau mekanisme demokrasi itu dijalankan dengan sebenar-benarnya.
Kalau tidak secara demokratis, politik oligarki dan pragmatisme yang selama ini terjadi itu akan terus berlangsung. “Kalau bicara oligarki, pragmatisme maka politik negara dalam rangka pemberantasan korupsi itu menjadi nihil. Korupsi tak akan pernah hilang kalau parpol masih juga oligarki dan pragmatisme,” demikian Agun Gunandjar Sudarsa. (akhir)