JAKARTA, Beritalima.com– Seleksi ketat yang dilakukan Panitia Seleksi (Pansel) calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) patut mendapatkan acungan jempol karena dari 104 calon, kini tersisa 40 orang dan tidak termasuk tiga jenderal senior Polri.
Indonesia Police Watch (IPW) berharap pada proses assessment 8-9 Agustus 2019, Pansel diharapkan mampu melakukan sleksi lebih ketat calon pimpinan (capim) yang tersisa hingga menyisakan empat polisi dan dua jaksa dan 14 figur lainnya yang punya kompetensi untuk ikut seleksi tahap akhir 10 besar Capim KPK.
Soalnya, kata Ketua Presidium IPW, Neta S Pane dalam keterangan tertulis kepada awak media, kepemimpinan KPK periode saat ini gagal membangun soliditas. Selain itu, Pansel KPK tidak perlu menggubris isu Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN).
Soalnya, LHKPN bukanlah hal prinsif dalam sistem rekrut Capim KPK yang dilakukan pansel KPK. Sebab, mereka baru tahap seleksi. “Kecuali mereka sudah dinyatakan menjadi pimpinan KPK,” kata Neta S Pane.
UU juga tidak mewajibkan LHKPN itu diminta saat proses seleksi. Jadi, salah kaprah jika ada pihak yg mempermasalahkan LHKPN di tahap seleksi. Kalaupun ada capim yang menyerahkan LHKPN tentu tidak masalah.
Lagian, lanjut Neta, UU tidak menyebutkan adanya sanksi bagi pejabat negara yang tidak menyerahkan LHKPN. “Lalu kenapa orang2 ribut soal LHKPN dlm proses seleksi capim KPK. Aneh. Bagi IPW, LHKPN itu tidak penting, sepanjang UU tidak menegaskan sanksi. LHKPN itu sekadar basa basi yang tidak perlu dipersoalkan.”
Dikatakan Neta, pihaknya menilai, ke depan pimpinan KPK harus diisi Pati Polri sebagai pimpinan agar pimpinan KPK bisa tegas dan tidak takut pada bawahan dan Wakil Pimpinan KPK. “Selama ini, ketidaktegasan pimpinan KPK dan sikap takut mereka pada bawahan menjadi sumber kacaunya KPK. Ke depan hal ini harus segera diperbaiki.”
IPW juga melihat, banyak hal yang harus diperbaiki di KPK, yakni instrumental (UU dan PP), pengembangan struktural dengan titik berat kepada orientasi (public education).
“Pemberantasan korupsi dengan pendekatan prevention, tugas pembantuan program pemerintah, peningkatan pendapatan negara dan daerah, recovery asset negara dan daerah, memperkuat fungsi koordinasi dan supervisi dengan instansi yang bertugas dalam pemberantasan korupsi.”
Selanjutnya, kata Neta, tugas penegakan hukum law enforcement terhadap tindak pidana korupsi dengan titik berat kerugian negara dan perekonomian negara sebagaimana pasal 11 UU No: 30/2002. “Fakta-fakta inilah yang menjadi tantangan pimpinan KPK 2019-2023.”
Dikatakan Neta, belakangan ini KPK sudah menjelma menjadi monster yang sangat ditakuti. “Ini sangat bahaya. Jika suatu lembaga menjadi lembaga yang sangat ditakuti, otomatis tak ada yang berani mengkoreksi. “Akibatnya, KPK menjadi otoriter dan sok benar. Apa pun yang terjadi dan apapun yang dilakukan, sekalipun keliru atau salah akan dianggap benar.”
Menurut Neta, IPW sangat respek dan apresiasi kepada Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebab baru tahun lalu BPK berani menilai Laporan Keuangan Pejabat (LKP) KPK dengan penilian Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
Dikatakan Neta, predikat itu tentu saja sangat memalukan. Lembaga superbody dalam pemberantasan korupsi dalam laporannya malah mendapat penilian WDP oleh BPK.
“Dengan WDP berarti banyak kekeliruan dlm penggunaan anggaran yg ujung2nya potensi korupsinya tinggi. Tapi siapa yang berani mengusut dugaan korupsi di KPK. Inilah masalah besar yg hrs diperbaiki di KPK dan bukan masalah LHKPN capimnya. Untuk itu pansel harus benar benar bisa mendapat pimpinan KPK yang membawa aura baru di lembaga anti rasuha itu,” demikian Neta S Pane. (akhir)