Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Sebagaimana telah viral, sebuah tesis nasab seorang kiai bernama Imadudin Utsman al Bantany kini sedang menuai pro dan kontra. Tesis kiai muda NU, yang mengaku mantan muhibbin (sebutan para pengikut habaib), ini pada pokoknya berkesimpulan, bahwa klaim kaum Ba’alawi sebagai keturunan rasulullah SAW adalah tidak benar (tidak terkonfirmasi) menurut perspektif berbagai kitab nasab. Bahkan, ketika penelitian yang dilakukan juga mendapat landasan iptek (baca: tes DNA) tampak tesis tersebut semakin terlihat validitas ilmiahnya. Jangankan sebagai keturunan rasulullah, sebagai orang Arab pun mereka bukan, begitu tegas Kiai Imad.
Dengan berlandaskan tesis tersebut, kini benih-benih ‘anti’
habaib, akibat ulah ‘kurang ajar’ beberapa oknum habaib, seperti mendapat hujjah yang kuat. Selanjutnya, tidak dapat dipungkiri, di berbagai daerah bermunculan gerakan anti habaib. Bahkan, mereka kini telah mengorganisasi diri dan sangat gencar melakukan propaganda, terutama di media sosial. Dukungan pun, terutama dari para kiai muda dan masyarakat arus bawah, dari hari ke hari tampak kian menguat. Gerakan mereka pun, bahkan sudah menjelma menjadi gerakan massif dan terstruktur. Tidak jarang mereka juga sudah melontarkan pernyataan-pernyataan pedas nan provokatif terhadap kelompok habaib–yang secara historis sebagai pendatang dari Yaman (Hadramaut)– dan para pendukungnya.
Sudah tentu fenomena tersebut sangat mengusik para habaib dan para muhibbin. Secara terbuka mereka pun bereaksi keras. Bahkan, terdapat beberapa habib yang berang dan sangat garang menyerang tesis nasab Kiai Imad dan pendukungnya. Mereka tidak segan-segan menuduh para pendukung anti habaib sebagai para “begal nasab”. Bahkan, dapat kita saksikan di medsos, ada sekelompok muhibbin dari etnis tertentu membuat vlog berisi pesan yang pada pokoknya siap membela dan bahkan siap mati demi habaib.
Gerakan pendukung tesis nasab, di satu pihak, dan habaib bersama para muhibbinnya, di pihak lain, sudah terpolarisasi demikian jelas. Kedua kelompok itu, kini seolah sudah saling berhadap-hadapan. Narasi-narasi kedua kelompok, di samping sama-sama pedas, yang lebih penting, juga sudah tidak mencerminkan sesama muslim yang harus tetap menjaga ukhuwah. Tradisi maulid, tahlilan, salawatan, dan sejumlah tradisi keagamaan yang selama ini menjadi perekat mereka, nyaris tidak ada artinya. Satu hal yang pasti dan ini ironis, adalah kedua kelompok yang terlibat pro dan kontra itu ternyata, diakui atau tidak, sama-sama warga nahdhiyyin. Kedua kubu pun, tampak saling memiliki tokoh ulama dengan basis pesantren.
Dengan kondisi kedua belah pihak yang sudah demikian panas rasanya tidak berlebihan jika kaum nahdhiyin kini sedang dalam masalah serius. Oleh karena mereka sesama warga nahdhiyyin, maka tentu menjadi pekerjaan rumah para pengurus periode sekarang, khususnya PBNU. Kalau boleh dibandingkan, jika pada perioda pengurus sebelumnya tantangan besar PBNU adalah isu radikalisme sedangkan sekarang, tantangan PBNU adalah potensi konflik internal yang dipicu oleh gerakan anti habaib. Saat melihat realitas umat yang demikian adalah wajib hukumnya, PBNU menunjukkan sikap imparsial dengan mengajak perwakilan kedua kubu untuk duduk bersama.
Sikap sebagian pengurus PBNU yang secara terbuka membela salah satu pihak secara ‘membabi buta’, jelas bukan hanya bentuk sikap apriori dan tidak adil, tetapi juga merupakan bentuk sikap tidak peka terhadap fenomena umatnya sendiri. Padahal. bukan mustahil fenomena umat yang sudah terpolarisasi tersebut bisa mengancam eksistensi NU sebagai ormas terbesar di dunia. Dalam konteks demikian, kiranya tepat jika di medsos ada yang menyatakan, bahwa tugas PBNU sebenarnya adalah bagaimana membuat umat NU mencintai NU dan bukan menggiring umat NU ke “rabithah ‘alawiyin”.
Pernyataan ini tentu didasarkan atas adanya fakta sejumlah petinggi NU tertentu yang telah bersikap imparsial dengan bukti secara terbuka mencela tesis nasab dan sebaliknya, secara apologis, justru membela eksistensi habaib. Padahal, semua ummat nahdiyyin sudah “ijmak”, bahwa mencintai “dzurriyat rasulullah” adalah harga mati. Persoalan sebenarnya, apakah para habaib dari kaum Ba’alawi tersebut masuk dalam kriteria dzurriyat rasul atau tidak. Para pendukung tesis nasab juga secara terbuka tetap membuka diri, akan tetap menjaga hubungan baik dengan para habaib Ba’alawi sebagaimana terjalin selama ini, meskipun mereka telah terbukti bukan dzurriyat rasulullah. Merespon sikap demikian tentu jauh lebih positif, ketimbang sikap imparsial sebagian petinggi NU di atas yang justru semakin memperkeruh suasana. Wallahu A’lam.