Ini Pendapat Ahli Pidana Unair di Kasus Sri Endah Mudjiati dengan The Tomy

  • Whatsapp

SURABAYA – Sapta Aprilianto, dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) didatangkan sebagai ahli hukum pidana pada sidang kasus dugaan kejahatan terhadap ketertiban umum dengan terdakwa Sri Endah Mudjiati. Kamis (6/3/2025). Sapta menjelaskan tentang pasal 167 KUHP dan Pasal 385 KUHP.

Menurutnya, Pasal 167 Ayat 1 menerangkan tentang kejahatan terhadap ketertiban umum terhadap pelaku penyerobotan. Sedangkan Ayat ke 2 merupakan ke khususan dari Ayat 1.

Sifat melawan hukum dalam pasal 167 ini adalah memaksa masuk. Contoh. Seseorang memaksa masuk kedalam rumah meski sudah ada larangan.

“Sedangkan berada disitu secara melawan hukum, contohnya, ada dosen yang masih tinggal atau menempati perumahan kampus meski statusnya dia sudah pensiun,” katanya di ruang sidang Kartika 2 Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.

Ditanya oleh kuasa hukum terdakwa, apakah seseorang bisa disangka dengan Pasal 167, jika seseorang itu tidak pernah memaksa masuk, karena orang itu sudah menempati tanah itu puluhan tahun sebelumnya? Sapta menjawab
tidak bisa disangka.

“Jika dia tidak memaksa maka tidak bisa disangka dengan pasal 167,” jawab Sapta.

Ditanya oleh Ketua Majelis Hakim, apakah ada sifat melawan hukum, jika misalnya ada seorang dosen tidak mau keluar dari rumah dinas setelah dia pensiun, karena tidak ada klausul dia harus keluar dari rumah dinas setelah pensiun? Sapta pun menjawab tidak.

Sapta juga menyebut, pasal 167 belum bisa diterapkan terhadap proses Jual Beli yang belum sempurna,

“Dalam hal ini harus ada putusan yang mengukuhkan hak lebih dulu. Makanya 167 sering menjadi seolah-olah menjadi delik tentang kejahatan tanah,” sebutnya

Itu putusan apa? Tanya ketua majelis hakim.

“Putusan terkait dengan pengukuhan hak,” jawab Sapta.

Apakah itu berupa putusan Pengadilan? Desak ketua majelis hakim.

“Ya,” jawab ahli Sapta.

Dalam sidang, Sapta membenarkan klaim dari penasihat hukum terdakwa tentang masuk kategori ranah Prejudiciel Geschill dan laporan pelanggaran pasal 167 tidak bisa dijalankan ketika di ilustrasikan Si A berada di tanah Si B dan si B melaporkan 167 terhadap A, namun dilain sisi si A menggugat si B tentang hak si A di tanah tersebut.

“Masuk dalam Prejudiciel Geshil dan sangkaan Pasal 167nya tidak bisa dijalankan, kalau tidak ada putusan Pengadilan,” jawab Sapta.

Bagaimana kalau terlapor 167 kasus tanah tidak mengajukan gugatan untuk meminta putusan, apakah tetap berpedoman pada sertifikat itu atas nama siapa, ataukah berpedoman kepada siapa yang lebih dulu menguasai obyek.

“Secara normatif dan obyektif. Tentu si A kalau dia bisa membuktikan dia mempunyai hak,” jawab ahli.

Bilamana terjadi Jual Beli dari A kepada B lebih dulu dibanding A kepada C. Sebetulnya uang dirugikan itu siapa?

“Yang dirugikan tentu adalah A,” jawab Sapta.

Sementara tentang penjelasan Pasal 385 KUHP, Sapta mengungkapkan kalau pasal ini dikhususkan untuk barang tidak bergerak atau tanah. Atau delik yang berkaitan dengan penjualan tanah secara melawan hukum.

“Kehedak dari si pelaku dalam pasal ini adalah mendapat keuntungan dari hasil penjualan tanah yang diketahui sudah bukan menjadi hak dari pelaku,” ungkapnya.

Contoh si A menjual 2 kali terhadap satu obyek tanah. Selain dijual kepada si B juga dijual kepada si C.

“Dengan catatan antara A dan B sudah terjadi Jual Beli. Lalu dijual lagi. Kalau misalnya sebelumnya tidak ada jual beli antara A dan B maka tidak masuk dalam klarifikasi pasal 385. Jual Beli yang Sah itu artinya memenuhi proses Jual Beli yang ditentukan undang-undang,” lanjutnya.

Sapta lantas menjawab tidak jadi masalah ketika ditanya oleh kuasa hukum terdakwa, apakah seseorang bisa disangka Pasal 385 KUHP, jika misalnya seseorang itu mempunyai tanah seluas 1 hektar. Ternyata yang seperempat hektar di jual kepada orang lain dan yang seperempat hektar lagi dia jual kepada orang lain lagi.

“Prinsip penjual tanah harus ada pembayaran dari pembeli kepada penjual, proses jual belinya harus jelas sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku,” jawab Sapta.

Ditanya oleh penasihat hukum terdakwa, dalam perkara ini ada Jual Beli antara A dan B, tapi tidak ada Akta, hanya ada bukti transfer dan kwitansi saja di tahun 2011. Lalu di tahun 2016 keseluruhan tanah itu dijual kepada si C dan ada Aktanya.

Apakah perbuatan si A ini dapat dikualifikasikan melanggar Pasal 385 Ayat I KUHP.

“Kalau si A menjual kepada si B tidak sempurna. Lalu obyeknya dijual kepada si C sempurna. Maka yang diakui Jual Beli Aktanya si C. Sebab yang sempurna adalah A dan C. Itulah tang dimaksid frasa menjual dalam pasal 385 KUHP,” pungkas Sapta, ahli pidana dari Unair. (Han)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait