Bojonegoro – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro dalam hal ini Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali melakukan rapat koordinasi terkait dengan rencana penertiban pengelolaan sumur minyak tua ilegal yang ada di Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro, Selasa (15/11/2016).
Dalam rapat koordinasi tersebut dihasilkan, penertiban sumur minyak tua yang ada di Kecamatan Kedewan tersebut rencananya akan difokuskan pada pelaku penambang, penyuling dan perengkek yang berasal dari luar daerah Kecamatan Kedewan. “Penertiban ini bersifat represif sebagai upaya terakhir,” kata Kepala ESDM Kabupaten Bojonegoro, Agus Supriyanto.
Dari hasil validitas data yang diperoleh, jumlah penambang, perengkek maupun penyuling di sumur tua lebih banyak berasal dari luar daerah. Jumlah perengkek yang berasal dari Kecamatan Kedewan sendiri sebanyak 71 orang, sedangkan dari luar Kedewan sebanyak 137 orang. Sementara sebanyak 55 orang merupakan investor luar daerah yang ikut dalam pengelolaan sumur tua.
Sedangkan untuk penyuling atau dapu pengelola minyak pada akhir tahun 2015 lalu sebanyak 385 penyuling, sedangkan saat ini jumlahnya menurun menjadi 180 penyuling yang sebagian merupakan pelaku yang berasal dari luar daerah Bojonegoro. Saat ini jumlah sumur minyak di Kedewan sebnayak 725 sumur dengan jumlah penambang sekitar 2.500 orang.
“Setelah pendataan ini, tanggal (23/11/2016) akan dilakukan sosialsisasi terkait aspek keamanan dan ketertiban, lingkungan, angkutan tentang migas di jalan, dan aspek tata kelolola migas,” jelasnya.
Rencananya sosialisasi tersebut akan dilakukan di Desa Hargomulyo, dengan melibatkan sekitar 130 orang dari tokoh pemuda, masyarakat, pemerintah desa, penambang, perengkek dan penyuling. Sosialisasi ini diharapkan menjadi penertiban tidak perlu dilakukan, namun jika masih terdapat penambang, penyuling maupun perengkek yang berasal dari luar daerah pihaknya mengaku terpaksa harus melakukan penertiban.
“Penertiban ini merupakan warning terhadap investor dari luar, perengkek dari luar, penambang dari luar, untuk berhenti dari pengelolaan sumur tua di Wonocolo,” ungkapnya.
Penertiban yang dilakukan ini merupakan upaya menyejahterakan warga sekitar penambangan sumur minyak tua di Wonocolo. Sehingga pelaku penambang, penyuling dan perengkek yang beasal dari Kecamatan Kedewan nantinya akan tetap bisa beroperasi. “Kegiatan pengelolaan sumur tua tetap jalan dengan dikelola oleh orang-orang sekitar,” terangnya.
Sedangkan untuk perengkek hanya diperbolehkan beroperasi di wilayah sekitar pengeboran saja. Yakni untuk pengangkutan minyak dari mulut sumur ke penyulingan. Penyulingan sendiri nantinya juga akan mendapat pelatihan dari Pertamina EP Asset 4 sebagai pemilik wilayah kerja pertambangan (WKP).
“Jadi hasil penyulingannya tidak dijual ke luar tapi di setor ke Pertamina EP Asset 4,” pungkasnya.
Sementara menurut Field Manager Cepu Asset-4, Agus Amperianto, para pelaku kegiatan illegal refinery dan perengkek luar Bojonegoro kerap beralasan memanfaatkan sumur tua, namun nyatanya sumur tua itu hanya jadi alibi dan jembatan memperoleh ijin/legal standing, sedangkan oknum pengurus KUD/Paguyuban hanya memanfaatkannya untuk penampungan minyak illegal di wilayah kerja yg diijinkan.
“Sedangkan tujuan utamanya tidak menyerahkan hasil produksinya ke Pertamina melainkan dijual ke penadah/trader atau penyuling illegal. Eskalasi pencurian dan penjualan illegal pun semakin meningkat,” jelas Agus Amperianto.
