SURABAYA – beritalima.com, MSAT
mengajukan ahli hukum pidana Prija Jatmika dan ahli forensik dr. Ngesti Lestari dari Universitas Brawijaya Malang pada sidang praperadilan dirinya di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (13/12/2021).
Diketahui, Dalam gugatannya, MSAT menilai penetapan dirinya menjadi tersangka pasal 294 ayat 1 dan 2 KUHP tidak sah. Tak hanya itu, MSAT juga menuntut ganti rugi senilai Rp 100 juta dan meminta nama baiknya dipulihkan.
Prija Jatmika mengatakan penetapan tersangka mestinya didukung dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah sesuai Pasal 184 KUHAP sebagaimana telah ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015.
Sementra Ngesti Lestari dalam keterangannya mengatakan, forensik atau visum merupakan tindakan medis sebagai alat bukti yang sah, atas peristiwa kekerasan.
Disinggung dengan siapa yang berhak mengeluarkan visum, dr. Ngesti mengaku semua dokter boleh membuat visum.
“Semua dokter boleh membuat visum, baik itu dokter ahli ataupun dokter umum,” ucapnya.
Disinggung terkait robeknya selaput darah, Ngesti mengaku semua wanita bisa mengalami hal tersebut, meski tidak dengan dilakukan persetubuhan.
“Wanita yang bergerak dengan berlebihan atau terjatuh bisa robek, dan kalau terjadinya persetubuhan robeknya sampai ke dasar,” pungkasnya.
Ditemui selepas sidang. Setiyo Busono, selaku ketua tim penasehat hukum MSAT mengatakan bahwa kehadiran pihaknya dalam praperadilan ini hanya untuk menguji apakah penetapan tersangka terhadap kliennya sudah didukung dengan dua alat bukti yang sah atau tidak.
Sebab, ungkap Setiyo Busono, faktanya Jaksa Penuntut Umum sudah menerbitkan tiga kali P-19 yang isinya untuk melengkapi alat bukti. Namun meski sudah sampai tiga kali,.masih belum juga dilengkapi. Dilanjutkan dengan rapat koordinasi dan konsultasi juga sebanyak tiga kali juga, dan faktanya masih belum terpenuhi juga. Padahal penetapan tersangka terhadap MAST sudah dua tahunan.
“Makanya kami juga menyertakan Kejati Jatim sebagai turut termohon karena jaksa ini yang melakukan koordinasi dan konsultasi dengan penyidik dan mereka yang membuat P19 dan memberikan petunjuknya,” ungkap Setiyo Busono.
Dilanjutkan Setyo, praperadilan sendiri ditempuh oleh pemohon karena atas dilakukannya P19 hingga tiga kali dan adanya peraturan bersama antara Mabes Polri, Jaksa Agung, Mahkamah Agung dan Kemenkumham tahun 2010 nomor 4, apabila dilakukan P19 berulang ulang dalam lampiran ke-8.
“Kalau itu tidak dilaksanakan, maka ada sanksinya. Jadi wajar kalau kami lakukan uji peraturan tersebut, karena hingga saat ini peraturan itu hingga saat ini belum dicabut,” lanjutnya.
Sebelumnya, MSAT, seorang anak kiai di Jombang dilaporkan di Polres Jombang pada 29 Oktober 2019 lalu dan sejak tanggal 12 November 2019 ditetapkan sebagai tersangka pencabulan terhadap M. Kasus MSAT ini akhirnya diambil alih oleh Polda Jatim sejak 15 Januari 2020. (Han)