SURABAYA, beritalima.com- Isu ‘penjarahan’ satwa di Kebun Binatang Surabaya (KBS) menjadi raport merah bagi Tri Rismaharini dalam memimpin Surabaya.
Penilaian itu diberikan oleh Pemerhati Satwag Singky Soewadji.
“Raport merah Bu Risma itu adalah atas dijarahnya 420 lebih satwa di KBS, tapi Bu Risma diem. Keterlibatan kasus itu sebetulnya tidak ada sangkut pautnya dengan Bu Risma.
Karena 420 lebih satwa itu dijarah sebelum ditinggal dan diambil alih oleh Pemkot Surabaya,” katanya.
Ia menyebut jika Wali Kota Tri Rismaharini pernah melaporkan ‘penjarahan’ satwa itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Awalnya Bu Risma pernah ikut melaporkan kasus ini ke KPK. Tapi karena tidak dilengkapi dengan data-data yang akurat maka tidak berjalan di KPK.
Kemudian Bu Risma sempat dipanggil Menteri LHK Siti Nurbaya dan dijanjikan KBS nanti memang akan diserahkan ke pemkot dan akan diterbitkan izin datanya, izin lembaga konservasinya,” terang dia.
“Sejak itu Bu Risma diam seribu bahasa selama dua periode kepemimpinannya sudah tidak pernah mengungkit soal dijarahnya 420 (satwa) lebih itu.
Sebenarnya izin LK itu wajib hukumnya dikeluarkan oleh Menteri LHK untuk KBS karena diserahkan ke pemkot. Namun ketidak tahuan Risma tentang prosedur itu maka dijanjikan itu, Risma diem. Padahal 420 lebih (satwa) KBS itu adalah aset Pemkot Surabaya,” imbuhnya.
Singky meminta agar Risma menuntaskan kasus dugaan ‘penjarahan’ satwa di KBS itu. Selain itu juga diminta untuk memberikan enam perjanjian yang telah disepakati.
“Dan dalam enam perjanjian itu ada hak yang harus diberikan kepada KBS namun hingga hari ini belum terpenuhi. Diantaranya adalah musium satwa. Coba kita lihat ke KBS, apakah ada musium satwa itu. Yang dalam perjanjian akan diberikan berikut 200 specimen satwa yang sudah diawetkan.
Itupun tidak secara detail 200 species itu apa saja. Kan bisa saja itu kodok, cebong dan sebagainya kan,” paparnya.
“Nah ini adalah perdata dan pidana. Pertanyaannya kenapa Bu Risma diam, ada apa ?,” tambahnya.
Ini PR yang paling krusial ditinggal Bu Risma dan akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu akan tetap dipermasalahkan,” tandasnya.
Berdasarkan Permenhut No P.31/Menhut-II/2012, Lembaga Konservasi (LK) adalah dalam penguasaan negara.
Dengan demikian, satwa-satwa liar surplus KBS merupakan asset negara yang dikelola KBS sebagai LK.
BPK harus mengabaikan dan tidak boleh ikut menghitung nilai kompensasi yang diperoleh KBS yang berupa non-satwa, seperti mobil, motor, uang, dan pembangunan atau perbaikan museum, gedung dan atau kandang.
Bila BPK ikut menghitung nilai kompensasi yang non-satwa, hal itu berarti BPK melegalkan perjanjian-perjanjian “pemindahan” yang ilegal tadi.
Selisih antara total nilai satwa liar surplus KBS yang “dipindahkan” dengan total nilai satwa yang diperoleh KBS sebagai kompensasi, adalah kerugian negara. (Red).