Integritas Hakim (Sedang) Diuji

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Banjarmasin)

Dengan maksud merespon fenomena ‘kerisuan’ para hakim akibat tuntutan kenaikan gaji, seorang teman menulis status dalam beranda akun FB-nya: “Hakim itu wakil Tuhan, kalau cuti/mogok bareng krn minta naik gaji terus gmn? Tuhan bingung kl wakilnya ngambek hhh,” begitu katanya. Sebagai seorang anggota IKAHI yang hobi “orat-oret”, saya pun reflek berkomentar. Komentar singkat saya, tentu tidak perlu saya tulis dalam artikel ini. Tetapi, yang pasti masih tetap dalam konteks menjaga hubungan baik dengannya. Setelah membaca komentar saya, teman yang termasuk saya segani itu pun mencoba memberikan “syarah” maksud statusnya tersebut. ”Menurutku (mogok bareng) merendahkan profesi hakim mas, kl buruh tentu pantas begitu,” imbuhnya.

Dari jalan pikiran teman tersebut, saya mencoba menyimpulkan tiga hal. Pertama, teman, yang saat mahasiswa seorang kolumnis, itu tidak melarang menyampaikan aspirasi. Sebab, di alam demokrasi ini, sebagai sesama warga negara, menyuarakan pendapat tentu tidak dilarang. Kedua, meskipun demikian, sebagai pejabat yang lekat dengan predikat wakil tuhan, hakim tidak layak melakukan demo dengan tindakan ‘mogok masal’. Ketiga, hakim yang melakukan mogok, secara tidak sadar telah mendegradasi kemuliaannya. Menurutnya, apabila demikian, tidak ada bedanya dengan orang kebanyakan, seperti buruh, sehingga tidak layak lagi menyandang wakil tuhan.

Terlepas disetujui atau tidak, pernyataan sang teman tadi harus dianggap sebagai sebuah kritik terhadap “Korp Cakra” (baca: Hakim). Dia merespon cepat, karena dianggap sebagai persoalan yang tidak saja aktual tetapi menurutnya tentu aneh. Bagi saya, jika dia dianggap mewakili orang luar, berarti membenarkan dugaan saya sebagaimana saya tulis dalam artikel sebelumnya, Dalam artikel sebelumnya saya memprediksi, bahwa himbauan cuti bersama secara nasional oleh sejumlah ‘akitivis militan’ hakim tertentu, akan mengundang cibiran orang. Meskipun cuti merupakan hak setiap pegawai negeri, akan tetapi jika dilaksanakan secara bersama-sama bahkan secara nasional, pasti akan mengganggu pelayanan (hukum) kepada masyarakat luas. Sikap pimpinan MA yang mempersilahkan tetapi “asal jangan mengganggu tugas”, harus diartikan sebagai bentuk larangan secara halus. Bagaimana mungkin tidak mengganggu, jika dilakukan secara serempak.

Secara tersirat kritik sang teman juga nyaris bersentuhan dengan integritas hakim. Mengenai yang satu ini, hampir di setiap kesempatan pucuk pimpinan Mahkamah Agung, tidak pernah bosan menyampaikan pentingnya hakim menjaga integritas ini, Bahkan beliau sampai membandingkan dengan kinerja lembaga (MA) penting lainnya.”Regulasi tetap diperlukan, kemampuan keilmuan dan kapabilitas juga dibutuhkan, tetapi integritas jauh lebih penting untuk dimiliki seorang hakim,” tutur KMA dalam suatu kesempatan. ( https://bldk.mahkamahagung.go.id/) Menurutnya, hakim yang berintegritas tinggi dan dekat dengan Tuhannya melalui ibadah-ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya, akan selalu dituntun oleh hati nuraninya dalam menjatuhkan setiap putusan, Putusan yang dijatuhkan atas hati nurani yang bersih akan senantiasa mengandung nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Bentuk integritas hakim, salah satunya adalah adanya larangan terhadap hakim melakukan tawar-menawar putusan, memperlambat pemeriksaan perkara, menunda eksekusi atau menunjuk advokat tertentu dalam menangani suatu perkara di pengadilan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Secara tidak langsung, ada sementara pandangan bahwa kegiatan cuti bersama merupakan selah satu bentuk tawar menawar implementasi tugas jabatan hakim versus tuntutan hak yang kurang direspon oleh para pihak yang berwenang. Dugaan ini nyaris tidak salah ketika mereka membaca slogan-slogan perjuangan yang narasinya pada intinya mengaitkan kesejahateraan hakim dengan idealnya wajah hukum di negeri ini. Jika hal ini benar, maka sejatinya integritas hakim, memang sedang dalam ujian.

Masyarakat tampaknya perlu maklum, seorang hakim memang sering disebut wakil Tuhan, tetapi dia bukanlah seorang nabi atau rasul, apalagi malaikat. Sebagai manusia tetaplah manusia yang akan terus terikat dengan hukum-hukum kemanusian (sunatullah) seperti manusia pada umumnya. Sifat kemanusiaan itu juga sering ditunjukkan para manusia pilihan, nabi dan rasul. Persoalannya sekarang memang, bagaimana agar integritas hakim tetap terjaga, pada saat yang sama, tanpa harus berkegiatan cuti bersama, standar keperluan hidupnya sebagai manusia, yang secara khusus diamanahi jabatan penting itu (menjadi wakil Tuhan), juga tetap terpenuhi. Bukankah yang demikian, memerlukan kejujuran nurani semua komponen bangsa?

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait