Intoleransi Terpelihara Karena Terjadinya Pragmatisme Kepentingan dan Kekuasaan

  • Whatsapp

Oleh:
Rudi S Kamri

Mengapa fenomena intoleransi masih tumbuh subur di Indonesia? Bahkan semakin hari semakin merajalela secara liar.

Ini pertanyaan mendasar bagi setiap anak bangsa saat ini. Jawabanya sebetulnya mudah yaitu karena ada indikasi adanya pembiaran oleh negara akan terjadinya intoleransi. Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa dibiarkan? Jawaban dari pertanyaan inipun mudah, karena di negeri sedang diserang pandemi pragmatisme kepentingan dan kekuasan.

Akar masalah terjadinya pragmatisme sebenarnya berasal adanya sistem politik “one man, one vote” dalam sistem Pemilu kita. Sistem “one man one vote” tanpa dibarengi dengan upaya Negara dan Partai Politik untuk melakukan pendidikan politik bagi rakyat, akhirnya hanya melahirkan pragmatisme KUANTITAS dukungan suara, bukan KUALITAS. Ini menjadi PR besar buat Negara, karena semua pemangku kepentingan politik nasional hanya berlomba-lomba mencari dukungan massa yang banyak tanpa diikuti pendidikan politik yang memadai.

Dan salah satu alat untuk mengumpulkan dukungan rakyat adalah terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat dengan menggunakan kedok basis agama. Sudah menjadi rahasia umum bahwa cara paling efektif untuk mempengaruhi rakyat yang minim pengetahuan dan konstelasi politik serta geopolitik internasional adalah dengan menggunakan dalil-dalil agama. Hal ini seperti pemenuhan teori “suply – demand” dimana ada kebutuhan dukungan suara dari Partai Politik atau kelompok tertentu, maka muncullah figur-figur yang mempunyai kemampuan untuk mengumpulkan dan mengelola intens masyarakat. Dan pada titik selanjutnya maka berkembanglah bibit politik identitas keagamaan yang siap digunakan sesuai dengan kebutuhan para “user” politik. Dan akhirnya terciptalah transaksi politik yang sesat dengan melibatkan uang yang cukup fantastis.

Salah satu metoda untuk merawat kerumunan masyarakat sampai siap digunakan adalah dengan mencuci otak mereka dengan dalil-dalil agama yang menyesatkan. Secara psikologis cara untuk mempersatukan massa adalah dengan menciptakan ‘musuh bersama’ (common enemy) dan ancaman (fake threat) yang semu. Sebagai contoh bahwa terjadi pendzoliman terhadap umat Islam, terjadinya ancaman TKA asal China yang dikatakan berpotensi menebar ajaran komunisme dan lain-lain. Semua ini hanya kreasi dari para pentolan kelompok tersebut untuk menyesatkan opini publik. Dengan teknik propaganda “firehose of falsehood”, semburan kepalsuan atau dusta ini terus menerus disemburkan ke otak kecil masyarakat yang bernalar rendah sehingga akhirnya tercipta kebenaran palsu atau “Post Truth”.

“Post Truth” yang berlabel intoleransi menjadi salah satu senjata ampuh dengan memilitir beberapa ayat dalam kitab suci agama. Dokrin beragama dengan memonopoli kebenaran secara eksklusif menjadi amunisi utama dan saat ini tumbuh subur dimana-mana. Akhirnya masyarakat menjadi terbelah dalam dikotomi kelompok agama. Menjadi semakin parah karena Negara dan Pemerintah terkesan ragu-ragu untuk bertindak tegas. Atas nama menciptakan situasi masyarakat yang kondusif, akhirnya yang terjadi tindakan intoleransi sering hanya diselesaikan dengan kesepakatan dengan materai. Padahal kita tahu semua hanya kesepakatan semu yang tidak menyelesaikan permasalahan secara tuntas.

Semua pembiaran yang terjadi berujung pada pemanfaatan secara politik untuk meraih kedudukan atau kekuasaan. Dan itulah pragmatisme kepentingan yang menjadi virus massal di negeri ini. Para pemegang kekuasaan sengaja melupakan bahwa intoleransi adalah bibit munculnya radikalisme dan pada ujungnya akan tercipta terorisme. Ini suatu tangga atau tahapan “social destruction” yang sebetulnya sangat dipahami oleh para pemegang kekuasaan. Tapi demi kepentingan pragmatisme, semua diabaikan dan akhirnya yang terjadi seperti saat ini. Intoleransi sengaja diternakkan oleh pragmatisme kepentingan dengan menggunakan para petualang politik dengan alat para pendakwah agama yang juga mempunyai pragmatisme uang dan kedudukan.

Apa yang harus kita lakukan?

Kelas menengah Indonesia yang nasionalis harus menjadi motor penggerak untuk mendorong Negara agar “aware” akan terjadinya virus pragmatisme kepentingan yang sedang terjadi. Intoleransi dan terjadinya arus kuat arabisasi hanya proxy bagi para cukong politik untuk menguasai Negara. Pada saat mereka menguasai Negara, secara mudah mereka menguasai Sumber Daya Alam (SDA) negeri ini. Semuanya berujung pada kepentingan ekonomi. Dan ini yang harus dicegah oleh siapapun anak bangsa yang peduli akan masin bangsa dan keindonesiaan kita. Kelas menengah harus “speak-up” secara terus menerus agar para penguasa pragmatisme kepentingan ini tahu kita ada untuk melawan mereka.

Demi mewariskan Indonesia Gemilang untuk anak cucu kita nanti,
Kita harus bersuara sekarang !!!
Kalau bukan kita, siapa lagi ?
Kalau bukan sekarang, kapan lagi ?

Salam SATU Indonesia
16052021

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait