SURABAYA, beritalima.com|
Sejumlah media mengabarkan bahwa Bank Indonesia menaikkan suku bunga sebesar 0,25 persen yakni dari 5,25 persen menjadi 5,55 persen. Merespons hal tersebut, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Rossanto Dwi Handoyo SE MSi PhD menjelaskan beberapa dampaknya.
“Hal ini berkaitan erat dengan moneter dan perbankan. Apalagi naiknya suku bunga yang ditetapkan bank sentral sangat penting sebagai strategi investasi,” ujar Rossanto.
Dalam hal itu otoritas moneter adalah bank sentral yang dapat mengubah besaran moneter dan suku bunga serta pelaksanaannya di berbagai lembaga keuangan.
Berdampak pada Interest rate Pinjaman (Kredit) dan Tabungan (Deposit).
Dosen sekaligus konsultan di bidang ekonomi keuangan dan perdagangan mengatakan interest rate atau suku bunga mencerminkan harga pinjaman di negara tersebut.
“Kalau suku bunga mahal, maka pinjaman mahal dan begitupun sebaliknya. Hal ini untuk mengurangi gelembung ekonomi. Sebab misalnya ketika pemerintah menurunkan suku bunga, maka nasabah ingin meminjam dana dari bank kemudian tidak jarang untuk berperilaku konsumtif,” katanya.
Selain itu suku bunga tetap KPR atau kredit yang diberikan bank kepada seorang yang hendak membeli rumah dengan mencicil. Senada dengan kenaikan suku bunga Bank Indonesia, artinya jika sebelumnya suku bunga KPR sebesar 11 persen, akan naik menjadi 11,25 persen.
“Tetapi bank mencari interest margin paling gede. Mereka akan untung kalo ada selisih antara suku bunga pinjaman dan tabungan,” jelas Rossanto.
Inflasi Menurun
Menurut Rossanto indikasi adanya lonjakan kenaikan suku bunga di beberapa negara maju juga sebagai alarm Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Kemudian beban utang pemerintah berpotensi meningkat. Sebab banyaknya utang pemerintah dalam bentuk mata uang asing. Di samping itu, inflasi telah naik 10 persen, untungnya inflasi itu diredam oleh bank sentral dengan menaikkan suku bunga, sehingga uang di pasar atau masyarakat diserap oleh bank sentral.
“Inflasi di atas 4 persen ini sudah dekat dengan target. Dulu Indonesia masih tiga persen sehingga perlu diredam dengan menaikan suku bunga dan menjaga harga permintaan pasar,’’ terang Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Unair itu.
Capital Outflow (Pelarian Modal)
Selanjutnya kenaikan suku bunga bank sentral di negara maju seperti Amerika akan berpengaruh pada aliran modal keluar asing (capital outflow) di tengah depresiasi rupiah. Dosen FEB Unair itu menjelaskan saat suku bunga di Indonesia meningkat, sementara negara paman sam atau Amerika sedang rendah. Maka dana akan masuk ke bursa saham Indonesia sehingga banyak investor luar masuk Indonesia. Begitu pun sebaliknya.
“Misal Amerika melakukan kenaikan suku bunga, maka akan ada perpindahan dana dari Indonesia ke Amerika tersebut. Inilah yang disebut capital outflow,” sambungnya.
Rossanto menegaskan meski dampaknya tidak dirasakan langsung oleh masyarakat. Akan tetapi inilah alasan BI menaikkan suku bunga yakni untuk meredam capital outflow terus menerus ke luar negeri. (Yul)