Ini Penjelasan dan Praktek Taksir Pajak Bapenda Banyuwangi yang Menuai Kontroversi

  • Whatsapp

BANYUWANGI, beritalima.com – Tentang nilai taksir tanah dan bangunan yang dinilai cukup mencekik ‘Wong Cilik’, Pelaksana Tugas (Plt) Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Banyuwangi, Jawa Timur, Nafiul Huda S Sos Msi, langsung angkat bicara. Menurutnya, penaksiran harga tanah dan bangunan yang berlipat ganda dari harga dilapangan tersebut dilakukan sesuai peraturan yang berlaku.

“Dasar peraturan BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 dan terakhir dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Perda (Peraturan Daerah) Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak BPHTB dan Perbup (Peraturan Bupati) Nomor 5 Tahun 2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Perda Nomor 8 Tahun 2010,” katanya, Kamis (24/8/2017).

Disebutkan, dalam transaksi jual beli, Bapenda Banyuwangi, menerapkan pajak sesuai Pasal 5 angka 2 huruf a, Perda Nomor 8 Tahun 2010. Disitu berbunyi bahwa pajak BPHTB jual beli tanah dan bangunan disesuaikan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) atau harga transaksi.

Selanjutnya, Bapenda melakukan penelitian kebenaran perhitungan pajak BPHTB yang meliputi komponen NPOP dan lainnya dari Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) yang dibuat masyarakat atau Wajib Pajak (WP). Jika dirasa memberatkan, masih Nafiul Huda, WP bisa mengajukan permohonan keringanan seperti yang tertera dalam Pasal 16 dan 17, Perda Nomor 8 Tahun 2010. Pada Pasal 16, dijelaskan bahwa keberatan diajukan secara tertulis dan disertai alasan yang jelas dan diajukan maksimal tiga bulan sejak tanggal tanggal pemungutan. Dalam mengajukan permohonan keringanan, WP juga wajib membayar sesuai nominal yang disepakati. Dan apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi, maka keberatan WP tidak akan dipertimbangkan oleh Bapenda Banyuwangi.

Tapi dari penelusuran dilapangan, salah satu masyarakat atau WP, mengaku bisa langsung melakukan negoisasi besaran pajak BPHTB, tanpa harus memenuhi persyaratan apapun. Tapi dilakukan melalui perdebatan sengit.

Versi Bapenda Banyuwangi, melalui Nafiul Huda, jika terdapat keberatan dari masyarakat, pihaknya akan menindaklanjuti dengan pemeriksaan.

“Sesuai Pasal 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35 dan 36, Perbub Nomor 5 Tahun 2016 dan hasil dari putusan keberatan tersebut jika WP masih merasa tidak puas, maka dapat mengajukan banding, seperti yang diamatkan dalam Pasal 18 dan 19 Perda Nomor 8 Tahun 2010,” jelasnya.

Ketika dikonfirmasi tentang acuan penaksiran harga tanah dan bangunan, yang melambung hingga dua kali lipat lebih dari harga sebenarnya, Plt Bapenda Banyuwangi, enggan menjawab. Menurutnya, untuk masalah teknis pelaksanaan, pihaknya tidak bisa menyampaikan prosedur secara gamblang pada masyarakat luas.

“Karena ada batasan kententuan bagi pejabat dalam menjalankan peraturan perpajakan, sesuai Pasal 29 dan 33, Perda Nomor 8 Tahun 2010,” ungkapnya.

Seolah berlindung dibalik aturan, Nafiul Huda juga menyampaikan ‘Warning’ bahwa bagi WP, baik karena kealpaan maupun sengaja memberikan keterangan yang tidak benar, sehingga merugikan keuangan negara dapat dipidana. Seperti yang tertera dalam Pasal 38 dan 39 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, serta Pasal 31 Perda Nomor 8 Tahun 2010.

“Bagi pihak ketiga selain pejabat perpajakan dan WP dapat juga dikenakan sanksi,” cetusnya.

Nafiul Huda menambahkan, ranah Bapenda Banyuwangi, adalah konsultasi langsung masyarakat atau WP, bukan melalui perwakilan atau kuasa. Saat terjadi keberatan, petugas akan turun ke lapangan. Ketika bukti keberatan WP diterima akan diteruskan, begitu pula disaat bukti keberatan merupakan kebohongan, maka Bapenda Banyuwangi, akan memproses lebih lanjut.

Informasi masyarakat, dalam pengurusan pajak BPHTB, WP memproses via online melalui Notaris maupun Kecamatan dan dari situ Bapenda Banyuwangi, membalas dengan harga penaksiran tanpa dibarengi dengan peninjauan lapang. Itu yang menjadi tanda tanya besar dimasyarakat. Yakni, bagaimana bisa Bapenda Banyuwangi, melakukan penaksiran saat tidak melakukan peninjauan lapangan sama sekali. Padahal, harga tanah dan bangunan ditiap daerah berbeda-beda.

Seperti diberitakan sebelumnya, aturan nilai taksir tanah dan bangunan yang diterapkan oleh Bapenda Banyuwangi, dikeluhkan. Taksiran yang ditentukan petugas jauh diatas Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), dan itu dinilai sangat mencekik bagi wong cilik. Apalagi penaksiran harga oleh Bapenda tersebut adalah acuan pembayaran pajak BPHTB), yang merupakan syarat pengurusan sertifikat tanah.

Salah satu contoh, seperti yang dialami Syaifudin, asal Kecamatan Kabat. Dari tanah miliknya, seluas 6.069 meter persegi, dengan nilai NJOP Rp 20 ribu per meter persegi, tanahnya dihargai Rp 121.380.000,-. Namun oleh petugas Bapenda harga ditaksir sampai nilai melambung dua kali lipat lebih. Diangka Rp 303.450.000,-. Tak pelak, pajak BPHTB yang ditanggung Syaifudin membengkak menjadi Rp 12.172.500,-. Jika penghitungan pajak BPHTB berdasar NJOP, seharusnya biaya yang harus dibayar tidak sebesar itu.

Dengan kondisi ini, masyarakat berharap pemerintah lebih bijak dalam menerapkan aturan nilai taksir. Apalagi saat ini Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, sedang getol menyuarakan kemudahan dan percepatan pengurusan sertifikasi tanah. (Abi)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *