JAKARTA, Beritalima.com– Kedudukan tanah adat pasca UU No: 11/2020 perlu dibedah karena jarang diulas dan dibahas pihak berkepentingan. Padahal dalam investasi yang akan muncul ke depan membutuhkan adanya lahan.
“Selama ini banyak orang yang berpikir UU Ciptaker hanya membahas tentang ketenagakerjaan saja. Padahal, jika ditilik lebih lanjut, suatu investasi yang akan ditanam, umumnya membutuhkan lahan sehingga perlu dibedah UU No 11/2020 demi mendorong iklim investasi,” kata Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI, Badikenita Sitepu di depan forum Webinar PPUU bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia beberp hari lalu.
Badikenita mengatakan, hadirnya UU Ciptaker bertujuan untuk kemajuan masyarakat Indonesia yang lebih baik. UU ini penting agar tidak ada lagi kekhawatiran di masyarakat, seperti adanya mafia tanah.
Lalu bagaimana pengertian tentang bank tanah seperti apa, banyak yang belum paham. “Ini penting dibahas, keterkaitan UU No 11/2020 dengan UU Ciptaker. Hadirnya UU Ciptaker agar peraturan menjadi lebih sederhana, menciptakan kemudahan berinvestasi, perizinan berusaha, dan kata kuncinya adalah Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK),” papar dia.
Sekjen Kementerian ATR/BPN, Himawan Arief Sugoto mengatakan, soal dalam pengadaan tanah buat pembangunan untuk kepentingan umum karena dokumen perencanaan tidak didukung dengan data dan anggaran yang akurat. Ini berakibat terjadinya revisi/adendum karena tidak sesuai dengan kondisi fisik di lapangan serta mengakibatkan penambahan anggaran UGR.
“Permasalahan juga terjadi seperti penetapan lokasi yang diterbitkan Gubernur belum sesuai dengan tata ruang serta tidak didukung dengan data awal dan persetujuan Pihak yang berhak, sehingga terjadi penolakan dalam pelaksanaan. Izin pelepasan objek pengadaan tanah yang masuk dalam lokasi kawasan hutan, tanah wakaf, tanah kas desa, aset instansi BMN/BUMN pelepasannya memerlukan waktu yang cukup lama,” terang Himawan. (akhir)