SURABAYA, beritalima.com – Sekjen DPP Persatuan Advokat Republik Indonesia (PARI), Lutfi Qomaruzzaman, meminta Presiden Joko Widodo, melalui Menteri Hukum dan Ham dan Komisi III DPR RI,untuk mencabut kalimat dalam pasal 281 huru b dan pasal 282 huruf B, Rancangan Undang Undang (RUU) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), kemudian direvisi.
Alasannya, karena pasal tersebut dinilai mendiskriminasikan advokat dalam mengawal tegaknya hukum dan sangat bertentangan dengan Undang Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
“Khususnya pasal 5. Avokat sebagei profesi penegak hukum, punya kedudukan sejajar dengan penegak hukum lain. Baik, Polri, kejaksaan, maupun kekuasaan kehakiman. Hanya saja tugas dan kewenangannya yang berbeda. Kemudian, sangat bertentangan dengan pasal 16, advokat dalam menjalankan profesinya baik di dalam pengadilan tidak bisa dituntut pidana dan perdata,” terang Lutfi.
Kemudian, lanjutnya, juga diatur dalam pasal 28. Yakni advokat adalah profesi yang bebas dan mandiri. Artinya, dalam mengawal tegaknya hukum, tidak boleh diintervensi atau dicampuri oleh penegak hukum maupun eskutif, legillatif, yudikatif.
“Terkait pasal 281 huruf b yang berbunyi, bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang interigitas hakim dalam persidangan, menurut saya pasal tersebut hanya sebatas norma kesopanan dan kalimatnya tidak ada unsur unsur perbuatan pidana,” tandasnya.
Berikutnya, papar Lutfi, pasal 282 hurub b yang berbunyi, mempengaruhi panitera panitera penganti ,juru sita, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara atau, tanpa imbalan, pasal tersebut dalam kalimatnya juga belum ada unsur unsur perbuatan pidana, dan seakan akan profesi advokat tertuduh.
“Padahal RUU KUHP itu pidana umum yang diawali kalimat barang siapa, atau setiap orang sebagai subyek hukum yang melakukan perbuatan yang dapat diancam pidana. Dalam pasal 282 huruf b RUU KUHP, menurut saya, ini pasal yang menjatuhkan martabat advokat sebagai salah satu catur wangsa penegak hukum, dan kurang menghormati advokat yang mempunyai predikat officium nobile,” dalihnya.
Pasal tersebut, dinilai sangat bertentangan dengan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur tentang penegakan hukum, baik kewenangan, penyidik, jaksa penuntut umum, dan advokat sebagai penasehat hukum dan kekuasaan kehakiman dalam mengadili.
Sedangkan kekuasaan kehakiman, urainya, sudah diatur mulai dikontitusi, pasal 24 UUD 1945, kemudian Undang Undang Nomogq 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kemudian hakim dalam mengadli juga diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma). Termasuk Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema).
“Menurut saya, pasal dalam pasal 281 huruf b tidak ada ancaman hukuman, sebagai norma kesopanan,dan untuk pasal 282 huruf b RUU KUHP dicabut dan direvisi seperti usulan kami. Kalimat dalam pasal harus tersusun rapi dan unsur unsur perbuatan pidana jelas termuat secara normatif. Yakni barang siapa dengan sengaja mempengaruhi proses persidangan dengan cara memberikan uang atau sesuatu barang baik bergerak atau yang tidak bergerak, yang bertujuan untuk mempengaruhi proses hukum atau putusan atau untuk meringankan atau membebaskan dari segala tuntutan dan atau hukuman, baik secara langsung atau tidak langsung baik sendiri sendiri atau bersama sama atau melalui perantaranya, diancam dengan pidana suap paling sedikit 5 tahun penjara. Ayat 1, jika si penerima suap berupa uang atau barang baik benda bergerak atau tidak bergerak karena dalam jabatannya, maka di ancam dengan pidana khusus,dengan pemberatan,” tandasnya.(red/editor: Dibyo).