Ini Penjelasan Saksi Ahli Soal Gugatan King Finder Wong Terhadap Harijana

  • Whatsapp

SURABAYA – beritalima.com, Dr. Mohammad Sumedi S.H. M.H dari fakultas hukum Universitas Airlangga (Unair) menjadi saksi ahli bagi King Finder Wong dalam perkara perdata dengan Harijana terkait PT Alimij.

Banyak hal yang dijelaskan Dr. Sumedi dalam persidangan ini tentang Perseroan Terbatas atau PT. Juga tentang surat penunjukkan pelaksanaan tugas Direktur PT Alimiy yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Serta tentang penetapan Pengadilan Negeri Surabaya nomor 1734/Pdt.P/2021/2021.

Terkait surat kuasa yang diberikan Direktur sebuah Perseroan Terbatas (PT) yang telah berakhir masa jabatannya. Menurutnya tidak sah surat kuasa yang diberikan. Karena sejak habis masa jabatannya maka si pemberi kuasa sudah tidak mempunyai hak lagi untuk bertindak dan atas nama PT,” katanya di ruang sidang Tirta 1 PN. Surabaya. Rabu (3/5/2023).

Dr. Sumedi juga menjelaskan, kalau seorang pemegang saham pada suatu PT meninggal dunia, maka sahamnya akan jatuh pada ahli waris. Akan tetapi kata Dr. Sumedi menurut UU tentang PT, ahli waris tersebut bukan pemegang saham, sehingga dia tidak diperbolehkan memberikan kuasa untuk dan atas nama PT melakukan perbuatan tertentu.

“Tidak boleh dia serta merta bertindak untuk dan atas nama PT. Dia harus memenuhi persyaratan sebagai ahli waris pemegang saham lebih dulu. Dia harus mengurus dokumennya dulu bahwa dia memang ahli waris dari si pemegang saham yang sudah meninggal dunia, lalu dengan dokumen itu dia mintakan penetapan hukum tentang ahli waris,” sebutnya.

Setelah penetapan itu selesai, sambung Dr. Sumedi, kemudian dia memberitahukan kepada Direksi sesuai dengan Pasal 56 bahwa dia adalah ahli waris dari si pemegang saham yang sudah meninggal dunia. Kemudian berdasarkan dokumen itu, si Direksi ini mendaftarkan namanya sebagai pemegang saham yang ada di perseroan.

“Setelah namanya tercatat, disitu ada kewajiban dari UU PT kepada Direksi untuk kemudian memberitahukan kepada Kementrian Hukum dan HAM agar namanya dicatat dalam daftar perseroan agar terjadi perubahan daftar perseroan namanya. Jadi daftar perseroan itu berubah karena ada pemberitahuan dari Direksi. PT Harus melampirkan akta tentang perubahan susunan pemegang saham. Setelah itu baru dia berstatus sebagai pemegang saham,” tandasnya.

Setelah resmi berstatus sebagai pemegang saham, lanjut Dr. Sumedi, maka hak-hak yang diberikan oleh PT misalnya hak untuk mengajukan permohonan kepada pengurus supaya diberikan ijin untuk menyelenggarakan RUPS.

“Dia masih calon pemegang saham. Jadi harus melalui proses dulu. Baru kemudian hak-haknya itu timbul,” lanjutnya.

Terkait Hakim Pengadilan Negeri Surabaya kurang teliti dalam permohonan izin penyelenggaraan RUPS yang diajukan oleh para pemegang saham PT Alimy.

Menurut Dr. Sumedi, berdasarkan undang-undang, PT itu mempunyai identitas yang wajib dicatat dalam Anggaran Dasar. Dan nama yang dipakai itulah identitas dari suatu PT tersebut.

“Kalau nama itu berubah penulisannya, maka yang harus dilihat adalah dokumen hukum anggaran dasar dari PT itu penulisannya seperti apa, bukan karena kelaziman pelafalan, namu dokumen hukumnya harus dicek anggaran dasarnya yang mana yang benar penulisannya,” katanya.

Seandainya permohonan itu diberikan persetujuan, meskipun permohonannya tidak sesuai dengan tulisan yang ada di dalam anggaran dasar. Maka hakim saya nilai kurang teliti.

“Yang salah adalah yang menyalahgunakan penetapan itu. Karena penetapan hakim itu hanya berlaku bagi yang diberikan penetapan. Kalau yang diberikan izin itu misalnya huruf Snya saja yang besar terus yang lainnya kecil, sementara yang benar hurufnya besar semua, maka itu tidak boleh dipakai,” tandasnya.

Menurut Dr. Sumedi, dalam Pasal 15 UU PT disebutkan yang harus dicantumkan di dalam Anggaran Dasar salah satunya adalah nama PT. Kemudian dalam pasal 21 kalau PT itu mau merubah nama Perseroannya, maka perubahan nama itu termasuk dalam perubahan Anggaran Dasar yang harus mendapat persetujuan menteri.

Resiko pertama kalau mau melakukan perubahan nama Perseroan adalah Direksi yang sah berdasarkan Pasal 82 harus melakukan undangan RUPS. Dalam RUPS itu pun masih akan dihitung dulu quorum apa tidak, kalau sudah memenuhi quorum baru diambil keputusan.

Pengambilan keputusan itu pun harus dengan musyawarah mufakat. Seandainya tidak tercapai kesepakatan maka harus harus dengan voting. Kalau tahapan ini sudah, baru di notariskan, setelah itu dimohonkan persetujuan kepada Menteri Hukum dan HAM.

Seandainya pemegang saham belum terdaftar sebagai pemegang saham, kemudian direksi dan komisaris demisioner, pemegang sahamnya juga meninggal dunia, sementara yang ada hanya pemegang saham minoritas dan kurang dari 10 persen, kalau semuanya seperti itu maka Hakim yang akan memberikan solusi

“Undang-undang PT itu tidak mengatur kalau semua Direksinya demisioner. Jatuhnya pada Dewan Komisaris, tinggal tergantung pada pemegang saham, karena ada Pasal 91. Pasal 91 itu pengambilan keputusan oleh Pemegang Saham di luar RUPS, Pasal 80 baru bisa dilakukan kalau Pasal 79 ada. Pasal 91 itu mensyaratkan jika Direksi tidak segera menyelenggarakan RUPS sebagaimana diminta oleh para pemegang saham,” paparnya.

Pasal kewenangan penyelenggaraan itu sesuai Pasal 79 di serahkan kepada Dewan Komisaris mengingat batas waktu 15 hari untuk penyelenggaraan itu, kalau Dewan Komisaris juga tidak menyelenggarakan maka muncul Pasal 80. Pasal 80 itu memberikan legal standing kepada para pemegang saham khususnya yang minoritas untuk melakukan permohonan kepada Pengadilan Negeri setempat untuk memberikan izin menyelenggarakan RUPS

Ditanya oleh kuasa hukum King Finder Wong, Eduard Rudy terkait masalah seseorang di luar perseroan yang dalam hal ini tidak dikenal sebelumnya, lalu tiba-tiba mendapatkan kuasa mutlak untuk mengelola, membantu mengurus PT.

Apakah tanpa pemberitahuan kepada pemegang saham lain si orang lain itu boleh masuk ke kantor PT, kemudian mengambil dokumen bahkan menampilkannya dalam persidangan,?

Ahli menjawab, undang-undang PT hanya memperkenankan kuasa direksi, yang memberikan kuasa itu adalah direksi. Sementara kalau yang memberikan kuasa adalah keluarga yang sudah berakhir masa jabatannya. Maka tidak mungkin dia memberikan kuasa mutlak.

Kalau yang memberikan kuasa itu adalah pemegang saham itu dia juga tidak ada dasar hukumnya. Jadi kalau badan hukum memakai yang boleh bertindak atas nama PT adalah direksi kalau kuasa mutlaknya sendiri sudah tidak sah berarti semua perbuatan hukum yang dilakukan berdasarkan buat surat kuasa yang tidak sah tadi maka berarti tidak sah semua. (Han)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait