SURABAYA, beritalima.com|
Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) kembali berlayar ke Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk menjalankan aksinya. Ada tiga kota yang dikunjungi yakni Nagekeo, Ende, dan Larantuka. Kunjungan dilaksanakan pada 15 Mei hingga 3 Juni 2023 lalu.
Pada kesempatan itu, RSTKA membawa 17 relawan untuk memberikan pelayanan kesehatan. Salah satu relawan yang ikut serta adalah dr Diah Ayu Pitaloka, peserta didik Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (Unair) RSUD Dr Soetomo Surabaya.
Motivasi Diri
dr Ita panggilan akrabnya mengatakan bahwa keinginan untuk ikut berlayar dengan RSTKA sudah ada sejak lama. Lalu saat mendapatkan kesempatan untuk berlayar ke NTT, ia putuskan untuk mendaftar menjadi relawan.
“Saya memang ingin mendapat pengalaman pengabdian di pulau terpencil,” katanya.
Meski ia bisa melakukan pengabdian di Surabaya dan sekitarnya, tapi rasa ingin tahunya mengenai permasalahan kesehatan di NTT menjadi motivasi tersendiri.
“Saya ingin tahu apa penyebabnya angka stunting tinggi di NTT. Padahal mereka punya kekayaan alam yang baik dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang cukup,” tuturnya.
Ita tak sendiri, ia memberikan pelayanan kesehatan di NTT bersama rekan relawan lain.
Berikan Pelayanan Kesehatan
Ita menceritakan bahwa ia dan rekan-rekannya melakukan pelayanan yang berfokus pada 2 hal yaitu deteksi dini stunting dan Penyakit Jantung Bawaan (PJB). Ita dan rekan-rekan ditugaskan di posyandu dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).
“Saat bertugas ternyata ditemukan bahwa permasalahan stunting di setiap kota itu berbeda,” ceritanya.
Ita sampai membuat catatan pada buku khusus yang dibuatnya mengenai masalah-masalah yang ditemui.
“Saya selalu buat catatan agar tidak lupa. Catatan khusus masalah yang terjadi dan apa yang perlu diatasi dulu,” paparnya.
Ia menambahkan bahwa budaya yang diterapkan di NTT dengan di Jawa ada berbagai perbedaan. Adapun perbedaan lain seperti kondisi daratan, topografi gunung, jenis tumbuhan, binatang yang bisa dikembangbiakkan menjadi asupan bahan makanan, budaya makan rendah protein, ketersediaan air bersih, sampai ketersediaan tempat sampah.
Ita dan rekan-rekan memberikan pengobatan kepada anak yang membutuhkan. Pengobatan ini bisa menjadi cara awal untuk menurunkan angka stunting di sana.
“Tatalaksana pertama yang bisa dilakukan adalah mengatasi infeksi. Misalnya infeksi salurah kemih, TBC, scabies, dan lainnya. Kami berikan obat bagi kasus yang urgent dan sebagai upaya menurunkan stunting. Bahkan merujuk juga kami lakukan bila diperlukan,” jelasnya.
Hal yang tak kalah penting dalam pengabdian tersebut adalah melakukan penyuluhan mengenai stunting serta pentingnya pemenuhan asupan gizi pada anak.
“Penyuluhan dilakukan kepada ahli gizi dan petugas kesehatan soal stunting dan bagaimana pola makan yang benar. Karena ternyata di sana kebiasaan pola makan yang terjadi, asupan karbohidrat lebih banyak dibanding protein,” terangnya.
Meski telah kembali ke Surabaya, komunikasi secara intens tetap dilakukan dengan ahli gizi dan petugas kesehatan di NTT. Ita berharap dengan upaya yang dilakukan ini bisa menurunkan angka stunting di NTT.
“Komunikasi dengan ahli gizi dan petugas kesehatan masih dilakukan. Meskipun sudah tidak di sana tapi tatalaksana stunting masih bisa berjalan melalui komunikasi yang kita jalin,” ungkapnya.
Pengalaman Menarik dalam Hidup
Bagi Ita pengalaman berlayar di lautan lepas selama berhari-hari menjadi pengalaman baru baginya. Bahkan sensasi menginjakkan kaki di NTT menurutnya merupakan pengalaman menarik dalam hidupnya. Keindahan alam dan kekayaan budaya yang ditemukan membuatnya takjub.
Ita juga bisa menemukan keluarga baru melalui pelayaran yang ia lalui ini. Bahkan Ita siap untuk kembali ke NTT untuk melakukan misi selanjutnya bersama RSTKA.
“Saya siap bila ada kesempatan lagi kembali ke NTT,” tandasnya. (Yul)