BANDUNG, beritalima.com- Dalam Omnibuslaw Cipta Kerja, ada sekitar 79 UU dengan 1.244 pasal yang akan dirampingkan ke dalam 15 BAB dan 174 pasal dan menyasar 11 klaster di undang-undang yang baru.
Ada 11 klaster yang masuk dalam undang-undang ini termasuk: Penyederhanaan Perizinan; Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan; Kemudahan Berusaha, Pemberdayaan dan Perlindungan UMKM; Dukungan Riset dan Inovasi; Administrasi Pemerintahan; Pengenaan.
Sanksi, Pengadaan Lahan, Kemudahan Investasi dan Proyek Pemerintah; serta Kawasan Ekonomi Khusus. Lantas. Dari mulai perencanaan hingga pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini syarat akan kecacatan, terutama sekali dalam aspek hukum formil dimana dalam Pasal 5 huruf G dan juga Pasal 96 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dalam UU No. 15 Tahun 2019, yang mengatur terkait dengan asas keterbukaan pembentukan perundang-undangan dan juga mengatur terkait dengan pertisipasi masyarakat sama sekali tidak dihiraukan RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Dari awal sampai hari ini, pemerintah tidak pernah memberikan transparansi informasi kepada masyarakat luas khususnya kaum buruh terkait rencana perancangan Omnibus Law.
Padahal menurut perundang-undangan yang berlaku, masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang utuh dan jelas. Kebutuhan pembentukan Omnibus law bukan datang dari usulan masyarakat, tetapi semata-mata datang dari arena elit yang menghendaki adanya satu regulasi khusus untuk lebih melindungi investasi modal mereka di Indonesia dan menyingkirkan segala hal yang menghambatnya.
“Alih-alih merampingkan perundang-undangan skema Omnibus Law, justru malah akan melahirkan banyak peraturan pelaksanaan yang baru,” kata ketua GMKI, Iriyanti Simanjuntak, salah satu anggota Aliansi Cipayung.
Pada akhirnya, jumlah yang besar ini membuktikan bahwa hipotesis Pemerintah tentang efektivitas RUU Cipta Kerja sebagai cara menyelesaikan tumpang tindihnya regulasi di Indonesia tidak terbukti. Sementara itu isu Ketenagakerjaan serta Perkotaan dan Masyarakat Urban didalam Omnibus Law hanya akan melahirkan ketidakadilan berupa pengorbanan hak-hak pekerja demi akumulasi kapital, penghilangan hak-hak pekerja perempuan, menghapus hak-hak cuti pekerja, mendukung politik upah murah, membuka ruang PHK massal, hingga penghapusan pidana perburuhan.
Selain itu, diskriminatif dalam pelaksanaan hukum, semakin banyaknya penggusuran, hingga potensi memperparah pelanggaran tata ruang dan alih fungsi zona. hal itu adalah implikasi lain yang bakal terjadi akibat pengesahan Omnibus Law dalam isu perkotaan dan masyarakat urban.
“Omnibus Law ini akan menggusur semua kepentingan rakyat tanpa terkecuali. Buruh status kerja / hubungam kerja, waktu kerja, pengupahan, PHK dan pesangon, tenaga kerja, serta sanksi. Memang menjadi klaster tersendiri yang dibahas dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Akan tetapi, dalam klaster pengadaan lahan, rakyat di sudut mana saja pun akan terancam kedaulatannya dalam mengelola tanah. Tanah yang selama ini dimanfaatkan untuk pertanian, peternakan, perumahan rakyat, akan ditumbalkan demi kepentingan investasi. Sehingga tidak ada jaminan bahwa apa yang kita punya saat ini akan dapat terus kita pertahankan,” tandasnya.
Logika pembangunan yang gampang mengusir rakyat dari tanahnya saat ini sudah menyumbang 70 konflik tanah di atas lahan seluas 10.603 ha pada awal kebijakan pembangunan. Kemudahan izin lokasi yang mempermudah penggunaan lahan yang luas juga menghantarkan konflik yang tidak sedikit sampai 175 kasus konflik selama 2015 konflik dari usaha perkebunan menempati urutan pertama karena luas konflik mencapai 302.525 ha (data KPA).
Ini merupakan sebuah momentum pertaruhan kekuatan yang memiliki kepentingan segenap rakyat yang dipelopori oleh kaum buruh dan kepentingan penguasa yang mengabdi pada investor dalam maupun luar negeri.
“Kepentingan kita jelas berbeda. Mereka mencari keuntungan dengan menghisap semua sumber daya Indonesia, sedangkan kita berkepentingan menjaga dan memajukan kepentingan rakyat menuju kesejahteraan dengan jalan yang dapat dilalui, diikuti, dan dikawal sendiri oleh rakyat. Bagi kami sudah cukup untuk menghadang gempuran kepentingan investor yang diprioritaskan oleh pemerintah,” tegasnya.
Atas dasar pertimbangan diatas Alisansi Cipayung Kota Bandung bersikap dan menuntut, menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang sejatinya menjadikan Indonesia yang terus tergantung dengan ttang dan investasi.
Menuntut Ketua DPR RI dan Presiden RI untuk bertanggung jawab atas hilangnya demokrasi di Indonesia. Jalankan segera reforma agrarian sejati dan industrialisasi nasional.
Untuk diketahui, anggota Aliansi Cipayung diantara Ketua GMKI Iriyanti, Simanjuntak,Ketua GMNI, Rafi, ketua PMII, Iqbal Moch, danKetua PMKRI, Lionk. (Red).