Ito Sumardi: Polri Masuk Pertama Kali Saat Bencana Tsunami Aceh

  • Whatsapp
Ito Sumardi menceritakan pengalamannya tentang peran Polri masuk pertama saat bencana Tsunami Aceh (foto: trbunnews)

Jakarta, beritalima.com| – Dari pengakuan Komisaris Jenderal Polisi (Purnawirawan) Dr. H.Ito Sumardi DS, Drs,SH,MH,MBA,MM, anggota Polri masuk pertama kali ke Aceh saat bencana Tsunami menerjang kota Serambi Mekkah ini pada 26 Desember 2004,

Ito ketika bencana Tsunami Aceh terjadi menjabat sebagai Direktur Samapta Babinkam Polri dengan pangkat jenderal bintang satu atau Brigjen. Banyak pelajaran bisa kita ambil dari bencana Tsunami Aceh yang terjadi 20 tahun lalu,

Lalu, mengapa Ito yang pernah menjadi Kabareskrim Polri dengan pangkat Jenderal Bintang Tiga (Komjen) dan kini menjabat sebagai Ketua Watimpus Lembaga Veteran Republik Indonesia (LVRI) merasa yakin kalau Polri masuk pertama kali ke Aceh? Berikut petikan wawancara beritalima (BL) dengan Ito Sumardi (IS):

BL. Bisa diceritakan awal mulanya bapak ditugaskan dalam kapasitas apa untuk melihat bencana tsunami Aceh 2004?

IS. Dalam situasi negara dengan status Tertib Sipil, maka tugas pokok Polri untuk “melayani dan melindungi” Masyarakat Indonesia yang sedang mengalami musibah kemanusiaan, maka Polri wajib hadir. Kapolri saat itu Jenderal Pol Dai Bachtiar segera mengumpulkan pejabat utama termasuk saya yang saat itu menjabat sebagai Direktur Samapta Polri untuk berangkat memimpin Satuan Tugas Kemanusiaan Polri dengan kemampuan Brigade Mobil (karena di Aceh saat itu masih berlangsung konflik bersenjata dengan pihak GAM) dan yang memiliki kemampuan SAR (Search And Rescue) sebanyak 200 personil.

Saat keberangkatan di hari kedua Tsunami (27 Desember), terjadi drama karena Satgas seharusnya berangkat siang dengan pesawat Merpati Airline dua buah disiapkan oleh Wapres Bapak Yusuf Kala. Karena pasukan Brimob yang saya pimpin saat itu membawa perlengkapan persenjataan lengkap, maka Pilot sipil yang mengawaki Pesawat Merpati menolak memberangkatkan pesawat dengan alasan tidak ingin melanggar aturan penerbangan sipil yang mengijinkan penumpang membawa persenjataan dan bahan peledak.

Setelah dilakukan perundingan tingkat atas, maka ditugaskanlah pilot dari TNI AU yang memiliki kemampuan menerbangkan pesawat boeing 737 seri 400 dan kami berangkat jam 19.00 WIB tanggal 27 Desember 2004. Dalam perjalanan non stop Jakarta-Banda Aceh kami tidak mendapatkan informasi sedikitpun tentang kondisi lapangan karena selain jalur komunikasi lumpuh, kondisi angota Polda Aceh juga masih belum jelas karena saya yakin anggota masih dalam keadaan shock.

Karena terbatasnya ruang bagasi pesawat maka perlengkapan yang dibawa saya perintahkan hanya secukupnya saja dengan mengutamakan senjata dengan amunisinya dan alat komunikasi berupa telepon satelit. Kapolri memberikan bekal uang secukupnya untuk digunakan sewaktu-waktu selama penugasan.

Setiba di Banda Aceh, tidak ada sedikitpun penerangan. Hanya ada penerangan di landasan pacu bandara Sultan Iskandar Muda (SIM). Informasi dari Mabes Polri bahwa Satgas akan dijempiut oleh Karolog Polda Aceh tidak terbukti karena saat itu personil Polda Aceh dalam keadaan trauma dan Kapolda belum ditemukan keberadaannya.

Kondisi di bandara dan sekitar bandara dipenuhi oleh ribuan pengungsi karena lokasi Bandara erletak di ketinggian dianggap lebih aman untuk perlindungan dan saat ini gempa masih terjadi sekitar 25 kali dalam setiap saat dan dikhawatirkan ada tsunami susulan.

Saya berinisiatif untuk membangun Posko Satgas sebagai pengganti fungsi Polda Aceh di luar bandara Sultan Iskandar Muda dengan tenda pasukan yang kami bawa dan memasang jalur komunikasi satelit untuk memberikan informasi tentang perkembangan situasi di Aceh secara up date kepada Bapak Kapolri.

Sebagai pimpinan Satgas saat itu saya menyadapi  “manajemen bencana atau Disaster Management” belum ada sehingga yang saya lakukan hanya berdasarkan “naluri, inisiatif, inovasi, kreatifitas” saja karena situasi benar-benar diluar perkiraan dan dugaan saat berangkat dari Jakarta.

Peralatan untuk sanitasi kami tidak punya, peralatan untuk mengangkat puing-puing tidak punya, alat transportasi tidak punya, air bersih sulit didapat dan kalau membeli air mineral kepada masyarakatr harganya sangat mahal, fungsi penerangan tidak ada, peralatan komunikasi terbatas, dapur lapangan tidak ada.

Kemudian datang Tim dari Kesehatan DKI Jakarta dan dari Kementerian kehutanan. Saya mengadakan kooordinasi dengan pimpinan kedua instansi itu dan memberikan “kapling” luar bandara yang telah dikuasai sejak kedatangan Satgas dengan melakukan “bargaining”, Tim Kesehatan DKI membangun sanitasi dan tim Kemenhut melakukan kegiatan gabungan untuk membuka jalan ke ibukota Banda Aceh yang tertutup puing bercampur jenazah untuk melakukan koordinasi dengan Tim Pemerintah yang dipimpin oleh Menlu RI saat itu.

Saya baru menyadari alasan utama Kapolri memilih saya untuk memimpin Satgas Tsunami Polri adalah karena saya pernah bertugas di Aceh sehingga mengetahui situasi Aceh, dan kemampuan Bahasa Inggris karena Kapolri sudah memperhitungkan banyaknya LSM Asing yang akan masuk ke aceh sebagai daerah yang masih tertutup saat itu.

Peran Pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Australia sangat besar terutama untuk mengolah air bersih dan bantuan rumah sakit lapangan dan menggunakan peralatan perang modern yang tidak dimiliki oleh pemerintah Indonesia saat itu. Kemudian Satuan Tugas TNI masuk ke Aceh dan mengambil alih Kodal saat itu.

Saya ditunjuk manjadi Wadan Satgas dibawah Mayjen Bambang Darmono saat itu (terakhir Letjen TNI Purn) yang berpusat di Lanud TNI AU Sultan Iskandar Mudah sebagai  wilayah tertutup kecuali bagi Angkatan Perang AS dan Australia.

Kapolri saat itu (Jend Pol Dai Bachtiar) mengendalikan secara langsung Operasi Kemanusiaan Polri Satgas Tsunami dan membangun jaringan komunikasi modern dan mengerahkan trensportasi udara terbaru yang memiliki kemampuan untuk SAR kemudian saya memutuskan bahwa Posko Poludara Polri di Bandara SIM agar tidak harus meminta ijin TNI AU.

Untuk mengatasi kebutuhan transportasi darat, Polda Riau dan Sumut membantu mengirim truk-truk sipil dan peralatan utama sarung tangan karet ke Aceh. Kemudian karena Masyarakat banyak yang melakukan “looting atau penjarahan” sehingga saya meminta pak Kapolri untuk membuat Posko mobile lapangan yang akan ditempatkan didaerah-daerah rawan penjarahan.

Selain itu Kapolri juga mengirimkan mobil untuk dapur lapangan dan unit pengolah air bersih. Situasi kemanan masih sangat rawan sehingga dukungan pengamanan lapangan sangat dibutuhkan saat itu. Sedikit demi sedikit situasi mulai pulih dan kehidupan Masyarakat Aceh mulai menggeliat, bantuan dari LSM dari Luar negeri dan dalam negeri sangat signifikan sehingga kebutuhan dasar Masyarakat Aceh mulai tercukupi.

Saya mendampingi Bapak Presiden saat itu (Susilo Bambang Yudhoyono) dan tamu dalam maupun dari luar negeri yang mengunjungi lapangan (wilayah bencana) saat itu. Sayangnya kebijakan untuk menempatkan bantuan kemanusiaan di Gudang Lanud yang merupakan wilayah tertutup membuat penyaluran ke Masyarakat yang membutuhkan menjadi terhambat dan dibeberapa kantong pengungsi terjadi penjarahan bantuan kemanusiaan  diperjalanan  menuju  Lanud  SIM.

Saya berinisiatif khusus agar bantuan kemanusiaan yang dikumpulkan oleh Polri dipusatkan di Posko dan mempersilahkan Masyarakat untuk mengambil agar tidak tertumpuk dan berpotensi rusak karena system penyimpanan yang tidak memadai.

Kapolda Irjen Bachrumsyah (Terakhir Komjen Pol Purn) mengambil alih Komando Polda Aceh dan saya lebih fokus pada evakuasi jenazah dilapangan bersama dengan unsur TNI dan Instansi lain dan mengembalikan fungsi kepolisian Polda Aceh.

Pengalaman saya kemudian diambil oleh PBB melalui IOM (International Organizational for Migration) untuk dijadikan pedoman pembuatan manajemen bencana alam (Disaster Management) karena saat Tsunami terjadi di Aceh benar2 belum ada prosedur (standard Operation Procedure) yang berlaku sehingga semua kegiatan hanya didasarkan pada naluri, inisiatif, inovasi dan kreatifitas Saya sebagai Dansatgas Tsunami.

