JAKARTA, Beritalima.com– Akhir Oktober tahun ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) dijadwalkan berkunjung ke Roma, Italia untuk mengikuti penutupan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20. Di momen itu, Indonesia akan menerima mandat menjadi ketua dan tuan rumah presidensi G20 untuk 2022.
“Ini momen istimewa buat Indonesia guna aktif menawarkan solusi
bagi persoalan-persoalan global,” ungakp Ketua bidang Kebijakan Publik Dewan Pimpinan Nasional (DPN) partai Gelombang Rakyat (Gelora)
Indonesia, Achmad Nur Hidayat (Matnur) dalam keterangan di Jakarta, Senin (20/9).
Hal ini tentu saja menjadi tantangan dan kesempatan Indonesia menjadi pemain global yang disegani dalam menyelesaikan berbagai persoalan di dunia.
“Buat Indonesia, event Presidensi G-20 itu dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan peran sebagai pemimpin dari negara berkembang yang menawarkan solusi buat negara maju,” kata Matnur.
Menurut Alumnus Master Public Policy LKY School of Public Policy NUS dan Harvard University Executive Education ini, tujuan itu harus dijadikan agenda kerja Indonesia dalam Presidensi KTT G20 di 2022. setidaknya ada empat agenda kerja, yakni meredakan ketegangan dunia,
mengembalikan relevansi G-20 dalam penanganan Covid-19, melakukan
kohenrensi terhadap prinsip perpajakan global, rekomitmen isu perubahan iklim dan inklusi keuangan.
“Saat ini ketegangan dunia tidak kunjung reda, paska penandatanganan aliansi AUKUS yang menyebabkan Perancis protes terhadap aliansi militer AS, Inggris dan Australia baru itu. Bahkan untuk menunjukkan
keseriusan protesnya, Perancis menarik dubesnya dari Australia dan AS,”
kata dia.
Sementara China melihat AUKUS, Aliansi keamanan baru di kawasn Indo-Pasifik yang dibentuk AS, Inggris, Australia akan menganggu stabilitas keamanan di wilayah perdagangan Asia-Pasifik.
“China wajar khawatir karena dengan kecanggihan armada laut dan 12
kapal selam nuklir baru Australia, China tidak lagi dapat mengamankan
jalur perdagangannya dengan tenang terutama laut China Selatan yang
terus memanas,” kata dia.
Karena itu, ia berharap Indonesia menjadi katalis yang konstruktif dalam memecahkan ketegangan dunia saat ini. Polarisasi AS-China seharusnya tidak merusak tatanan ekonomi dunia.
Apabila ada kompetisi diantara kekuatan ekonomi AS dan China, seharusnya tidak punya efek destruktif bagi tatanan ekonomi negara lain.
Indonesia seharusnya menjadi pelopor dalam membuat aturan main kompetisi ekonomi AS dan China yang lebih sehat sehingga
negara-negara lain yang mayoritas tidak terkena dampak ekor (tail
effects) dari kompetisi tersebut.
Terkait penangan Covid-19, lanjut Matnur, negara G20 dinilai tidak cukup kompak dalam mengatasi pandemi Covid-19. Kebijakan G20 terkait Covid-19 terkesan menjadi lambat, kurang efektif dan kurang koheren.
“Langkah aksi yang diusulkan G20 kurang pas untuk mengatasi dampak pandemi, bahkan kebijakan G20 tampaknya tidak terkoneksi dengan insentif-insentif masing-masing pemerintah,” kata dia.
Menyangkut prinsip perpajakan global, menurut Matnur, banyak negara menerapkan pajak yang berbeda-beda yang akhirnya dinilai menerapkan pajak diskriminasi terhadap perusahaan digital yang umumnya berpusat di Amerika Serikat.
AS dan negara maju ingin pajak untuk perusahaan teknologi yang berbasis di negaranya tidak dikenakan pajak berganda di negara berkembang anggota G20. Namun, negara berkembang melihat pajak digital diperlukan untuk memperkuat pendapatan negaranya. Indonesia diharapkan bisa melakukan koherensi terhadap prinsip-prinsip perpajakan global sehingga memiliki kesetaraan perpajakan yang lebih fair dan adil.
Mengenai isu perubahan iklim dan inklusi keuangan, Indonesia bisa mendorong negara G20 berkerjasama lebih serius lagi mencari solusi perubahan iklim global.
“Kerjasama terkait perubahan iklim tidak bisa dilakukan parsial, harus kompak dan komitmen harus disampaikan dalam satu voice yang sama. Ini tantangannya,” ungkap dia.
Selain itu, inklusi keuangan juga menjadi isu yang harus dicarikan solusinya, dengan semakin tingginya digitalisasi, masyarakat dunia yang literasi digitalnya rendah tentu tidak dapat menikmati kemajuan digitalisasi saat ini.
“Indonesia juga harus menawarkan agenda kerja inklusi keuangan yang dapat diterapkan sebesar-besarnya masyarakat marginal,” demikian pengamat Kebijakan Publik Narasi Institute ini. (akhir)