Agus Amperianto melihat bahwa kecenderungan aksi ini harus dilakukan dengan melakukan pendekatan secara persuasif, keamanan, sosial dan ekonomi harus dilakukan secara pararel. “Saya juga yakin, aksi pencurian, penadahan dan penyulingan minyak illegal ini dan berbagai kendala di sektor hulu migas ini tidak akan terjadi, apabila kita tegas,” ungkapnya.
Artinya, lajut dia, pihaknya berharap adanya kerja sama antara Pertamina, Pemkab dan Aparat Keamananan (Kepolisian dan TNI) untuk bahu membahu membersihkan kegiatan pengelolaan sumur minyak tua illegal. “Bahwa sebenarnya sudah ada SOP pengamanan antara pemerintah daerah (pemda) dan kepolisian, sehingga hal ini perlu lebih ditingkatkan atau disinkronkan,” terangnya.
“Beberapa praktek illegal refinery yang masih terjadi, mengingatkan peran hukum yang ada harus memberikan efek jera kepada para pelakunya. Hal ini sebagaimana ditunjukkan komitmennya oleh Polres Tuban dan Polres Bojonegoro,” lanjut Agus Amperianto.
Menurutnya, illegal drilling dan illegal refinery, merupakan masalah kriminal yang tidak bisa begitu saja dikaitkan dengan masalah pengelolaan sumur tua, sehingga Pertamina bersama Pemkab Bojonegoro, selalu mengupayakan penyelesaian persuasif yang win-win solution. “Apabila hal tawaran persuasif ini diabaikan, maka persoalan tersebut, hanya bisa diatasi dengan penegakan hukum yang tegas, penindakan dan pemberian hukuman yang berat tanpa pandang bulu,” tegas Agus Amperianto.
Penyulingan minyak tanpa izin mendatangkan kerugian dan keruskan lingkungan yang parah apabila tidak secepatnya dintisipasi. Kerugian negara per hari dengan potensi produksi yang ada mencapai kisaran Rp 500 juta per hari. Sebagai sebuah industri yang memberi pemasukan besar bagi negara, maka aparat penegakan hukum harus segera bertindak.
Penegakan hukum untuk illegal drilling dan illegal refinery tidak mesti menunggu kegiatan sosialisasi, dan sebagainya yang bisa dilakukan paralel, karena illegal drilling atau illegal refinery sudah masuk sebagai kejahatan extra ordinary. Jika hukum administrasi sudah menetapkan bahwa kegiatan tersebut tidak sesuai, maka petugas negara yang bertugas dalam pengawasan atau penindakan tersebut dapat segera bergerak, baik dalam melakukan pengawasan ataupun dalam penindakan terhadap segala bentuk kegiatan yang menyalahi aturan.
“Saya melihat apa yang sudah digalang oleh Polres Tuban dan Bojonegoro sudah ‘on the track,” ungkapnya.
Tanpa adanya respons tepat dan penegakan hukum, maka pengelolaan sumber daya alam, khususnya minyak dan gas bumi tidak bisa memberi manfaat bagi negara dan masyarakat. Lebih dari itu, kegiatan illegal akan memberi dampak kerusakan yang besar bagi lingkungan. Kalau pun masyarakat, koperasi atau BUMD sudah mengantongi izin untuk melakukan kegiatan eksploitasi minyak di sumur-sumur tua yang dinilai tidak ekonomis, maka kata dia, pihaknya akan meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas mereka, sehingga tidak menyalahi kewenangan izin yang diberikan kepada mereka.
“Lebih dari itu, ketika izin diberikan maka ketentuan untuk pengelolaan lingkungan harus juga diperhatikan. Jangan sampai izin diberikan tetapi lingkungan diabaikan,” lanjut Agus Amperianto.
Untuk kembali menata lingkungan yang rusak akibat kegiatan eksploitasi pengeboran, membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Karena itu pengawasan terhadap izin yang diberikan menjadi mutlak. “Kalau menyalahi ketentuan, harus berani mengambil tindakan tegas,” katanya.
Sementara itu, terkait pengelolaan sumur tua ini, meski tidak bisa diharapkan menghasilkan tambahan produksi skala besar, jika ada strategi atau kebijakan khusus, misalnya otoritas penugasan dan ketegasan kepada Pertamina dan segenap mitra kerjanya, kemungkinan dapat menghasilkan produksi yang lebih optimal.
(Sasmito Anggoro)