Sayangnya setelah dibangunnya Museum Tsunami Aceh peran Polri dalam Oparasi kemanusiaan Tsunami yang merupakan institusi yang masuk pertama kali di Aceh dan telah melakukan kegiatan yang disaksikan oleh Masyarakat Aceh tidak tercantum sama sekali di Museum tersebut. Namun bagi Polri hal itu tidak terlalu penting biarlah Masyarakat Aceh yang menilai kiprah, kinerja dan kontribusi Polri bagi Masyarakat Aceh dan Negara dalam Operasi Kemanusiaan Tsunami.

Peran Bapak Kapolri Jenderal Dai Bachtiar saat itu sangat besar dan apapun yang dibutuhkan Satgas Tsunami selalu dipenuhi secara prioritas dan dilapangan. Peran Kapolda Aceh Irjen Pol Bachrumsyah yang kehilangan beberapa anggota keluarganya sangat besar sehingga memberikan motivasi dan semangat bagi anggota Satgas Kemanusiaan Tsunami Polri. Kondisi Aceh saat kedatangan Satgas umumnya dalam kondisi porak poranda dan jenazah korban tergeletak di mana-mana.

BL. Jadi bapak berangkat dari mana membawa pasukan Brimob dari mana?

IS.  Saya berangkat dari Bandara Halim Perdana Kusumah tanggal 27 Desember 2004 jam 19.00 WIB dengan menggunakan dua Pesawat Merpati Airline (atas jasa bapak Wapres Jusuf Kalla) dan saat pasukan Satgas datang membawa peralatan terutama makanan lapangan yang sangat banyak dengan peralatan komunikasi dari Mabes Polri yang tidak mungkin terangkut dalam pesawat yang bagasinya terbatas. Saya perintahkan pada anggota untuk membawa peralatan seadanya dengan mengutamakan senjata api bersama amunisinya untuk pengamanan disana karena situasi kemanan belum kondusif dan terjadi pengambilan senjata digudang senjata TNI dan Polda Aceh terutama oleh kelompok separatis GAM dan simpatisan nya saat itu tanpa Satgas bisa berbuat apa2 karena tugas utama Satgas adalah untuk tugas kemanusiaan dan pemulihan sarana prasarana darurat di Aceh.

BL. Langkah apa yang dilakukan setelah mendarat di Aceh?

IS. Langkah yang saya lakukan setiba di Aceh adalah melakukan konsolidasi untuk membangun Posko dan saat mencoba menggunakan Pos Pol bandara ternyata setelah dibuka telah diisi oleh puluhan pengungsi yang membawa bayi sehingga saya putuskan untuk membangun tenda sebagai Posko Satgas di halaman depan Bandara SIM dibantu oleh Dansat Brimob Aceh dan Dirsamapta Aceh yang bergabung setelah kedatangan Satgas. Setelah terbangun tenda Posko, saya membagi tugas untuk kegiatan administrasi dan operasional khususnya untuk kegiatan evakuasi korban tsunami sambil menunggu dukungan peralatan dari mabes Polri, bantuan transportasi dari Polda Sumut dan Polda Riau melalui jalur darat sangat membantu tugas anggota untuk melakukan evakuasi dan SAR para korban tsunami bail dari anggota Polda Aceh maupun Masyarakat termasuk penemuan 2 helicopter yang telah menjadi kerangka dan terdapat korban Masyarakat didalamnya. Kantor Polda, Polres, asrama, peralatan operasional Polda Aceh umumnya dalam keadaan rusak berat dan tidak dapat dipergunakan lagi.

BL. Untuk berapa lama bapak dalam misi di aceh?

IS. Dengan mempertimbangkan kondisi psikis anggota dan Tingkat kelelahan anggota, masa penugasan Satgas Tsunami Aceh 1 adalam selama 30 hari kemudian digantikan oleh Satgas Tsunami 2 yang dipimpin oleh Brigjen Teuku Asikin (terakhir Irjen Pol Purn).

BL. Setelah 20 tahun berlalu bencana tsunami Aceh, pelajaran apa yang bapak ingin sampaikan?

IS. Pelajaran yang saya dapat dari pengalaman menangani bencana Tsunami Aceh adalah perlunya dibuatkan kembali manajemen bencana alam dengan berbagai bentuk untuk mengantisipasi bencana alam yang terjadi di Indonesia. Perlu dilakukan pelatihan bagi Masyarakat diwilayah wilayah rawan gempa untuk mengantisipasi dan mengurangi resiko jatuhnya korban.

Lalu, kesadaran masyarakat untuk tidak merusak atau mengambil alat2 deteksi gempa yang bernilai tinggi dan manfaatnya sangat besar. Dan yang tak kalah pentingnya, Pemerintah secara jujur harus mencatat dan mendokumentasikan peran Institusi-institusi yang terlibat dalam operasi kemanusiaan karena Sejarah tidak akan dapat terhapus dalam ingatan Masyarakat Aceh.

Jurnalis: Abriyanto

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait