Insiden Kapal Apik, Pengamat Maritim: Kerusakan Karang di TN Komodo Bencana Tata Kelola Wisata Bahari

  • Whatsapp
Insiden Kapal Apik, Pengamat Maritim: kerusakan karang di TN Komodo bencana tata kelola wisata bahari (foto: abri)

Jakarta, beritalima.com| – Insiden kapal wisata bernama Apik yang dilaporkan merusak terumbu karang di perairan Pulau Sebayur Kecil, Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur (25/10), memicu keprihatinan publik dan kritik tajam dari masyarakat maupun kalangan akademisi maritim karena menjadi bencana besar bagi tata kelola wisata bahari khususnya.

Video yang beredar di media sosial memperlihatkan jangkar kapal dijatuhkan dan diseret begitu saja di dasar laut pada kedalaman sekitar lima hingga tujuh meter, menghantam struktur karang yang menjadi habitat penting bagi ekosistem bawah laut.

Pengamat maritim DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., S.H., M.H., M.Mar. mengatakan, Pulau Sebayur Kecil selama ini dikenal sebagai salah satu lokasi penyelaman favorit wisatawan domestik maupun internasional, karena keragaman biota laut dan keindahan terumbu karangnya.

“Maka kerusakan akibat tarikan jangkar Kapal Apik, jelas bukan sebagai tindakan sepele, ini kejahatan serius yang dapat menghapus puluhan tahun pertumbuhan alami karang dan memicu degradasi ekosistem laut dalam jangka panjang. Harus ada pihak yang bertanggung jawab atas hal ini,” ujar Capt. Hakeng di Jakarta (2/11).

Capt Hakeng sebagai anggota IKAL Strategic Center (ISC) mengungkapkan, “kerusakan terumbu karang dalam kawasan konservasi seperti Taman Nasional Komodo adalah pelanggaran ekologis serius. Ini bukan hanya soal satu kapal, tetapi potret kegagalan tata kelola pariwisata bahari yang tidak seimbang antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.”

Karena, tambahnya, kerusakan terumbu karang membawa konsekuensi ekologis dan ekonomi sekaligus. Karang merupakan rumah bagi biota-biota laut, pelindung garis pantai dari abrasi, serta daya tarik utama wisata bahari Indonesia. Namun, ia hanya tumbuh beberapa milimeter hingga sentimeter per tahun.

“Sekali rusak, kita kehilangan puluhan tahun pertumbuhan. Ini bukan hanya kehilangan estetika laut, tapi juga kehilangan sumber kehidupan ikan, tempat bertelur, hingga sumber penghidupan masyarakat lokal,” tuturnya.

Capt. Hakeng menilai perlindungan kawasan wisata laut belum dijalankan dengan serius. Meski berada dalam kawasan konservasi, kapal wisata di Sebayur Kecil masih bebas membuang jangkar tanpa sistem jalur tambat atau mooring buoy yang semestinya menjadi standar di lokasi-lokasi penyelaman. “Jika sebuah area konservasi tidak ditentukan titik koordinat untuk tambat resmi, jika pengawasan tidak berbasis teknologi, maka insiden seperti ini hanya tinggal menunggu waktu berulang lagi,” tambahnya.

Ia soroti lemahnya koordinasi antar instansi, seperti Taman Nasional Komodo di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan – saat ini Kementerian Kehutanan – namun aktivitas kapal diatur oleh Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) di bawah Kementerian Perhubungan. Di sisi lain, kawasan ini telah ditetapkan sebagai destinasi wisata super prioritas oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (saat ini Kementerian Pariwisata). Sementara perlindungan ekosistem laut berada dalam kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

“Ini tidak bisa hanya berhenti pada penahanan kapal atau nakhodanya. Empat kementerian harus bergerak bersama serta seirama. Tidak bisa terdapat “Empat Nakhoda dalam satu kapal”, bingung nanti kapalnya mau dibawa kemana. Harus ditentukan siapa yang menjadi penentu kebijakan dan penanggung jawab atas penegakan aturan disana. Kalau tidak, kita hanya akan terus mengulang kesalahan yang sama,” terang kata Capt. Hakeng.

Diungkapkan lagi, secara hukum, insiden ini berpotensi masuk ranah pidana serta perdata lingkungan. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan kerusakan lingkungan wajib bertanggung jawab.

Juga, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatur sanksi bagi tindakan yang merusak ekosistem dalam kawasan taman nasional. “Negara memiliki dasar hukum yang kuat untuk menindak. Penegakan hukum bukan untuk menghukum pelaku semata, tetapi untuk menyelamatkan integritas lingkungan dan memastikan kekayaan alam kita ini tetap bisa dinikmati oleh anak cucu kita kedepan,” jelas Capt. Hakeng.

Sebagai solusi, Capt Hakeng mendorong dilakukan audit ekologis dan pemulihan kawasan terdampak melalui restorasi aktif seperti transplantasi karang. Dan, mendorong dipasangnya mooring buoy oleh KKP di seluruh lokasi wisata selam. Kementerian Pariwisata disebutnya pula perlu menetapkan standar sertifikasi wisata bahari lestari, sementara Kementerian Perhubungan wajib memperketat izin kapal wisata dan menerapkan teknologi pelacakan posisi kapal secara real-time untuk mencegah kapal masuk ke zona terlarang.

Jurnalis: abri/rendy

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait